All about That Bass

via IndiaTimes
Judul               : All about That Bass
Penyanyi        : Meghan Trainor
Album             : Title (EP)
Tahun             : 2014

Bagi orang lain, waktu KKN mungkin adalah waktu yang paling pas buat liburan. Mereka betul-betul memanfaatkan waktu itu untuk mendatangi tempat-tempat yang sebelumnya belum pernah mereka kunjungi, dan mengeksplorasinya. Tapi bagi gue, KKN adalah bagian dari bencana.

Karena waktu kuliah gue ngambil jurusan non-pendidikan, jadi gue ikut KKN Reguler yang mana semua mahasiswa diharuskan mengabdi di pedalaman yang jangankan sinyal internet dan telepon, listrik aja syukur banget kalau ada.

Begitu juga dengan gue.

Selama dua bulan, gue KKN di tempat terpencil di atas gunung yang jauh di sana, sekitar enam jam perjalanan dari tengah kota. Di sana, di rumah yang jadi posko kami, untungnya sudah ada listrik. Sudah ada sinyal telepon juga, tapi hanya di tempat-tempat tertentu dalam ruangan, dan hanya berlaku untuk provider tertentu juga. Misalnya, provider Telkomsel hanya bagus kalau handphone ditaruh di dekat jendela kamar lantai atas, provider Smartfren bagus di belakang pintu ruang tamu, dan provider XL lumayan kalau handphone ditaruh di atas laptop di pojok kamar lantai atas. Provider sisanya yang nggak gue sebutkan, sudah kami coba semua dan hasilnya negatif. Hampir semua titik di dalam rumah juga sudah kami coba tapi tiga spot itulah yang terbaik. Geser dikit, mampus.

Setiap pagi kami selalu berebutan tempat untuk mencari sinyal dan menghubungi kekasih masing-masing sebelum memulai aktivitas. Gue akan duduk di jendela pagi-pagi sekali dengan jaket tebal, celana training, kaos kaki, dan sarung sekaligus karena dinginnya cuaca di pagi hari yang bisa menyamai atmosfer planet Mars. Sandi—teman posko gue, akan tidur tengkurap di pojok kamar sambil berharap-harap cemas, sementara itu Muflih pasti sedang jongkok di belakang pintu ruang tamu dan teman-teman yang lain mengantre di belakang masing-masing sesuai provider yang mereka gunakan.

Bayangin kalian lagi sayang-sayangan sama pacar di telepon tapi sambil diliatin teman-teman karena ngobrolnya nggak bisa sambil bisik-bisik.

Karena itulah gue hanya melakukan ritual pagi-pagi itu di lima atau enam hari pertama. Setelahnya gue nggak mau lagi mengorbankan harga diri gue dan memutuskan untuk tidak usah menghubungi pacar gue dulu untuk sementara waktu.

“Nanti saya hubungi lagi kalau ke kota yang sinyalnya bagus,” kata gue di akhir telepon tanpa meminta jawaban, mematikan telepon lalu mempersilakan teman gue yang sudah antre dari tadi untuk mengambil alih posisi gue.

Karena jarak dari posko KKN ke kota yang lumayan jauh dan jalanan yang cukup ekstrem, selama dua bulan gue ke kota cuma dua atau tiga kali. Itu pun setelah gue diputusin lewat SMS.

“Kamu kayaknya udah enjoy banget di sana, sampai nggak pernah ngasih kabar.”

“Kita putus aja.”

Dua SMS berturut-turut masuk saat gue baru pulang sehabis memasang penanda jalan di sepanjang desa sebagai bagian dari program kerja kami waktu itu. Gue menutup SMS itu dengan ekspresi kecewa lalu tersenyum kecut ke teman gue yang saat itu berdiri di depan gue.

“Kenapa lo, Bro?” tanyanya.

“Anjing gue mati ditabrak bentor! Perutnya terkoyak-koyak, tidak bisa diselamatkan! Mukanya hancur dan makanannya hilang diambil orang!”

“Oh, jadi lu punya anjing,” gumam teman gue.

“Nggak punya, sih.”

Teman gue terlihat heran dan mengucapkan turut berduka cita lalu meneteskan air mata.

“Lah, elu sendiri kenapa, kok nangis?” tanya gue.

“Gue diputusin sama cewek gue. HUAAAAHHH”

Gue lompat turun dari jendela lalu merangkul teman gue ini.

“Kita senasib, Bro.”

Lalu kami saling mengelap air mata setelah capek menangis.

***

Sekitar tiga hari sebelum penarikan mahasiswa KKN, posko kami kedatangan tamu, mahasiswi KKN dari kabupaten sebelah yang sudah pulang duluan. Dia temannya teman gue. Berniat tinggal di posko kami selama tiga hari.

Namanya Mia.

Cantik.

Jago bahasa Inggris.

Dan update banget sama lagu-lagu yang sedang hits.

Gue, dan teman-teman gue yang lebih dari setengahnya udah diputusin pacarnya karena masalah sinyal, akhirnya berpikir untuk mendekati Mia. Kebetulan di posko gue jumlah laki-laki dan perempuan perbandingannya 80/20 dan nggak ada yang menarik alias nggak sesuai tipe kami. Mia ini, tipe kami banget. Saat tau Mia ternyata masih single, hasrat ingin memiliki kami yang jadi jablay selama hampir dua bulan ini, makin tidak terbendung.

Kami menggombal Mia gantian, dan terang-terangan. Bahkan salah satu teman gue ada yang terang-terangan bilang, “Mia, mau nggak jadi pacar saya? Saya jomlo kok.”

Hari kedua, Mia mengetahui dari temannya kalau kami semua naksir dia. Lalu lewat temannya itu juga, kami diberitahu kalau kami bisa mendapatkan hati Mia dengan satu syarat; hafalin lirik lagu yang paling hits saat itu, dan nyanyikan di depan Mia sebelum penarikan KKN. Gue yang suaranya lebih fals dari suara apa pun di planet bumi, menyerah sebelum bertarung. Dua teman gue lainnya juga. Sisanya berani mengiyakan.

Meskipun nggak ikut “kompetisi” yang diadakan Mia, gue tetap meminta daftar lagu yang direkomendasikan oleh Mia untuk dihafal dan dinyanyikan nanti. Ada sekitar delapan lagu di daftar itu dan nggak ada satu pun yang gue tau. Tinggal di desa terpencil tanpa sinyal internet buat gue adalah bencana berlipat-lipat.


Di antara delapan lagu itu, gue tertarik dengan satu lagu berjudul All about That Bass dari Meghan Trainor. Dan saat iseng gue dengarkan, gue langsung suka. Lagu itu kemudian jadi salah satu lagu favorit gue yang setiap kali gue dengarkan, gue selalu tersenyum dan teringat dengan Mia yang pada akhirnya hatinya tidak dimenangkan oleh siapa-siapa. Belakangan, gue dengar kabar dia menikah dengan teman yang mengajak dia datang ke posko kami waktu itu.

Copyright © N Firmansyah
Building Artifisial Newsletter.