Dari Masa Depan
Gara-gara
timeline Twitter gue sempat penuh sama pembahasan soal sepatu, gue jadi
teringat sesuatu.
Waktu
SMA, kalau enggak salah sekitar 2009 atau 2010, wali kelas gue menikah dan kami
satu kelas diundang ke pesta pernikahannya. Gue datang ke acara dengan setelan
jas warna hitam, dalaman kemeja putih, dan celana kain hitam. Semuanya sangat
matching sampai kalian menengok bagian kaki. Waktu itu gue pake sepatu running
warna coklat tua-muda yang mana adalah sepatu paling keren yang gue punyai ketika
itu.
Gue
enggak tau apakah saat itu gue adalah satu-satunya orang yang berpakaian “aneh”
seperti itu atau bukan, karena gue enggak memperhatikan sama sekali apa yang
dikenakan orang lain.
Gue
enggak peduli.
Yang
gue tau, waktu itu gue datang agak telat dari teman-teman yang lain (karena
rumah gue paling jauh dari lokasi pesta), dan begitu gue datang dan naik ke
pelaminan sendirian, semua orang melihat ke arah gue dengan tatapan kayak, “DUDE,
WHAT THE FUCK?!!” ke gue.
Dan
gue tetap enggak peduli.
Dari
gue baru masuk gedung, sampai gue keluar, semua orang masih memandang gue dengan
tatapan aneh. Ternyata, enggak sampai 10 tahun kemudian, ketika gue datang lagi
ke pesta pernikahan teman SMA dulu, hampir semua teman-teman gue datang ke
pesta dengan setelan jas atau baju batik, celana kain, dan bawahan sepatu
running atau sports lainnya. Setiap kali gue ke acara pernikahan, gue pasti
akan teringat momen itu dan senyum-senyum sendiri. Gue merasa lucu aja ketika
apa yang dulunya orang-orang lihat sebagai sesuatu yang aneh, sekarang malah
menjadi tren.
Itu
tadi kalau ke acara formal. Kalau ke acara nonformal, pakaian gue bisa lebih nyeleneh
lagi. Sampai pernah temen gue Ari nanya sama gue soal selera pakaian gue, dan
gue ngomong panjang lebar yang kalau disingkat kurang lebih begini:
Kalau lo enggak suka sama selera berpakaian gue, itu masalah lo, bukan gue. Hanya karena sesuatu yang lo lihat itu beda dari yang umum, bukan berarti itu aneh, melainkan elo enggak terbiasa aja. Coba ubah sudut pandang lo dalam melihat sesuatu, karena itu juga menandakan kalau lo bisa menerima kebaruan, dan tentu saja perbedaan.
Waktu
ngomong gitu ke Ari, gue merasa kayak guru Bahasa Indonesia yang lagi ngajarin
murid menghafal abjad. Dan, setiap kali mengingat momen sepatu itu,
kadang-kadang gue merasa kalau sebenarnya gue berasal dari masa depan.