Surat Rindu untuk Ayah
Tulisan
ini adalah milik Rara Febtarina yang ditulisnya di Inspirasi. Gue tulis kembali di
blog dengan sedikit pengubahan, dan sudah atas seizin pemiliknya.
Untuk
kamu yang pengen dengerin audionya, bisa klik link di bawah ini.
Bandung,
20 April 2016
Selamat
malam, Kamis. Kamis yang selalu kurindukan selayaknya aku merindukan dirimu. Kutuliskan
surat ini di bawah langit Bandung yang mendung ditemani jejak rintik hujan.
Hujan
malam ini membawa petrichor lagi.
Menghanyutkanku kepada sejengkal ingatan yang tak akan mampu aku hilangkan.
Entahlah, aku hanya mampu berdoa dalam diam. Ada sesak yang tak mampu aku
sembuhkan. Ada sesosok bayang yang tak mampu aku raih kembali.
Sesekali,
aku teringat akan sorot matamu. Kau adalah orang yang selalu melihatku dengan
apa adanya, tanpa tapi. Kau adalah lelaki yang acuh, acuh yang paling penuh
kasih. Kau tahu? Kau begitu dingin, dingin yang paling menghangatkan bagai api
unggun di perkemahan kita musim lalu. Kau adalah lelaki yang menyentuhku dengan
sapaan kata tolong untuk mengambil koran di halaman rumah setiap pagi. Betapa
rindunya aku berbincang-bincang hangat setelah itu. Kemudian, kau juga yang
melemparkan senyum tanda ucapan terima kasih untuk setiap usaha kecilku. Hebatnya, kau ajarkan aku pula cara meminta maaf. Maaf adalah kata ajaib yang
sudah menjadi kawan hidupku. Aku paham, maaf bukan sekadar kata untuk mengakui
kesalahanku. Lebih dari itu, maaf adalah kata di mana aku melawan egoku
sendiri.
Ayah,
terima kasih telah menjadi seorang yang teduh selain Ibu. Ayah, terima kasih
untuk pelukan hangat ketika badai datang di hidupku.
Tuhan,
terima kasih telah menganugerahkan Ayah yang cinta kasihnya sempurna tanpa
tapi. Ayah yang mencintaiku dengan walaupun. Ketahuilah, kepergianmu itu
membuat dirimu semakin hidup di hatiku.
Rinduku
yang terlalu,
Anakmu.