Menggampar Sekuat Tenaga
Rumah Sejuta Martabak
Mars, TX 75778
Setibanya gue di rumah sehabis jogging dan mengalami hal awkward bersama mantan pacar seperti yang gue ceritakan di postingan kemarin, listrik di rumah mati.
Gue nunggu sekitar 30 menit dan
listrik belum nyala juga, padahal gue sedang ingin menyelesaikan kerjaan yang
deadline-nya hari Senin alias besoknya. Karena bingung mau ngapain, gue pun
mandi dan berniat nongkrong-nongkrong bete di warung kopi legendaris di dekat
rumah.
Jadi, di dekat rumah gue ada warung
kopi sederhana yang sudah berdiri kokoh sejak gue masih SMP. Biasanya setiap
hari Sabtu sepulang sekolah gue dan teman-teman main ke sana, bukan buat
ngapa-ngapain, tapi beneran cuma buat minum kopi atau sarabba dan pisang goreng
yang memang terkenal enak.
Dan murah.
Dulu beneran itu harganya murah
banget karena dengan uang jajan dua ribu rupiah gue sudah bisa menikmati
segelas sarabba dan dua pisang goreng yang ukurannya sebesar dagu Thanos. Kalau
sekarang harganya sudah menyesuaikan kurs mata uang asing.
Hari itu di sana gue nongkrong
sendirian, tanpa laptop, tanpa hape, pokoknya tanpa teknologi. Di warung kopi
ini juga memang tidak ada wi-fi atau colokan untuk numpang ngecas. Tempat ini
benar-benar buat minum kopi, dan bersosialisasi di dunia nyata. Tapi karena
hari itu gue lagi bete banget habis dikibulin mantan dan listrik di rumah mati,
gue duduk di pojokan sendirian dan setiap ada orang yang gue kenal, gue
langsung nutupin muka gue pake sarung biar mereka nggak usah nyamperin gue
untuk basa-basi nggak penting.
Waktu kopi gue menyisakan setengah
gelas, tiba-tiba muncul kepala dari bawah meja gue.
YA ENGGAK LAH.
Tiba-tiba ada orang nepuk pundak gue dengan
cukup keras.
“Woe, Man. Kosong banget?”
Gue melihat sekeliling warung kopi
ini dan memang gue doang yang sendirian, yang lain ada yang datang berdua,
bertiga, berempat, dan di satu sudut ada yang datang ramean banget kayak mau
tawuran antarkampung.
“Woe, Gung. Iya nih, lagi bete
banget,” jawab gue datar.
Agung ini teman kelas waktu SMP. Gue
terakhir ketemu sama dia… itu… ehm.. anjir gue terakhir ketemu sama Agung
sembilan tahun yang lalu.
Gue langsung memperbaiki posisi duduk
yang tadinya membungkuk kayak kodok kena sembelit.
“Eh, kita lama nggak ketemu, Coy!
Gimana kabar kamu?” tanya gue dengan semangat.
“Haha, iya! Kita terakhir ketemu
sudah lama sekali. Waktu istri mantan presiden belum punya Instagram!”
mendengar itu, gue dalam hati
langsung ngomong, “ANJIR, INI ORANG JOKES-NYA OKE JUGA.”
“Sendirian?”
“Yoih.”
“Gimana, gimana kabarnya?” tanya gue
lagi. “Kok bisa ada di sini?”
“Iya, tadi saya duduk di sana
sendirian terus merhatiin kamu dan kok kayaknya kenal.”
Tiba-tiba gue merasa awkward.
Cowok yang lagi sendirian di warung
kopi diperhatikan terus-menerus oleh cowok yang juga sedang sendirian sampai
akhirnya disamperin dan cowok itu ngaku sendiri kalau dia memperhatikan.
GELI ANJIR.
“Lah, sendirian juga?”
“Sendiri. Lagi bete.”
DEG!
Gue lagi bete, nongkrong sendirian di
warung kopi. Temen gue lagi bete, dan juga duduk sendirian di warung kopi.
Apakah ini cinta?
“Di rumah kamu nggak lagi mati
listrik, kan?” tanya gue memastikan.
“Wah, enggak tau. Saya udah di sini
dari pagi.”
“Terus bete kenapa?”
“Belum capai target kerjaan.”
“Hari Minggu masih kerja?”
“Begitulah.”
Gue melihat baju yang dikenakan
Agung, sepertinya dia kerja di salah satu perusahaan perkreditan yang cukup
terkenal. Pokoknya huruf awal dan akhir nama depan perusahaanya sama-sama A dan
nama belakangnya pake kata Finance. Kalau kalian nggak tau, gue yakin nyokap
atau bokap kalian tau. Minimal pernah ngajuin kredit di sana deh.
Bokap gue sering soalnya.
Setelah ngobrolin sebentar soal
kesibukan masing-masing dan sama-sama nanyain teman-teman SMP yang sama-sama
nggak pernah kami temuin, Agung ngajakin gue cabut.
“Udah mau pulang belum, Man?”
“Belum, sih. Masih malas.”
“Temani saya ke rumah klien, mau
nggak?”
“Err.. di mana?”
“Ada lah. Dekat dari rumah Indarjaya,
teman SMP kita juga. Ingat?”
“Oh, ingat,” jawab gue. “Ya udah,
ayok!”
Tanpa sempat ngabisin kopi yang—tinggal
dikit sih, gue dan Agung langsung berangkat ke rumah kliennya. Gue boncengan
sama Agung pake motornya sementara motor gue, gue tinggal di warung kopi.
“Ini mau nagih ya?” tanya gue.
“Enggak.”
“Terus?”
“Klien ini pernah kredit motor, terus
nunggak.”
“HAH?”
“Iya. Dia nunggak sudah berapa bulan.
Ini tuh mau ngambil motornya sebenarnya.”
“LAH TERUS KENAPA ELO NGAJAK GUA? ELO
PIKIR GUA TUKANG PUKUL APA BEGIMANE, BADAN GUE KURUS KERING KAYAK DOBBY LAGI
KENA TYPUS GINI.”
“Dobby siapa? Teman SMP juga bukan?”
tanya Agung dengan polosnya.
“ANAKNYA PAK HAJI SOBIRIN!”
Gue yakin kami berdua nggak punya
kenalan dengan nama Sobirin.
Sekitar 15 menit kemudian, gue tiba
di depan rumah klien Agung yang nunggak bayar cicilan motor itu dan… KAYAKNYA
GUE KENAL DEH INI RUMAH SIAPA.
“Eh, ini rumah siapa sih?” tanya gue
saat kami berjalan masuk. Agung nggak menjawab, cuma menatap gue sambil senyum.
Begitu masuk dan memencet bel, gue
langsung mual ketika pintu dibuka oleh seorang bapak-bapak berkumis tebal dan
ubanan dengan tinggi badan kurang dari tinggi badan ideal untuk mendaftar
sebagai anggota TNI alias ITU PAK GUNTUR WALI KELAS GUE WAKTU KELAS SATU SMP
TOLONG YA!
Sambil duduk di ruang tamu, gue dan
Agung bertatap-tatapan dengan perasaan sama-sama nggak enak. Gue nyesal banget
mengiyakan ajakannya tadi.
Selama percakapan antara Agung dan
Pak Guntur, gue cuma diam dan jadi pendengar. Gue nggak tau mau ngapain, dan
nggak bisa pulang juga.
“Jadi kalian ke sini buat ngambil
motor saya?” kata Pak Guntur.
Agung diam.
Gue menunduk dan memejamkan mata,
berharap pas buka mata gue bisa tiba-tiba ada di puncak gunung Cartenz.
Gue masih ingat banget waktu SMP
pernah nemenin Agung ke sini karena nilai Fisikanya yang bermasalah. Agung
sampai ngemis-ngemis dan hampir sujud ke Pak Guntur biar nilainya bisa bagus,
dan hari ini gue seperti melihat dunia yang dipenuhi dengan hal-hal yang
berkebalikan.
Ternyata benar, roda kehidupan memang
berputar.
“Kalian boleh ngambil motor saya,”
Pak Guntur melanjutkan. “Tapi sebentar, sepertinya saya kenal kalian.”
Gue langsung menegakkan kepala.
“Saya juga sepertinya kenal Bapak,”
kata Agung.
“Saya sepertinya pernah mengajar
kalian.”
“Saya juga sepertinya pernah diajar
sama Bapak,” kata Agung, yang bikin gue nggak bisa menahan tawa.
Dan akhirnya beneran, di tengah
percakapan serius dan semi-awkward itu, gue dan Agung tidak kuasa menahan tawa.
Dan Pak Guntur hanya memandangi kami dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan
dengan kata-kata.
Saat itu juga, gue ingin menggampar
Agung dengan sekuat tenaga.