Di Bawah Jok Motor
Senja.
Kopi.
Kue
tart.
Tiga
hal itu yang menemani gue kemarin sore di rumah kakak gue yang baru saja
merayakan ulang tahun anaknya yang ketiga.
Sore
itu kami menikmati kopi dengan dua potong kue tart yang masih tersisa. Sambil memangku
anaknya, kami memulai obrolan dengan santai, seperti biasanya.
“Jadi,
kenapa kamu baru datang jam segini?” tanya kakak gue.
“Karena
tadi siang lagi banyak kerjaan.”
“Terus
kado buat anak saya mana?”
“Nah,
itu.”
“Itu
mana?”
“Itu.”
“Itu
apa?”
“Ketinggalan
di rumah.”
Kakak
gue memperlihatkan ekspresi meremehkan.
“Serius,”
lanjut gue. “Kadonya sudah saya bungkus rapi, tapi karena buru-buru, saya jadi
lupa.”
“Kalau
enggak ngasih kado hari ini, besok kadonya harus dua!” ancam kakak gue.
“KOK
GITU?!!”
“Ya,
siapa suruh enggak bawa kado hari ini.”
“Bawa,
tapi lupa.”
“Berarti
enggak bawa, Mandra!”
Di
tengah percakapan sengit itu, suami kakak gue tiba-tiba muncul dari dalam
rumah. Dia menyapa gue dengan senyum, lalu mengambil satu potong kue tart dari
piring gue. Gue yakin dia pasti mengira itu adalah piring punya kakak gue
karena letak piringnya berdekatan.
Setelah
basa-basi sebentar, kakak ipar ninggalin kami dan pamit main bulutangkis di lapangan
seberang jalan. Gue memperhatikan kakak ipar jalan ke depan, sampai dia hilang
dari pandangan, lalu gue kembali menatap piring kue tart.
Kosong.
Satu
potong lagi sudah dimakan oleh kakak gue.
Gue
menelan ludah, lalu mengirup kopi yang masih hangat.
“Dikasih
kue, enggak. Minta kadonya dobel,” gumam gue.
Kakak
gue ketawa-ketawa.
“Siapa
suruh telat, ya kan.” Ia pura-pura ngomong ke anaknya.
Karena
sedikit kesal, gue akhirnya menyeruput kopi lagi, lalu mengambil smartphone
yang dari tadi belum gue keluarin dari saku celana.
Gue
membuka timeline Instagram yang kebanyakan isinya adalah foto-foto teman-teman yang
lagi liburan. Ada yang liburan ke pantai, ada yang ke gunung, ada yang lagi baring-baring
manja di hotel, dan ada juga yang lagi pose levitasi di spot-spot yang jadi
ikon kota yang mereka sedang kunjungi.
Melihat
itu, jiwa impulsif gue langsung meronta.
“Kak,
jalan-jalan, yuk!”
“Ke
mana?”
“Ke
surga.”
“SEMBARANGAN!”
Kami
ketawa. Sementara anaknya gue lihat belepotan cokelat kue tart.
“Ya,
ke mana kek gitu,” kata gue.
“Ke
mana … enggak bisa ke mana-mana kalau udah ada anak kecil gini.”
“Kalau
misalnya Kakak enggak punya anak dan mau jalan-jalan, mau ke mana?”
“Ke
mana?”
“SAYA
NANYA.”
Kakak
gue terlihat berpikir sebentar, sambil mengelap mulut anaknya yang sekarang
entah gimana, ada ampas kopinya. “Ke Bandung,” jawabnya kemudian.
Gue
diam sejenak.
Seingat
gue, gue belum pernah sekali pun ke Bandung. Gue pun langsung menutup Instagram dan beralih ke aplikasi Pegipegi.
“Di
Bandung ada apaan sih, Kak?”
Kakak
gue menatap gue dengan tatapan yang mencurigakan.
“Banyak,”
katanya. “Ada orang. Ada anak bayi. Ada kopi. Ada kue tart. Ada orang main
bulutangkis.”
Tuh
kan bener.
“BODO
AMAT.”
“Bandung
tuh enak, tauk.”
“Kalau
saya ke Bandung, sebaiknya ke mana?”
“Kamu
punya teman di Bandung, enggak?”
“Punya.”
“Di
mana?”
“Di
Lembang.”
“Nah,
kamu cari aja itu hotel
di Lembang atau di sekitar situ. Terus ketemuan deh sama temen kamu di
sana.”
Gue
pun lanjut mencari hotel di Pegipegi untuk tempat gue menginap di Bandung nanti.
Untuk urusan hotel, gue selalu mengandalkan Pegipegi karena tampilannya sederhana,
smooth, clean, cepat, dan akurat.
Setelah
gue mencari-cari hotel, kakak gue lanjut menceritakan kalau ternyata di Lembang
ada banyak tempat wisata yang bisa gue kunjungi. Misalnya De Ranch yang mengusung
konsep peternakan kuda dan kegiatan outbond lain seperti flying fox, panahan,
atau trampolin; Bandung Treetop Adventure Park yang juga penuh permainan
menantang; atau Farm House Lembang yang tidak pernah sepi pengunjung.
“Mau
berangkat kapan?”
“Akhir
pekan ini!” jawab gue.
“Kalau
kadonya enggak ada hari ini, nanti habis dari Bandung kadonya jadi tripel.”
Karena
khawatir jumlah kado yang diminta kakak gue akan terus bertambah, gue akhirnya
menyerah dan mengambilkan kado ulang tahun untuk anaknya yang dari tadi
sebenarnya gue taruh di bawah jok motor.