Tertutup Rapat
Rumah Sejuta Martabak
Warung Miras Bu Eem
1.
Nandito
adalah teman SMA gue. Dia anak orang kaya. Dan kalau mau dibilang dekat,
sebenarnya gue enggak dekat-dekat banget sama dia, tapi karena saling follow di
media sosial, jadi gue tau kebiasaan dia.
Setiap
akhir pekan, dia pasti ada di klub malam, restoran mewah, tempat karaoke, atau
di bioskop buat nonton rame-rame.
2.
Radian
adalah teman SMA gue. Dia anak orang kaya. Gue juga enggak dekat-dekat banget
sama dia, chattingan cuma sesekali, dan storinya hampir enggak pernah diisi.
Satu hal yang gue tau, setelah lulus kuliah, dia meneruskan usaha orangtuanya.
-///-
Suatu
hari, gue enggak sengaja ketemu sama Nandito pas gue lagi ngerjain revisi
kerjaan di Starbucks sehabis nonton Endgame. Kami bertemu agak lama, dan
lumayan banyak yang kami obrolkan sampai akhirnya gue iseng ngomong ke dia:
“Kamu rajin banget pergi ke mana-mana, ya.”
Nandito
ketawa, lalu menjawab, “Iya. Karena saya hidup cuma sekali, jadi dunia harus
tahu kalau saya sudah pernah ke sana, ke sini, pernah ini, pernah itu.” Setelah
mengucapkan itu, dia tertawa lagi.
Gue,
tentu saja ikutan tertawa biar suasana enggak jadi kikuk.
Sepulang
dari Starbucks, gue mampir beli makanan di pinggir jalan buat makan malam. Pas
mau pesan, tiba-tiba ada orang yang nyenggol tangan gue yang lagi asik sama
ponsel.
“Man?”
sapanya.
“Eh,
Radian?”
“Beli
apa, Man?”
“Ayam.
Buat makan malam.”
Karena
waktu itu pembeli banyak dan antrean lumayan panjang, gue dan Radian mengobrol
juga cukup lama sambil berdiri di depan warung karena kursi sudah penuh semua.
Dan,
karena kebetulan siangnya gue habis nonton Avengers: Endgame, gue pun iseng
nanya ke Radian soal film itu.
“Kamu
udah nonton Endgame, belum?”
“Oh,
Endgame. Udah, dong.”
“Wah,
berarti kamu ngikutin film Marvel juga?”
“Marvel
sama DC, sih, Man. Kebetulan aku suka film-film superhero.”
“Wih,
mantap! Tapi, kok kamu enggak pernah update di stori atau di mana gitu? Apa
saya yang enggak liat?”
Sampai
di sini, gue sempat khawatir dan merasa kalau Radian ternyata enggak menyimpan
nomor gue, atau menyembunyikan gue dari daftar orang-orang yang bisa melihat
stori dia. Ternyata gue salah.
“Buat
apa?” katanya sambil tertawa.
“Ya-ya,
biar orang tau aja gitu, kalau kamu udah nonton.”
“Ya
buat apa?”
Gue
diam.
“Enggak
perlu, Man.” Radian melanjutkan. “Hal-hal kayak gitu enggak perlu dipamerin.
Kenapa? Karena kalau saya bisa nonton film A, orang lain juga kan bisa. Bahkan
ratusan juta orang bisa nonton film yang sama pada hari yang sama dengan saya.
Atau kalau saya lagi ke luar negeri, setiap hari ada jutaan orang yang ke luar
negeri. Kalau saya sedekah, setiap hari juga ada orang yang sedekahnya jauh
lebih banyak dari jumlah yang pernah saya sedekahkan seumur hidup.”
“Berarti,
kamu enggak akan pernah pamer apa-apa di medsos?”
“Saya
enggak pernah bilang begitu,” jawabnya sambil ketawa lagi.
“Lah,
terus kapan?”
“Kalau
saya udah punya sesuatu yang orang lain belum punya, dan kemungkinan mereka
enggak bisa punya.”
Sepanjang
jalan pulang, gue enggak berhenti mikirin kira-kira apa satu hal yang Radian
maksud itu. Bahkan sampai gue udah duduk di meja makan dan makan ayam yang gue
beli tadi, gue masih terus kepikiran. “Ah, bodo amat deh. Upil segede gajah
palingan!” gumam gue sambil nendang pintu kulkas yang ternyata belum tertutup
rapat.