OH

Rumah Sejuta Martabak Yogyakarta City, Indonesia
via KOMPAS TRAVEL
Malam Minggu kemarin, gue nggak ke mana-mana gara-gara hujan. Sudah sejak dua bulan lalu, setiap malam Minggu pasti hujan. Padahal siangnya bisa panas banget kayak neraka, tapi begitu masuk sore pasti mendung dan selalu turun hujan sebelum malam. Hujannya baru berhenti pada jam-jam udah malas ke mana-mana lagi.

Karena nggak ke mana-mana dan hujannya nggak reda-reda juga, gue memutuskan buat baca buku sambil ngemilin bakwan yang gue beli di samping kosan tadi sorenya. Gue beli bakwan lima, cabenya sepuluh biji. Sengaja, biar besoknya gue sakit perut dan bisa izin nggak masuk kerja.

Ternyata selain membawa kenangan tentang masa lalu, hujan juga bisa bikin lapar datang lebih cepat. Belum sepuluh menit gue ngabisin bakwan yang gue beli tadi, gue udah laper lagi. Gue liat keluar, hujannya udah mulai reda. Akhirnya gue putuskan buat keluar beli nasi padang di tempat langganan. Kebetulan tempatnya nggak jauh dari kosan, cuma harus mendakit bukit lewati lembah lalu melewati jembatan, danau buaya, rumah makan padang.

Katakan bersamaku. Jembatan, danau buaya, rumah makan padang! Katakan sekali lagi. Jembatan, gunung, rumah makan padang!

Sampai di rumah makan padang langganan gue, hujan tiba-tiba turun lagi. lebih deras dari sebelumnya. Karena gue bilang ke Pak Darwis (nama pemilik rumah makan) buat dibungkus aja, gue pun nunggu hujan reda sambil duduk di dalem sambil mainin Onet di hape. Tiba-tiba ada orang dari luar, lari ke dalam rumah makan padang, tepatnya di samping tempat duduk gue. Dia datang sambil tersenyum ke gue dengan muka nggak bersalah padahal air hujan yang membasahi pakaiannya hampir setengahnya keciprat di layar hape gue.

Gue usap layar hape gue dengan baju sambil berusaha mengabaikannya. Sekarang, ngalahin high score lebih penting daripada harus ngomelin orang yang nggak gue kenal.

Oh, I’m sorry. I don’t mean to do it.” Tiba-tiba orang itu ngomong, entah sama siapa.

Gue menoleh, dia ternyata ngomong ke gue. Ternyata dia bukan orang Indonesia. “Gue kibulin juga nih bule,” kata gue dalam hati.

It’s okay,” kata gue. “Never mind, never mind.” Gue lalu sibuk kembali dengan Onet.

Let me clean your phone,” kata bule itu lagi.

DASAR BULE KAMPRET. WAKTU GUE HABIS, GAME OVER.

Oh, no, no. It’s okay. You don’t have to,” kata gue.

Gue mulai mainin Onet dari awal lagi, sambil berharap si bule nggak gangguin gue lagi.

I am looking for dinner. I want to try Javanese food,” kata si bule lagi.

Gue diem.

Si bule berdehem.

Gue mandangin dia dengan muka kesal sambil mencet “pause”.

Excuse me?” kata gue.

I am looking for Javanese food for dinner,” kata dia lagi.

Karena nggak mau ribet, gue jawab aja, “You are in the right place.”

“Oh,” jawab dia.

Lalu dia memesan masakan padang ke Pak Darwis dengan cara nunjuk-nunjuk. Gue liatin dia mesan apa, gue liat dia minta tempe sama ikan. Setelah itu dia duduk di depan gue.

May I seat?” katanya setelah duduk. Gokil juga nih bule.

Of course,” kata gue. Gue lalu tersenyum. Lucu juga nih bule. Nyari makanan Jawa di rumah makan padang.

I like Javanese food very-very much,” kata dia.

“Oh,” jawab gue. “Ya, ya, ya.”

Pak Darwis lalu datang ke gue sambil berbisik kalau bule ini belum bisa bahasa Indonesia, dia baru datang ke Indonesia sejak beberapa hari yang lalu. Pak Darwis juga minta agar gue nemenin dia dulu sambil nunggu hujan berenti karena dari kemarin nggak ada yang ngerti dia ngomong apa.

“Dia udah sejak kapan main ke sini, Pak?” tanya gue ke Pak Darwis.

“Sejak hari pertama,” jawab Pak Darwis.

Setelah gue tanya-tanya, ternyata bule ini asalnya dari Prancis. Datang ke Indonesia nemenin istrinya yang katanya ada tugas di sini. Pas gue tanya dia di sini sibuk apa, dia malah jawab mau nyobain semua makanan Jawa karena semuanya enak-enak. Pas gue tanya lagi makanan Jawa apa aja yang udah dia makan, dia dengan bangga menjawab, “Nasi padang, rendang, pecel lele, coto Makassar, dan bubur kacang ijo” dengan aksen… ya, you know lah kalo bule nyebutin nama-nama makanan Indonesia.

Pengen gue ketawain, tapi kasian.

“Nasi padang, rendang, and of course, coto Makassar, they are not Javanese food, actually. Rendang and nasi padang are from Sumatera, Coto from Makassar, South Sulawesi.”

Dia kaget, tapi jawabannya selanjutnya malah bikin gue makin kasian aja.
But why they sell them in Java?”

Nih bule nggak pernah liat Nasi Jepang cabang Korea kali ya. Akhirnya gue bilang aja kalau yang jualan nasi padang di Jawa itu kebanyakan pendatang dari Padang, Sumatera. Karena rasanya enak makanya jadi banyak yang buka warung makan padang, orang Indonesia kan pinter nyari peluang bisnis, Le. Waktu ada penampakan crop circle aja tiba-tiba ada lahan parkir dan biaya kalau mau ngambil foto padahal yang datang mau liat itu rombongan Tim LAPAN yang mewakili pemerintah.

Setelah ngobrol lama dengan bahasa Inggris gue yang lumayan pas-pasan, dia baru memperkenalkan diri. Gue juga pede-pede aja ngobrol sama dia karena dia juga bahasa Inggrisnya nggak jago-jago banget. Gue yakin skor TOEFL dia sama gue juga nggak beda-beda jauh.

My name is Zach, Z-A-C-H. But you can call me Yadi.”

“HA? YADI?!!”

Yes, my wife gave me that name. She told me it was cool.”

Mungkin bagi bule nama Yadi itu keren, tapi ketika dia bilang you can call me Yadi, gue malah ngebandingin dia sama Yadi Sembako.

Did you know who Yadi is?”

Yeah, it’s me.”

No. No. I mean, look at this.” Gue ngeliatin foto Yadi “the one and only” Sembako yang gue cari di Google.

Dia ngeliatin dengan saksama. Dia rebut hape gue dari tangan gue, dia liatin sampai kepalanya miring kayak gasing yang udah hampir jatuh gara-gara putarannya mulai melemah.

Woah! He is really cool!” seru dia.

“OH,” kata gue.


Gue nggak nyangka ternyata ada bule yang bilang Yadi Sembako keren dengan suara selantang itu. Malam Minggu gue kali ini benar-benar penuh dengan hiburan.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.