Menyentuh Lantai
Gue
punya teman SMP, namanya Sri. Nama lengkapnya bukan Sri Mulyani.
Suatu
hari, gue liat Sri pasang stori di Facebook. Isinya adalah capture-an aplikasi
WhatsApp miliknya yang di situ tertera nama, status, dan nomor telepon. Karena
gue ngerasa udah kenal dan berteman cukup lama dengan Sri, gue akhirnya
menyimpan nomor dia ke daftar kontak gue.
Alasan
utama gue menyimpan nomor Sri sebenarnya adalah karena dia orang yang cukup
kaya, dan gue orangnya oportunis, jadi gue simpan nomornya dengan harapan suatu
waktu bisa menjalankan bisnis dengan dia.
Enggak
begitu lama setelah kejadian itu, salah seorang teman SMP gue yang lain, Andam,
ngechat gue nanyain apakah gue punya kontaknya Sri atau enggak. Kebetulan, gue
dan Andam lumayan dekat dan kami sering chattingan atau saling balas-balasan
status di WhatsApp.
“Ada!”
jawab gue.
Tanpa
menunggu jawaban Andam, gue langsung mengirim kontak Sri ke dia. Setelah Andam
berterima kasih, gue pun lalu lanjut menyelesaikan kerjaan yang waktu itu lagi
numpuk.
Setelah
beberapa hari, Sri yang udah hampir 10 tahun enggak kontakan sama gue,
tiba-tiba ngechat gue di Messenger.
“Kamu
katanya yang ngasih nomor saya ke Andam, ya?”
“Iya,”
jawab gue dengan segera.
“Kok
enggak sopan, sih?”
“Maksudnya?”
tanya gue bingung.
“Kok
enggak izin ke saya dulu?”
Karena
gue sedang enggak mau berdebat, gue waktu itu akhirnya cuma minta maaf, dan
janji enggak akan mengulangi kesalahan gue lagi. Setelah minta maaf, gue langsung
hapus kontak Sri di ponsel gue.
Malam
harinya setelah selesai kerja, gue buka Facebook dan yang pertama muncul di
beranda gue adalah statusnya Sri. Lalu, gue iseng buka profilnya. Ternyata,
stori dia yang gue lihat waktu itu, juga ada di profilnya dia, dan terpasang
secara publik.
Gue
sama sekali enggak marah, tapi seandainya Sri ada di samping gue ketika itu,
kayaknya gue bakal nyekik lehernya sampai kakinya enggak menyentuh lantai.