Seperti Beruang Kutub
Rumah Sejuta Martabak
Mars, TX 75778
Kalau
kalian baca postingan
sebelumnya, berarti kalian tahu kalau ponakan-ponakan gue ada di rumah saat
malam perayaan tahun baru.
Sebenarnya,
sore jelang magrib gue sempat ke rumah kakak gue yang paling tua dulu buat
makan-makan. Habis makan itu barulah gue balik ke rumah dan nungguin pergantian
tahun.
Di
jalan pulang, Tayo, ponakan gue yang paling kecil ngomong,
“Kalau
tahun baru biasanya banyak kembang api.”
“Iya,
memang,” jawab Khatib.
“Mau
beli, tapi tidak punya uang.”
“Kamu
sih, tidak minta sama bapak.”
“Takut.”
“Takut
kenapa?”
“Kalau
bilangnya buat beli kembang api, tidak dikasih. Kalau bilangnya buat jajan,
nanti bohong.”
Mendengar
itu, gue pun kepikiran buat beli petasan dan kembang api buat mereka. Kebetulan,
di jalan pulang ke rumah banyak banget penjual petasan dan kembang api dadakan
di pinggir jalan.
Sebelum
belok ke gang masuk rumah, gue mampir ke salah satu penjual petasan di kiri
jalan. Yang jual ibu-ibu yang lagi gendong anaknya.
“Tayo
mau yang mana?” tanya gue.
Dia
langsung menunjuk yang paling besar. “Yang itu,” katanya.
“Yang
itu berapa, Bu?”
“Oh,
tujuh puluh lima ribu aja, Dek.”
Buset,
gue masih dipanggil adek. Padahal udah bawa dua anak laki.
“Nggak
bisa kurang lagi, Bu?”
“Bisa.
Tujuh puluh ribu.”
Mendengar
harga kembang api yang seharga domain blog gue setengah tahun, gue sempat
berpikir untuk nggak usah beli dan nanti sampai rumah gue langsung tidur aja
sampai besok.
“Kalau
yang ini berapa?” tiba-tiba Khatib nunjuk kembang api yang ukurannya lebih
kecil.
“Itu
dua puluh lima ribu,” jawab penjualnya dengan segera.
Tayo
diam aja.
“Kalau
yang seribuan ada nggak, Bu?” tanya gue.
“Seribu
mah koreknya aja nggak dapat, Dek.”
“Hah,
emang koreknya berapaan?”
“Dua
ribu.”
Setelah
tanya-tanya harga kembang api dari yang paling mahal sampai yang paling murah,
akhirnya gue beli beberapa yang harganya lima ribuan dan sepuluh ribuan. Masih sambil
menggendong anaknya, si penjual dengan cekatan memasukkan semua belanjaan gue
ke satu kantong plastik putih.
“Semuanya
enam puluh ribu.”
Gue
mengambil uang di dompet. Pas.
“Makasih,
Bu,” kata gue sambil menyerahkan uang dan mengambil belanjaan dari penjualnya.
“Sama-sama,
Pak.”
KENAPA
JADI MANGGIL GUE BAPAK ANJIR.
Ponakan-ponakan
gue pun tersenyum-senyum di sisa perjalanan pulang.
“Jangan
sampai nenek kalian liat ya, nanti kalian dimarahi.”
Khatib
dan Tayo pun berdiskusi gimana caranya biar nggak ketahuan bawa petasan masuk
ke rumah.
Gue
melihat jam tangan, udah jam sepuluh lewat, gue yakin nyokap sudah tidur.
Begitu
sampai di rumah, gue ngeliat lampu ruang tamu masih menyala, yang berarti
nyokap masih bangun. Khatib dan Tayo pun nggak langsung bawa petasan dan
kembang api masuk ke rumah, tapi diselipin di teras.
“Nanti
kita ambil kalau nenek sudah tidur,” kata Khatib ke Tayo.
Pas
masuk ke rumah, ternyata lagi ada tamu. Gue pun langsung masuk ke kamar bersama
ponakan lalu main game. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Randy, teman kelas
Khatib yang rumahnya nggak jauh dari rumah gue, datang ke rumah nyariin Khatib.
Karena
lagi malas ngomong, gue nungguin tamu nyokap pulang baru gue mau keluar kamar. Sampai
akhirnya gue ketiduran.
Sekitar
beberapa saat kemudian, gue kebangun.
Gue
lihat ponakan udah nggak ada di kamar. Gue pun nyusulin mereka ke depan karena
gue yakin mereka pasti udah mengutak-atik petasan dan kembang apinya. Sebagai paman
yang baik gue harus mengawasi mereka.
Begitu
sampai di teras, gue merasa aneh, terutama saat melihat langit.
Gue
lihat jam, ternyata sudah jam tujuh pagi.
Gue
mencari petasan ke tempat gue ngeliat Khatib nyelipinnya semalam, udah nggak
ada. Gue lihat aspal di depan rumah basah habis kena hujan.
“Khatib?”
panggil gue. “Tayo?”
Tiba-tiba
muncul kepala Khatib dan Tayo dari bawah di balik pagar rumah. Gue pun
nyamperin mereka.
Di
dalam got yang penuh dengan air hujan yang mengalir deras, Khatib, Tayo, dan
Randy lagi main perahu-perahuan yang terbuat dari bungkusan petasan dan kembang
api yang gue beliin semalam.
“Kembang
apinya basah,” kata Khatib.
“Kalian
bangun jam berapa?” tanya gue.
“Barusan,”
jawab Tayo, Khatib, dan Randy bersamaan.
Untuk
kali kesekian dalam hidup, gue melewatkan tahun baru dengan tidur seperti
beruang kutub.