Antojadizo
Draft sejak 1 Maret 2017, Yogyakarta.
Beberapa
waktu lalu gue kehilangan kartu ATM di dompet sementara uang di dompet
bener-bener tinggal seribu rupiah. Sore itu gue berjalan kaki dengan penuh
semangat ke ATM di minimarket dekat kosan, niatnya habis ngambil uang gue mau
beli sayur dan rempah-rempah, terus masak sendiri. Tapi begitu gue masuk ke
ATM, buka dompet, gue nggak menemukan ATM berwarna biru yang biasa gue gunakan.
Yang ada hanyalah kartu SIM dan KTP yang lebih menonjol dari biasanya, dan uang
seribu rupiah yang tidak mau kalah.
“Mampus!”
kata gue dalam hati. “Masa iya ketinggalan di kos.”
Gue
bener-bener nggak yakin kartu ATM gue ketinggalan di kos karena gue sama sekali
nggak pernah ngeluarin kartu itu jika bukan untuk transaksi.
Akhirnya
gue mutusin buat pulang ke kos dulu buat mastiin, gue bongkar-bongkarin seluruh
isi kamar, siapa tau nyelip di suatu tempat yang tidak pernah terpikirkan
sebelumnya seperti: di bawah galon, di lubang kunci, atau di pintu lemari yang
nggak pernah gue miliki.
Gue
menyerah.
Seluruh
isi kamar udah gue geledah dan hasilnya nihil. Hampir saja gue berpikir buat
geledah kamar tetangga, tapi sepertinya hasilnya juga bakal sama aja.
Sore
udah masuk malam, gue udah mulai lapar, sementara itu isi dompet gue nggak
nambah-nambah juga, masih tetap seribu rupiah. Selembar uang seribu bergambar
Pattimura memegang golok yang entah mau ngerapihin kebun milik siapa.
Satu-satunya
cara yang paling masuk akal adalah gue menunggu sampai besok buat ngurus kartu
ATM baru di bank. Masalahnya adalah, gue laparnya sekarang, bukan besok. Lalu
dengan segala bentuk dukungan dari dalam perut, gue pun memutuskan buat ngutang
ke warung di samping kosan gue.
Yang
jaga nenek-nenek.
Dengan
malu-malu gue pun berkata, “Bu, boleh ngambil dulu, nggak? Tadi saya ke ATM,
tapi error. Ini mau ke sana lagi tapi
takut kehujanan, soalnya langitnya gelap banget.”
Si
nenek menatap gue sebentar kemudian menatap ke langit, lalu sepersekian detik
terlihat seperti berkata dalam hatinya: “INI GELAP BUKAN KARENA MENDUNG, TAPI
UDAH MALAM, CUK!”
“Oh,
boleh aja. Ambil aja, ambil,” jawab si nenek pada akhirnya.
Gue
lega. Akhirnya masih bisa makan hari ini.
Gue
ngambil sayur, rempah, dan ikan buat digoreng biar bisa tahan sampai besok agar
gue bisa sarapan dulu sebelum ngurus ATM baru ke bank. Gue bersyukur banget
karena masih ada yang bisa diutangin.
Sampai
di kosan gue siapin semuanya. Motong sayur, siapin bumbu-bumbu, dan ngolah
ikan. Begitu ikannya udah mau gue goreng, minyak goreng ternyata habis. Pengen
balik ke nenek buat nambah utang, malu. Akhirnya gue nangis sampai air mata gue
berubah jadi minyak goreng. Minyak gorengnya lalu gue kumpulin dan gue pake
goreng ikan yang tadi.
Setelah
makan gue pun istirahat sambil menunggu esok hari tiba buat ngurus kartu ATM
baru.
Keesokan
harinya setelah mandi dan sarapan, gue berjalan kaki sekitar empat kilometer.
Tentu saja gue menikmati perjalanan gue dengan memperhatikan sekitar; aktivitas
orang-orang, gedung-gedung tinggi, warung-warung yang baru buka, kendaraan
salip-menyalip, dan segalanya yang bisa terekam oleh mata.
Saat
sedang asik itulah tiba-tiba seseorang dari arah berlawanan, berjalan
tergesa-gesa, menghampiri gue.
“Mas,
arah ke Solo yang mana, ya?”
“Aduh,
saya nggak tau, Pak. Bukan orang sini,” jawab gue. “Tapi kalau stasiun, di
sana,” sambung gue, menunjuk ke arah ia tadi datang.
Lalu
seolah gue adalah teman lama yang sudah akrab dengannya bertahun-tahun, orang
itu bilang:
“Ini
saya dari Magelang jalan kaki, Mas. Bos saya kabur dan nggak bayar upah kami. Ini
saya mau pulang ke Solo dan nggak bawa uang sama sekali. Mas bisa bantu saya
buat ongkos pulang, nggak?”
Gue
kasihan sekaligus kebingungan.
Gue
langsung kepikiran isi dompet. Entah bantuan apa yang bisa gue berikan dengan
seribu rupiah.
“Duh,
mohon maaf, Pak. Saya ini nggak bawa uang sama sekali. Ini baru mau ke bank
buat ngurus ATM saya yang kemarin hilang.” Akhirnya gue balik curhat setelah ah
eh ah eh beberapa detik.
Tanpa
ba bi bu, orang itu langsung melanjutkan perjalanan.
Gue
juga.
Setelah
beberapa langkah, gue kepikiran buat manggil orang itu nemenin gue ke bank dulu
biar gue bisa ngasih ongkos pulang ke dia setelah urusan gue kelar. Pas balik
badan, orangnya udah nggak keliatan. Gue kejar, keliatan, tapi udah kejauhan
sementara cuaca lagi panas banget. Orang itu jalannya kenceng banget kayak lagi
dikejar alien.
Gue
pun mengurungkan niat dan melanjutkan perjalanan ke bank yang sudah hampir
setengah jalan. Sementara itu matahari panasnya mulai nggak main-main. Untung
ketiak gue masih kering karena ada deodoran yang setia setiap saat. Cuma poni
gue aja yang agak bandel, dikit-dikit jatuh kayak rambut Superman di Man of
Steel.
Sekitar
500 meter sebelum sampai ke bank, ada kakek-kakek lagi nyamperin gue dengan
becaknya.
“Mas,
#%$$&@*%%. Belum makan ini, #@%$$!*&**,” katanya sambil pegang perut.
Karena
dia ngomong dalam bahasa Jawa, jadi gue kurang ngerti. Intinya, yang gue
tangkap adalah dia pengen gue naik becaknya biar dia dapat pemasukan dan bisa
makan. Ngeliat orangnya yang sudah tua dan renta itu, gue langsung merasa
kasihan. Gue pun jadi teringat orang yang sebelumnya menghampiri gue, bisa jadi
orang ini datang agar gue bisa berbagi rezeki setelah sebelumnya gagal. Saat
itu juga gue percaya bahwa, harta kita akan menemukan jalannya sendiri untuk
disedekahkan. Gue pun bikin kesepakatan setelah berpikir sebentar.
“Gini
aja, Pak. Ini kan saya baru mau ke bank. Saya dianterin dulu aja, nanti saya
bayar setelah dari bank, gimana?”
“Boleh,
boleh, boleh, Mas. Silakan,” katanya dengan penuh semangat.
Karena
lokasi bank-nya udah cukup dekat, jadi gue cuma sebentar merasakan sensasi
menikmati kota dengan becak. Hal yang tidak pernah gue rasakan ketika di rumah
karena gengsi.
Sampai
di bank, gue suruh si kakek nunggu di depan. Lalu setelah mungkin sekitar satu
jam, gue pun keluar dengan membawa kartu ATM baru dan segepok uang 20ribuan
yang gue ambil dari ATM di samping bank. Gue buru-buru nyamperin si kakek buat
balik karena kebetulan hari itu hari Jumat dan gue pake celana pendek.
Dalam
perjalanan, gue ngeliat jam dan ngerasa waktunya masih cukup kalau gue ngajakin
si kakek ini sarapan dulu.
“Pak,
belum sarapan, kan? Gimana kalau kita mampir makan dulu?”
“Oh,
ndak usah, Mas. Sudah makan saya ini.”
“LOH,
TADI KATANYA BELUM MAKAN?!!” kata gue dalam hati.
Gue
pun mengalihkan pembahasan.
“Sehari
narik biasanya dapat berapa, Pak?” tanya gue.
“Ya,
paling 35ribu, kalau rame bisa 50ribu.”
“Itu
sehari, Pak?”
“Iya,
Mas. Itu masih dipotong sewa becak. Ini kan becak sewaan.”
“Seharinya
berapa, Pak?”
“Tujuh
ribu.”
“Kalau
sampai di lampu merah di ujung sana, biasanya berapa, Pak?”
“Ya
paling tujuh ribu atau kalau nggak, sepuluh ribu, Mas.”
Gue
ngangguk-ngangguk dan melupakan hal bahwa si kakek ini ternyata udah sarapan.
“Tapi
kalau Mas-nya mau beli becak ini, harganya 400ribu, Mas. Lumayan loh, sehari
bisa dapat 50ribu,” kata si kakek. “Kalau Mas mau nanti bayar di itu aja, ATM,
nanti tak telepon yang punya suruh transfer.”
“Oh
iya, hehehe.”
Sampai
di lampu merah yang gue maksud di percakapan, gue pun turun dan membuka dompet.
“Jadi
berapa ini, Pak?”
“Terserah
Mas aja,” jawabnya sambil nyengir.
“Hmm..
dua puluh rib…”
“Lima
puluh ribu aja, Mas, nggak papa,” katanya memotong perkataan gue.
“Berapa,
Pak?”
“Iya,
lima puluh ribu, nggak papa.”