She Will Be Loved
Rumah Sejuta Martabak
Mars, TX 75778
Judul : She Will Be Loved
Penyanyi : Maroon 5
Album : Songs about Jane
Tahun : 2002
Gue
sedang terburu-buru menuju hotel bersama seorang teman—panggil saja Farel—yang
akan mendaftar jadi peserta lomba lari maraton saat handphone gue bunyi, satu
panggilan masuk dari nomor yang tidak gue kenal. Tanpa pikiran apa pun gue
menjawab telepon itu.
“Halo…”
“Halo,
dengan Firman?” kata suara di seberang sana.
“Yak,
betul. DUA JUTA RUPIAH!. Ini siapa ya?”
“Ari,
yang kemarin minta nomor itu.”
Ari.
Kemarin. Minta nomor.
“Sori,
yang mana ya?”
“Yang
kemarin minta nomor di DM Twitter.”
“Sori,
saya lupa.”
“d’Masiv,
d’Masiv,” katanya tanpa menyerah.
“Oh,
ingat, ingat…”
Sehari
sebelumnya gue menyambar cuitan d’Masiv di Twitter dan menanyakan kapan mereka ke
Makassar lagi dan si Ari ini menyambar twit gue dengan “Orang Makassar dan suka
d’Masiv juga ya? DM nomor dong!” dan dengan sedikit ragu gue pun mengirimkan
dia nomor telepon gue via DM. Paling mau
nawarin MLM, pikir gue. Setelah itu gue tidur karena saat itu sudah jam
tiga pagi.
“Gimana,
gimana, Bro?” tanya gue.
“Lagi
di mana?”
“Ini
lagi di jalan, sama temen.”
“Oh,
hari ini mau ketemu, bisa gak?”
“Buat
apa ya?” pikiran gue mulai tidak enak. Jangan-jangan memang leader MLM lagi cari
mangsa. Apalagi waktu itu memang MLM sedang ramai-ramainya.
“Nggak
ada, cuma mau ngobrol aja,” jawabnya santai.
Tuh,
kan!
Kalau
bukan MLM, siapa lagi yang suka tiba-tiba tidak ada hujan tidak ada payung,
tahu-tahu ngajak ngobrol?!
“Kalau
hari ini nggak bisa, Bro. Soalnya udah ada urusan. Besok aja, atau nanti saya
kabarin lagi. Gimana?”
“Oh,
okay! Nanti saya telepon lagi, ya.”
“Sip!”
Setelah
telepon mati, Farel bertanya dan gue menjelaskan ulang kejadian kemarin beserta
percakapan gue di telepon baru saja.
“Homo
kali dia tuh,” kata Farel dengan santainya. Bagian depan helm gue membentur
bagian belakang helmnya setelah dia mengerem mendadak karena ada mobil yang
mendadak berhenti. Hari ini semua serba mendadak.
“Atau
mungkin mau nawarin MLM,” tambah gue.
“Atau
jangan-jangan, dia, homo yang mau nawarin MLM?”
Gue
diam, Farel ikutan diam dan hening menemani kami hingga sampai di lokasi
pendaftaran lomba. Setelah urusan teman gue selesai kami pun pulang.
Besok
paginya Ari kembali menelepon dan minta ketemuan. Pikiran gue masih seputar dia
mau menawarkan gue untuk jadi downline-nya dan sesekali memikirkan kalau dia
benar manusia homo seperti yang dikatakan Farel di atas motor kemarin. Gue pun
akhirnya memutuskan untuk menemui Ari dengan harapan tinggi bahwa tujuannya
adalah yang nomor satu. I mean,
setidaknya kalau benar dia adalah agen MLM, gue bisa menolak ajakannya dan
masalah selesai.
“Saya
di tempat makan pisang epe di ujung utara Losari, ya.”
“Oke,
saya segera ke sana.”
Sore
hari sekitar satu jam setelah janjian kami pun bertemu. Segalanya benar-benar
di luar perkiraan gue. Ari ternyata bukan manusia homo dan bukan mau menawarkan
bisnis MLM. Bukan.
“Jadi
kapan mau gabung?”
“Hm,
saya pikir-pikir dulu deh. Soalnya saya sebenarnya tidak suka-suka amat sama d’Masiv.”
“Oke.
Tapi kalau kamu jadi anggota Masivers, kamu bisa ketemu d’Masiv di belakang
panggung dan akses lain yang tidak bisa didapatkan penonton lain. Saya udah
sering ketemu mereka, pernah sehotel sama mereka, dan selalu ngantar-jemput
mereka ke bandara kalau mau konser atau jalan-jalan ke sini. Bahkan pernah
salat Jumat bareng mereka. Jangan lewatkan kesempatan emas ini!”
Penjelasan
Ari bikin gue sejenak berpikir kalau d’Masiv baru saja berubah dari grup musik
ke grup multi-level marketing.
“Oke,
oke. Nanti saya kabarin. Tapi kalau saya tidak jadi gabung, tidak apa-apa,
kan?”
“Tidak
masalah, yang penting silaturahmi tetap jalan.”
Sore
itu ditutup dengan kami menikmati pemandangan sunset di Pantai Losari. For your information, Pantai Losari
adalah salah satu spot terbaik untuk melihat pemandangan matahari terbenam di
Indonesia Timur.
Setelah
pertemuan itu, gue dan Ari makin sering ketemu, di dunia nyata dan di dunia
maya. Dan gue tidak pernah gabung jadi anggota Masivers yang waktu itu
anggotanya belum sampai sepuluh orang. Tetapi, seperti pesan Ari di awal,
silaturahmi tetap harus dijaga. Hanya beberapa bulan sejak saling kenal, gue
dan Ari sudah seperti kakak-adik. Dia pernah tinggal di rumah gue beberapa
hari, gue sering tidur siang di kosannya kalau sedang malas masuk kuliah, dan
kami sering menghabiskan waktu nongkrong hemat di KFC di samping kampus gue.
Dan
di situlah kami pertama kali menyukai She Will Be Loved-nya Maroon 5.
Handphone
seorang perempuan yang duduk di meja sebelah, berbunyi. Perempuan itu sempat
menatap kami sebelum mengecek handphone-nya, dan setelah perempuan itu
mengobrol dengan seseorang di seberang telepon, Ari dengan percaya dirinya
berdiri dan menghampiri perempuan itu.
“Itu
tadi lagu apa, ya?” tanyanya.
“Yang
mana?”
“Yang
jadi ringtone Mbak tadi.”
“Oh,
Maroon 5.”
“Judulnya?”
“She
Will Be Loved.”
Lalu
Ari kembali ke tempat duduknya sementara gue hanya tersenyum melihat mereka
mengobrol. Dan gue baru saja mikir, “pantesan Ari sampai hari ini masih jomlo,
deketin cewek bukannya minta nomor malah nanya judul lagu.”
Keesokan
harinya ketika gue main ke kosan Ari lagi, lagu She Will Be Loved dari Maroon 5
itu sudah terputar di speaker Bluetooth JBL mini-nya. Lama-kelamaan gue jadi
keseringan mendengar lagu itu dan selalu auto-nyanyi setiap kali sampai di
bagian “I don’t mind spending everyday” lalu dilanjut dengan “Na na na na na na
na na” karena kami sama-sama tidak hafal lirik lanjutannya. Lalu ketika gue
mulai jarang ketemu dengan Ari karena kesibukan masing-masing, maka setiap
punya kesempatan bertemu gue akan selalu menyanyikan penggalan lirik lagu itu
dan tidak akan ada yang bisa menghalangi kami untuk tertawa mengingat waktu
menghangatkan itu.
Tapi
kalau kalian pikir gue dan Ari selalu melewati waktu dengan baik-baik saja,
kalian salah besar. Karena satu kesalahpahaman kecil (akan gue ceritakan lain
waktu), gue sempat lost contact
selama hampir setengah tahun dan baru rujuk lagi ketika kami bertemu secara
tidak sengaja di sebuah mal di tengah kota.
“Kok
sendiri? masih jomlo aja?” tanya gue sambil memeluk Ari.
Ari
kaget bukan main. Dan tanpa menjawab, ia membalas pelukan gue lalu setelahnya
meninju pipi gue hingga lebam.
Bangsat.