Ternyata Tokek
Rumah Sejuta Martabak
Mars, TX 75778
Salah satu alasan yang bikin gue males jogging di hari Minggu adalah karena males ketemu orang-orang yang gue kenal, tapi sebenarnya nggak akrab banget.
Gue males banget kalau harus
menciptakan percakapan nggak penting yang sebenarnya kalau nggak ada pun, nggak
apa-apa, hanya karena kita saling kenal dan ngaku berteman. Padahal, hanya
takut pertemuannya jadi awkward atau dikira sombong aja.
Kalau lagi di mal atau tempat semacam
itu, gue akan buru-buru membuang muka, menunduk, dan berbelok arah ketika di
depan gue melihat orang yang gue kenal tapi nggak akrab dan gue nggak pengin
menyapanya. Masalahnya, gue nggak bisa melakukannya pas lagi jogging karena gue
akan melewati rute yang sama hingga puluhan kali dan kesempatan untuk bertemu
dan melihat orang yang sama berarti sama banyaknya.
Kayak beberapa minggu lalu waktu gue
terpaksa jogging Minggu pagi, gue ketemu mantan pacar. Gue jogging Minggu pagi
karena terpaksa; di hari lain gue selalu bangun kesiangan semntara kaki udah
gatal banget pengin lari-larian.
Saat itu gue sudah lari sekitar
beberapa kilo ketika ada cowok nggak gue kenal yang nyenggol gue dari belakang.
“Hey, bos!” sapanya.
Dalam hati: ELO SIAPA SIH, NYET?!
“Hey!” jawab gue sambal senyum,
pura-pura kenal.
“Gokil. Suka lari juga ya? Kok nggak
pernah liat?”
Dalam hati: BANGET, DAN GUE JUGA
NGGAK PERNAH LIAT ELO KECUALI HARI MINGGU INI.
“Ah, ini baru pertama,” jawab gue.
“Oh, pantes,” jawabnya.
PANTES APAAN NYET?
Setelah ngobrol nggak penting dan
durasi lari gue jadi kepotong, gue pun lanjut lari dengan kecepatan yang gue
naikin dikit buat mengejar ketertinggalan waktu.
DAN GUE MASIH NGGAK TAU BARUSAN GUE
NGOBROL SAMA SIAPA.
Setelah satu putaran, cowok tadi gue
lihat sudah duduk di pinggir lapangan bersama..
…mantan pacar gue!
Mantan pacar gue itu adalah orang
yang pernah gue ceritain di sini.
Mereka duduknya agak berjarak,
sekitar satu setengah meter, tapi kelihatan akrab banget saat ngobrol. Dan,
setiap kali gue menjangkau sisi lapangan yang dekat dengan mereka, keduanya
selalu melambaikan tangan ke arah gue. Tapi gue tetap nggak mau berhenti kalau
goal yang sudah gue set belum tercapai.
“Lima putaran lagi!”
“Empat putaran lagi!”
“Tiga putaran lagi,” teriak gue
setiap kali mereka melambai.
Dalam hati: *sebal diganggu mulu*
Sebenarnya gue
nggak tahu berapa putaran lagi sampai target jarak lari gue tercapai.
Setelah kurang
lebih dua belas putaran, gue mematikan aplikasi jogging dan langsung nyamperin
mereka yang kelihatannya masih asyik banget ngobrolnya. Dalam hati gue teriak,
“KALIAN KENAPA NGGAK PULANG AJA SIH MATAHARI UDAH PANAS GINI YA AMPUN!”.
Maksud gue
kan ada tempat ngobrol yang lebih enak daripada pinggiran lapangan yang mulai
kepanasan matahari.
Gue
menyalami keduanya lalu duduk di tengah-tengah.
“Kalian
duduknya jauhan amat, kayak orang lagi berantem,” canda gue membuka percakapan.
Mereka
berdua tertawa, dan kalimat berikutnya yang keluar dari mulut mantan pacar biadab
ini sungguh tidak tertebak.
“Istri kamu
ke mana, kok nggak diajak?”
Gue
tersenyum getir, menunjuk ke arah motor. “Tadi ada di bawah jok. Nggak tahu
kalau sekarang.”
Keduanya
tertawa. Gue ikut tertawa.
Gue
bersyukur banget karena putus sama dia udah lama banget.
“Kamu
sendiri suaminya ke mana? Udah nikah belum sih, Ntan?” tanya gue ke mantan
dengan nada yang menyindir. Gue tahu dia belum menikah.
“Udah,
kemarin sore,” jawabnya sambil ketawa.
Cowok di
sebelah gue tertawa lebar. Dalam hati gue berkata, “JANGAN-JANGAN INI SUAMINYA,
ANJIR. TAPI KOK DIA KENAL GUE SIH.”
“Terus suami kamu ke mana, kok nggak
dibawa?”
Dia menatap cowok di sebelah gue
sambil tersenyum, dan tanpa menjawab, si mantan langsung menampol punggung gue
yang penuh keringat.
“Ke sini naik apa?” tanya gue lagi.
“Jalan kaki,” jawabnya.
“Kalau gitu pulang sama saya aja, mau
nggak? Saya sendirian nih, kebetulan.”
Cowok di sebelah gue yang dari tadi
cuma cengengesan, membuka suara.
“Iya, ikut aja. Sekalian nostalgia
masa muda,” katanya.
Dalam hati: APAAN SIH MONYET.
Pada akhirnya si mantan menolak
tawaran gue dan mengaku mau jalan kaki aja. Gue juga bersyukur dia menolak
ajakan gue, karena kalau ikut, banyak skenario yang sudah gue siapkan untuk
dia.
Satu: gue diemin sepanjang jalan.
Dua: duduknya gue suruh di atas handle
jok belakang motor.
Tiga: gue sengaja nabrak dan jatuhin
motor ke got.
Empat: gue lakukan ketiganya
bersamaan.
Setelah ngobrol unfaedah—I’ve told
ya!—gue pamit pulang.
Pas pulang, gue mampir ke minimarket
buat beli minuman. Begitu keluar, gue melihat si mantan boncengan sama si cowok
tadi. Mantan gue yang bawa motor, dan cowoknya di belakang sambil meluk erat banget
kayak tokek nemplokin manusia.
Gue berdiri dan sempat speechless
untuk beberapa detik saat melihatnya.
“TERNYATA TOKEK, GUE KIRAIN MONYET,”
gumam gue.