Memang Sudah Seharusnya Mengeluh
Rumah Sejuta Martabak
Yogyakarta City, Indonesia
Satu
hal yang gue rasain sebagai pengguna internet di Indonesia adalah, merasa
dipermainkan oleh perusahaan penyedia jasa layanan internet. Mulai dari jenis
paket yang maksa, harga yang nggak sesuai dengan pelayanan, hingga kualitas
jaringan yang seenak jidat.
Selama
bertahun-tahun ini, gue sudah menggunakan paling nggak tiga provider untuk
mendukung kegiatan blogging dan blogwalking gue. Dan juga stalking mantan.
Provider
Satu: Terkomsel
Provider
Dua: Shree Indonesia
Provider
Tiga: Indosad.
Kalau
nggak salah ingat, jaringan 3G di Indonesia sudah ada sejak gue SMA, saat gue
baru ngerti internet tapi masih pake handphone yang cuma bisa difungsikan untuk
menelepon, SMS, dan untuk menggantikan peran lilin saat mati lampu di rumah.
Di
daerah rumah gue waktu itu memang hanya 3 provider itu yang jaringannya lumayan
stabil, makanya gue nggak pernah nyoba pake EX EL ataupun Ezia Hidayah, karena
jangankan jaringan internetnya, kirim SMS aja sujud syukur kalau sampai. Gue akan
bahas satu per satu tentang ketiga layanan internet provider yang sudah gue
gunakan itu, yang mana, bikin gue kesal sendiri dan nggak berhenti berkeluh dan
berkesah terutama di sepanjang sore hingga hampir tengah malam.
Pertama-tama,
provider satu. Provider yang katanya jangkauan jaringannya paling luas di
negeri ini. Bangga punya provider dengan jaringan terluas? Nggak juga. Kenapa? Karena
artinya, dengan punya provider dengan jaringan terluas gue bisa seenaknya
menentukan tarif dan orang-orang terutama di pelosok sana mau nggak mau akan
tetap menggunakan layanan gue. Istilahnya, take
it all or nothing at all. Dan begitulah kenyataannya. Nggak ada yang berani
memasang tarif lebih mahal dari Terkomsel.
Di
zaman gue masih sekolah, tarif Provider Satu masih masuk akal sih. Terutama tarif nelepon dan SMS. Gue masih ngerasain
banget, dulu gue masih bisa SMS dengan tarif Rp50 per SMS dan telepon Rp1 per
detik. Soal jaringan nggak usah ditanya, dalam sebulan mungkin SMS pending hanya terjadi paling banyak satu
atau dua kali. Iya, zaman gue sekolah memang orang-orang masih lebih banyak
menggunakan SMS daripada media sosial untuk berbagi informasi. Pengguna Facebook
kala itu baru kalangan tertentu aja.
Lalu
era internet pun dimulai.
Gue
mulai rajin main ke warnet, sampai akhirnya punya handphone sendiri yang
memungkinkan akses internet. Puja Kerang Ajaib!
Waktu
berlalu, Provider Satu mulai memberlakukan tarif yang nggak sesuai dengan isi
kantong gue sebagai anak sekolah yang sebentar lagi jadi mahasiswa. Sinyal nggak
usah ditanya, jelas tetap lancar. Jaringan terluas dan nomor satu, gitu. Tapi kuota
internet gue jadi kayak duit jajan gue yang pas-pasan dipake belanjain gebetan
yang matre, CEPET HABIS. Emang salah satu kelemahan Provider Satu sih ini:
kuota cepat habis dan pulsa utama otomatis kepotong tanpa pemberitahuan kalau
kuota internet habis.
Gue
pun beralih ke Provider Dua.
Kebetulan
sekali saat itu Provider Dua hadir dengan harga kuota internet yang jauh lebih
murah dengan kualitas jaringan yang lumayan. Jelas, Terkomsel masih menang
kalau soal kualitas jaringan, cuma harganya aja yang bikin kantong jebol. Ya, like I said, ibarat cewek Terkomsel ini
matrenya minta ampun dan pacarannya nggak pake hati. Mungkin karena dia merasa
paling cantik, seksi, dan jago masak.
Di
rumah gue, jaringan internet Provider Dua aman-aman aja. Sayangnya ketika gue
jalan-jalan ke rumah mantan, yang mana gue hampir tiap minggu ke sana, internet
lumpuh total dan gue nggak bisa pamer di media sosial. Padahal jarak dari rumah
gue ke rumah mantan gue cuma 5 langkah. Lima langkah kaki Hulk, kalau naik
motor ya paling 7-10 menitan. Maka untuk jaga-jaga, gue menggunakan jasa
Provider Tiga a.k.a Indosad sebagai cadangan ketika gue pergi ke rumah mantan
karena nggak mungkin gue balik lagi ke Provider Satu a.k.a Terkomsel.
Harga
Provider Satu udah nggak masuk akal sementara Provider Dua dan Provider Tiga
masih sama dengan kualitas jaringan yang sama alias nggak lebih bagus dari
Provider satu. Lalu, gue mikir: dengan tarif internet Provider Dua dan Provider
Tiga yang sama aja dengan jangkauan jaringan yang lebih luas, mending gue pake
Provider Tiga sekalian aja daripada harus repot-repot ganti provider setiap
kali ke rumah mantan. Dan gue merasa jatuh cinta dengan Provider Tiga, lalu gue
sadar kalau ternyata gue gampang banget jatuh cinta dan berpindah ke lain hati.
Tapi
kecintaan gue sama Provider Tiga hanya berlangsung beberapa bulan. Banyak ketidakcocokan
di antara kami. Ternyata perhatiannya ke gue cuma di tiga bulan pertama, apa
yang dia kasih ke gue ternyata nggak tulus. Ada maunya. Ada udang di balik batu…
dan bakwan. Eh kok jadi laper.
Jadi,
setelah tiga bulan pertama Provider Tiga muncul dengan janji-janji murah dan
jaringan stabilnya, harganya pun meroket hingga hampir menyamai tarif internet
Provider Satu. Gue jadi bingung, apakah gue putusin aja Provider Tiga dan balik
ke Provider Satu atau Provider Dua, atau gue nangis aja di pojokan dan putusin
semuanya. Akhinya gue memilih jalan tengahnya: menggunakan Provider Dua dan
memutuskan untuk nggak internetan selama gue di rumah mantan. Dan ternyata
hasilnya cukup positif. Tanpa jaringan internet beberapa waktu gue jadi bisa
lebih produktif menulis dan membaca, seperti yang sering gue lakukan saat
internet belum menginvasi bumi. Gue sangat sering menulis cerita fiksi dan
sangat gemar membaca buku-buku gratisan seperti: Sosiologi I & II, Biologi
IA, dan Matematika & Sains. Bacaan itu bisa gue dapetin secara gratis di
perpustakaan sekolah setelah gue mendaftar anggota perpustakaan dengan biaya
administrasi Rp5 ribu selama masih terdaftar sebagai siswa. Lumayan buat nambah
ilmu, kan…
Jaringan
4G pun diperkenalkan, dan kesetian gue mulai diuji.
Analogi memilih provider internet memang sama seperti memilih pasangan. Kita akan mencari kenyamanan, senyaman-nyamannya. Dengan kondisi intenet di Indonesia sekarang yang menurut gue amburadul, wajarlah jika gue sering berkeluh-kesah terutama soal harga dan pelayanan. Wajarlah jika gue sering marah-marah ke pasangan gue yang selalu menuntut ini-itu sementara dia nggak pernah ngasih gue apa-apa.
Seperti
yang gue sebutkan di paragraf pertama pada kata ke-23, provider di Indonesia
itu paketnya maksa. Contohnya: gue menggunakan smartphone yang hanya sanggup
menampung jaringan di batas 3G, sementara Provider Dua menjual paket internet
3GB seharga Rp50 ribu dan Provider Tiga menjual paket internet 4G seharga Rp35 ribu
dengan catatan 1GB untuk jaringan 3G dan 3GB untuk jaringan 4G. Murah kalau
nggak bisa dipake juga buat apa? Gue nggak bisa memilih untuk menggunakan
seluruhnya sesuai kebutuhan gue. Ibarat pacar, Provider Tiga bener-bener
posesif, melarang ini dan itu. Di sisi lain ada Provider Dua yang kalau ibarat
pacar dia ngebebasin gue ke mana-mana sama siapa aja, asal dianya ngikut. PFT.
Berikutnya,
harga yang nggak sesuai pelayanan dan kualitas jaringan yang seenak jidat.
Baru-baru
ini gue mengalami masalah dengan Provider Dua yang sedang gue gunakan. Tiap sore
menjelang malam jaringannya selalu bikin gue pengen banting Monas sampe berubah
jadi Tower of London, jaringan internetnya baru akan stabil lagi setelah jam 11
malam. Padahal di jam itu adalah waktu gue untuk blogwalking sambil
santai-santai stalkingin mantan.
Tentu
saja gue melaporkannya ke CS, dan selalu jawaban yang muncul pertama kali
adalah jawaban yang sejak zaman penjajahan sudah basi: Restart hape, yang mana itu
nggak berguna sama sekali. Di saat itu gue kadang merasa menyesal tapi kemudian
sadar kalau penyesalan itu nggak ada gunanya. Pernah juga gue akhirnya bisa
menggunakan smartphone yang mendukung jaringan 4G dan merasakan sinyal 4G dari
Provider Satu. Lancar jaya, tapi kuota sangat boros dan kalau lagi ngadat, bisa
lebih lemot dari 2G. Laporin lagi? You’ll
get the same answer all the times.
Problem never solved. Maka sangat wajar jika pengguna
internet di Indonesia nggak berhenti mengeluh soal jaringan, pengguna internet
di Indonesia memang sudah seharusnya mengeluh tentang kualitas pelayanan dan
kualitas jaringan yang nggak sesuai dengan harga.