Menyadap Karet

Rumah Sejuta Martabak Mars, TX 75778
Pixabay on Pexels

Janjian ketemu jam tujuh, baru berangkatnya juga jam tujuh.

Bilangnya on the way, padahal tukang ojeknya aja belum sampay.

Ngomongnya bentar lagi sampai, padahal masih di kamar. BENTAR LAGI SAMPAI PAGAR RUMAH MAKSUD ELO, NYET?!

Gue nggak tau dengan kalian, tapi gue merasa kalau ngaret (terlambat datang ke suatu acara atau pertemuan, bukan kegiatan menyadap karet) di Indonesia sudah menjadi semacam budaya. Datang terlambat ke sebuah acara seolah-olah jadi hal yang sangat biasa. Bahkan, sebaliknya, malah kelihatan aneh kalau datang tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan.

Gue pernah menghadiri sebuah workshop di salah satu kota yang tidak ingin disebutkan namanya (kalau gitu kita sebut saja kota Bukan Bunga). Di undangan workshop tersebut, acara dimulai jam sembilan pagi. Karena gue suka dengan tema workshop tersebut, gue pun memutuskan untuk datang jauh lebih awal agar bisa dapat tempat duduk paling depan.

Biasanya, gue sudah sampai di sebuah acara paling enggak 10 atau 15 menit sebelum acaranya dimulai. Karena gue suka banget dengan tema workshop kali ini, gue datang 30 menit lebih awal.

Lalu apa yang terjadi?

Terjadilah.

Yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya.

#LAHMALAHNYANYI
YOK NYANYI SAMA-SAMA YOK

30 menit sudah lewat dari jam sembilan dan panitia workshop masih sibuk memasang banner acara. Sementara peserta workshop baru sekitar lima atau enam orang yang sudah hadir di lokasi.

Gue merasa kita teramat tidak menghargai waktu sampai-sampai menganggap orang lain pun menyikapi waktu dengan cara yang sama.

Nggak.

Nggak boleh gitu.

Gue orang yang (selalu berusaha) on time. Batas toleransi keterlambatan gue adalah 15 menit, maksimal 30 menit. Lewat dari itu, kalau gue nggak meninggalkan acara, berarti gue benar-benar sedang nggak ada kerjaan atau gue memang pengin banget banget banget ikut acara tersebut.

Dan lagi, mending kalau acaranya bermanfaat dan bisa menambah ilmu.

Sekali waktu gue pernah diundang ke acara meet and greet dan gala premiere sebuah film produksi lokal yang gue bahkan nggak kenal sama satu pun pemerannya. Gue terima undangan tersebut karena 1) gue suka nonton film 2) gue ingin mendukung film lokal, dan 3) gue punya waktu.

Acara tersebut molor sampai dua jam.

Apakah gue kesal? Tentu saja sangat kesal. Tapi gue berusaha tetap duduk meskipun tamu undangan lain di kiri dan kanan dan depan dan belakang gue juga sudah sama nggak nyamannya sama gue. Kekesalan gue makin menjadi-jadi ketika gue melihat para pemain film tersebut sudah tiba di lokasi tapi bukannya langsung ke main stage biar acara bisa segera dimulai (atau ke back stage untuk siap-siap) tapi malah mampir ngobrol dulu di samping panggung acara.

Gue kenal, enggak.

Terkenal juga enggak terkenal banget.

Tapi attitude kayak sampah.

BUSUK.

Pada akhirnya gue tetap menunggu acara katanya-sih-meet-and-greet sampai selesai dan ikut nonton bareng film tersebut karena udah nggak mau kepalang tanggung. Untungnya filmnya lumayan menghibur dan kekesalan gue mereda.

Tadinya gue maklum dengan acara semacam itu (gala premiere dan workshop skala sedang) dan menganggap mungkin saja waktu persiapan mereka sangat sedikit sehingga waktu acaranya jadi molor sampai berjam-jam. Tapi ternyata hal yang sama terjadi ketika gue ikut acara besar yang berskala internasional yang bahkan persiapannya sudah sejak setahun sebelumnya. Hampir semua kelas yang gue ikuti di acara tersebut, molor karena baik pemateri maupun pesertanya ngaret semua. Kecuali satu kelas yang pematerinya orang Belanda, Belanda, dan Australia (iya ada tiga orang pemateri sekaligus) yang tetap memulai acara padahal saat itu baru tiga orang peserta yang hadir, termasuk gue. Mereka nggak peduli ruangan penuh atau kosong, kelas tetap dimulai.

Tiba-tiba gue merasa kagum sama mereka.

Mungkin mereka benar-benar memegang prinsip Azerbaijan kuno yang berbunyi: “Qadağanlığı qadağan” yang artinya dilarang buang sampah sembarangan.

Eh, bukan.

Maksud gue mereka memegang prinsip kalau elo ikut kelas gue, berarti elo yang butuh ilmu gue, bukan sebaliknya, Nyet. Dan memang seharusnya begitu. Masa pembicara yang nungguin peserta yang ngaret dan datang sesuka hatinya, hellaaaaww, emang elo siapa? Ponakannya Donald Trump juga bukan.

Tapi titik berat masalah ini memang bukan cuma dari sisi penyelenggara melainkan juga peserta. Sering banget ketika gue datang ke suatu acara, ada peserta yang baru datang ketika acara udah mau ditutup. Gue nggak tau peserta model begini ini niatnya datang ke acara mau mencari ilmu, atau bantuin panitia beres-beres. Tapi buat gue itu cukup mengganggu.
Parah.

Saking parahnya budaya ngaret di Indonesia, sampai ada anekdot yang bunyinya gini:

“Kalau kamu lagi di luar negeri dan ketemu orang yang ngaret banget, hampir bisa dipastikan itu orang Indonesia.”

Pernah dengar?

Enggak?

Oke. Itu memang gue yang ngarang. Tapi kayaknya kalimat gue di atas bisa diresmikan sebagai anekdot untuk menggambarkan budaya ngaret di Indonesia yang sudah ada di level memprihatinkan.

Di kelas yang internasional yang gue singgung di atas, benar ada peserta acara yang baru datang dan dengan tergesa-gesa masuk ruangan sekitar lima menit sebelum acara dibubarkan. Gue sempat berpikir kalau orang itu ngaret karena beneran baru selesai menyadap karet.


Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.