Jakarta, SUV, dan Kucing
Rumah Sejuta Martabak
East Jakarta, Indonesia
via SALONDOTCOM |
“Jakarta is the best place to spend money,”
kata tetangga gue yang belasan tahun merantau ke Jakarta, ketika dia pulang
lebaran tahun lalu. Make sense sih
pernyataan itu, mengingat Jakarta adalah kota yang besar, ibukota negara, pusat
segala hal mulai dari bisnis, kuliner, wisata, dan lain sebudayanya. Tapi itu
bukanlah sisi lain Jakarta yang ingin gue ceritakan di sini. “Spending money” bukanlah sisi lain, karena
itu adalah sisi umum yang (mungkin) semua manusia di Jakarta lakukan.
***
Gue
turun dari kereta api di Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur sekitar pukul lima
pagi, dan hal pertama yang langsung bikin gue jatuh cinta sekaligus sedih
dengan ibukota yang nggak punya suami (entah bapakkotanya siapa) ini adalah…
gue bisa menemukan berbagai jenis kucing lucu di setiap sudutnya. Ke mana pun
gue pergi, gue selalu suka kalau tempat yang gue datangi itu banyak kucingnya
terutama yang badannya gembul dan suka dielus-elus siapa aja. Dan gue menemukan
surga itu sesaat setelah gue menginjakkan kaki di Jakarta kemarin.
Jadi
ceritanya gue tiba kepagian, jadi gue memutuskan untuk menunggu sampai matahari
bener-bener terbit sambil baca tulisan tentang jual mobil suv Jakarta dan ngopi sebelum lanjut ke homestay yang udah
gue sewa jauh-jauh hari sebelumnya. Saat gue sedang menyeruput kopi dengan
khidmat, dari kejauhan gue ngeliat seekor kucing yang keliatannya lagi
nyari-nyari makanan. Dia menggaruk-garuk sudut-sudut stasiun mencari sisa-sisa
makanan. Dia belum makan, gue juga belum. Sempurna.
“Mpus!
Ckckck,” gue iseng memanggil kucing itu sambil memanggil cicak yang juga
nemplok di dinding.
Cicaknya
mengabaikan panggilan gue, tapi si kucing, dengan malu-malu dan bersemangat
langsung nyamperin gue. Gue kasih potongan roti, dicium, lalu dicuekin. Eh
gila, kucingnya ternyata nggak suka roti. Jangan-jangan
dia sukanya janda muda. Nggak mungkin juga gue kasih kopi apalagi recehan
yang ada di kantong gue. Akhirnya gue elus-elusin aja sampe dia ketiduran di
lantai stasiun yang masih dingin.
Semoga nggak ngeblur deh... |
Gue
senang banget karena ternyata gue bisa dengan mudahnya menemukan makhluk Tuhan
paling lucu dan nggemesin di sini, tapi sekaligus gue sedih karena… ternyata
kucing-kucing di sini sangat kurus dan nggak terawat sama sekali. Rasanya
pengen nangis ketika makhluk-makhluk lucu nan menggemaskan itu dibiarkan begitu
saja, ditelantarkan begitu saja di saat sesamanya kucing di belahan dunia lain
justru bisa menghasilkan jutaan dolar untuk para pemiliknya.
Nyalan
& Deshi dan Nala adalah contohnya. Nyalan & Deshi adalah kucing dari
Jepang yang hampir setiap waktu traveling ke mana-mana dan bahkan dinobatkan sebagai Japanese Cat Tour Guides di Jepang kini, dan Nala adalah kucing dari Amerika yang
sekarang sudah menyumbangkan uang ratusan bahkan jutaan dolar untuk berbagai
kegiatan amal.
Di
negara kita?
Not so sure, tapi gue belum menemukan kucing
dengan penghasilan seperti Nala dan Nyalan & Desi. Jangankan untuk
mendekati mereka, di sini, kucing mau minta makan aja ditendang. Padahal apa
salahnya membagi sedikit makanan kita untuk kucing yang notabene juga adalah
makhluk hidup.
Lanjut
cerita soal kucing yang gue temuin di Stasiun Jatinegara kemarin, ketika kucing
pertama yang gue panggil datang, nggak lama setelah itu muncul lagi temannya
yang lain. Menyukai kucing mungkin adalah hal biasa, tapi disukai balik sama
kucing butuh sedikit ilmu dan pengetahuan.
Langsung gemes liatnya... |
Kucing
hitam ini lebih lucu dari yang pertama nyamperin gue, tapi sama seperti
temannya yang udah ketiduran dia juga nggak makan roti. Gue sempat menyesal
karena sehari sebelum berangkat ke Jakarta gue berniat beli whiskas tapi
kemudian nggak jadi karena takut basi. Akhirnya sama seperti kucing pertama, si
hitam juga gue elus-elusin aja sampai tertidur.
Pen diajak maen malah bobo... |
Ketika
si hitam sedang nyenyak-nyenyaknya tidur, si kucing pertama yang belum sempat
gue kasih nama buru-buru bangun dan kabur. Ketika gue panggil dan teriakin, “WOE,
LU MAU KE MANAAAA” dia cuma balik badan sebentar lalu bilang, “MEOOWW…” lalu
melanjutkan pelariannya. Sementara, tanpa gue sadari, muncul lagi seekor kucing
lain yang badannya mirip si hitam tapi warnanya lebih cerah. Dikit. Kalian tau
dia ngapain? Ngendus-ngendus kaki gue lalu berbaring di lantai tanpa rasa
bersalah sama sekali.
Nyamperin... |
...dan tidur. (Sori ngeblur, kayak muka mantan kamu) |
Setelah
puas bermain-main dengan mereka, kopi gue habis dan stasiun sudah mulai ramai
lagi dengan anak sekolah dan para pekerja kantoran, gue pun memesan ojek untuk
kemudian menuju ke homestay.
Sebenarnya
gue pengen ngambil si hitam untuk gue bawa jalan-jalan, tapi nggak tega juga. Takut
dia mabok dan nyakar-nyakar gue di jalan. Meski sedih, akhirnya gue tinggalin
mereka di stasiun. Membiarkan mereka hidup dengan cara mereka.
Dan
nggak berenti hanya di stasiun, hampir di semua tempat yang gue kunjungi di
Jakarta kemarin terdapat kucing-kucing liar yang… ya, badannya sangat kurus dan
nggak terawat. Menurut gue, itulah sisi lain kota Jakarta yang menyedihkan. Benar-benar
menyedihkan. Gue punya impian, kelak gue pengen punya shelter untuk para kucing
liar (terutama anak-anak kucing) di jalanan yang akan gue kumpulkan dan rawat
hingga dewasa dan diajari untuk bisa survive
di dunia luar. Kelak juga gue pengen bikin kerajaan kucing seperti di film-film
fantasi dan semua jenis kucing akan bisa dengan mudah kalian temukan di sana.
Memang
ide gue ini masih sebatas ide dan progress-nya belum keliatan. Gue pun masih
mencari-cari orang yang sepemikiran dan sevisi dengan gue untuk gue ajak kerja
sama membangun kerajaan itu. Dan suatu
hari, ketika semuanya berjalan lancar, sisi lain Jakarta yang menyedihkan ini hanya
akan jadi cerita legenda yang dirindukan. Oh, ya, impian gue ini bukan hanya untuk
kucing yang ada di Jakarta, tapi di seluruh Indonesia.