Gagal Menikmati Pagi di Kaki Merapi
Hari
Minggu kemarin, gue berencana menikmati pagi yang sejuk di kaki gunung Merapi
sembari membiarkan sinar matahari pagi menciumi kulit. Awalnya gue nggak
kepikiran, tapi, tiba-tiba saja di malam Minggu yang gue nggak tau mau ngapain
itu, tiba-tiba kepikiran buat pergi ke Merapi pagi harinya. Malam itu gue
putuskan untuk mencari penginapan di dekat kawasan Merapi agar nggak terlalu
terburu-buru keesokan paginya.
Setelah
mengambil jaket dan memasang sepatu, gue langsung cabut paku dari kepala
mbak Kunti.
Sepanjang
perjalanan gue sesekali menatap langit yang begitu biru malam itu. Sungguh
malam yang sempurna untuk yang sedang pacaran, termasuk LDR. Bintang-bintang
yang menghiasi angkasa malam itu mengingatkan gue sepintas ketika gue
menghabiskan malam di sepanjang pantai beberapa waktu sebelumnya.
“Perfecto!” seru gue dari atas motor yang
nyaris keserempet mobil gara-gara terlalu ke tengah jalan bawa motornya.
Gue
sengaja memilih penginapan yang agak jauh (nggak amat-amat juga sih) di bawah
kawasan Merapi untuk menekan budget. Memilih
kamar yang paling murah, yang penting bisa buat istirahat. Sepanjang malam, gue
bisa tidur dengan nyenyak karena suasana penginapan yang begitu tenang dan
dilengkapi dengan jaringan operator yang gue gunakan yang nggak nyampe ke
penginapan gue.
Pagi-pagi
sekali, gue terbangun dengan semangat, membuka jendela kamar dan menemukan
kenyataan bahwa hujan turun dengan begitu derasnya.
Sama
seperti ingatan tentang mantan, hujan pun suka datang tiba-tiba.
Pahit
sekali.
Gue langsung lesu, menerjunkan tubuh kembali ke kasur dan menarik selimut rapat-rapat. Ternyata, bukan hanya perasaan yang bisa berubah dalam sekejap, cuaca pun.
Biasanya
hujan yang turunnya deras nggak akan berlangsung lama. Setidaknya itu kata
beberapa orang yang pernah gue temui dan membahas hujan dengannya. Termasuk
kakak perempuan gue. Gue pun memutuskan untuk menunggu hingga hujan reda sambil
bergumam “Tidak lama lagi” berulang-ulang kali.
Hampir
setengah jam berlalu dan hujan masih sama. Sementara dari arah yang lain,
jalanan semakin terlihat jelas oleh pantulan sinar matahari yang tertutup awan
hitam yang sedang menumpahkan hujan. Gue mulai kesal dan memikirkan banyak hal,
salah satunya mantan. Hmm, hujan dan
kenangan memang paket yang tidak bisa dipisahkan.
Gue
ingat pernah mencintai, dan (semoga) dicintai.
Gue
ingat pernah menyakiti, dan disakiti.
Gue
ingat pernah meninggalkan, dan juga ditinggalkan.
Pas
lagi sayang-sayangnya.
Lamunan
gue pun terhenti ketika gue melihat hujan berhenti dan gue langsung bergegas untuk
keluar. Gue menatap arloji sebentar dan terhenyak. Sudah jam 9 pagi. Tanpa
pikir panjang lagi gue langsung ngambil tas dan cabut dari penginapan.
Setelah
beberapa jauh, gue merasakan ada keramaian yang tidak asing. Semakin lama
semakin terasa dan semakin ramai. Ternyata ada demo.
Demo
di perut gue.
Iya,
gue lapar gara-gara belum makan dari semalam.
Gue
pun mampir ke salah satu warung makan secara asal yang gue temui di jalan.
Saat
makan, gerimis kembali turun.
Lalu
gue memesan segelas teh hangat ke ibu penjaga warung ini. Hanya semenit dan
tehnya datang. Gue langsung mencobanya dan hmmm… rasanya enak banget. Terakhir
kali gue minum teh seenak ini mungkin adalah beberapa tahun lalu.
“Itu
pake gula batu, Mas,” kata pemilik warung ketika gue tanya kok tehnya enak
banget.
Teh
gue habis dan geu melanjutkan perjalanan saat gerimis mulai menipis.
Memasuki
kawasan Merapi gue mampir lagi untuk berteduh karena hujan lagi-lagi mengguyur
Minggu pagi dengan deras.
Lalu
hujan berhenti lagi dan gue melanjutkan perjalanan lagi. Petrichor yang dibawa
hujan nggak berhenti gue hirup. Gue memutari kawasan ini dengan kepusingan,
nggak tau harus lewat mana. Gara-gara habis hujan, nggak ada orang yang bisa
ditanyain.
Sampai akhirnya gue ketemu satu bangunan yang bikin gue merinding.
Gara-gara
ketemu bangunan tua ini gue jadi tiba-tiba merasa seperti ada di film horror.
Gue teringat Di Sini Ada Setan plus Antara Ada dan Tiada-nya Utopia.
Karena
takut, gue mutar arah dan nggak lama ketemu mbak-mbak penjual jajanan khas.
Dan
gue pun makan ini…
Gue
nggak ngabisin tempenya karena rasanya terlalu manis, seperti janji-janji manis
mantan yang nggak pernah ditepati. Setelahnya gue berencana melanjutkan
perjalanan ke kaki Merapi, tapi pas melirik arloji lagi, sudah jam 12 siang dan
gue belum mandi.
Meski
gue pulang sebelum kesampaian tujuan awal gue, tapi segala hal yang gue temukan
pagi itu nggak membuat gue merasa gagal menikmati pagi di kaki Merapi.