Turun dari Langit
Sudah
hampir seminggu sejak gue berlari dengan kesal menuruni tangga rumah si dia.
Sudah hampir seminggu pula dia mengirimi gue pesan setiap hari lewat WhatsApp
dan aplikasi chatting lainnya. Dia
berusaha mengajak gue untuk baikan dan kali ini dia tidak berhenti meminta maaf
seolah-olah memang dirinyalah yang salah.
Gue
nggak ngerti kenapa dia melakukan itu. Tapi itulah kenyataannya.
Di
sisi yang lain, Bunga juga terus mendesak gue untuk memilih antara si dia, atau
dirinya. Gue tahu Bunga pasti sudah mulai nggak nyaman dengan status
selingkuhan, orang ketiga, setan, atau apa pun itu yang mewakili keterangan
orang ketiga dalam sebuah hubungan. “Yang kedua tapi diutamakan” sejatinya
memang nggak berlaku dalam hubungan cinta segitiga, karena yang menjalani adalah
orang yang pakai hati, bukan ampela. Dan hati tidak terbuat dari percikan Keris
Empuh Gandring.
Sore
itu gue duduk sendirian di ujung dermaga tua yang lokasinya nggak jauh dari
rumah. Gue duduk di atas motor menyaksikan orang-orang yang datang silih berganti.
Ada yang datang sebentar lalu pergi lagi. Ada yang tinggal agak lama, tapi
akhirnya pergi juga. Dan ada yang sudah datang lebih awal dari gue dan masih
saja betah di tempatnya.
Gue
nggak tahu persis motif mereka. Tetapi, tiupan lembut angin dan pemandangan
matahari terbenam sebentar lagi jelas bisa jadi alasan yang dapat diterima akal
sehat.
Gue
menunggu hingga matahari tenggelam di ufuk barat, sebelum akhirnya gue
memutuskan untuk pulang dan membiarkan hati dan pikiran gue terkatung-katung
memikirkan apa yang seharusnya gue lakukan. Tindakan apa yang harus gue buat,
dan keputusan apa yang sebaiknya gue ambil.
Sampai
setengah perjalanan gue nyaris belum tahu apa yang akan gue lakukan
selanjutnya. Yang pasti, gue harus memilih satu di antara Bunga dan si dia.
Sampai
di rumah gue masih bingung dan nggak langsung masuk kamar. Gue berhenti di
teras, duduk termenung menyaksikan bulan yang mulai menunjukkan cahayanya.
Nggak lama, gue mengambil gitar dan menyanyikan lagu yang gue hafal nadanya.
Dan malam itu gue menyadari dua hal: pertama, suara gue fals. Dan kedua, suara
petikan gitar gue juga ikut-ikutan fals.
Beberapa
hari kembali berlalu, dan gue belum juga memutuskan apa pun kecuali memutuskan
untuk juga tidak menghubungi Bunga ataupun si dia terlebih dahulu. Gue ingin
berpikir matang dan ingin tahu siapa yang lebih banyak gue pikirkan ketika gue
nggak menghubungi keduanya. Lalu, dari situ gue akan memutuskan. Sesederhana
itu.
Minggu
siang yang sangat terik, gue terbangun dari tidur dengan keadaan baju penuh
keringat. Gue lupa menyalakan kipas angin sebelum tidur dan gue terbangun
dengan gerah yang minta ampun. Gue pun langsung mengambil handuk dan menyiram
seluruh tubuh gue. Niatnya pengen mandi pake shower ala FTV gitu, tapi yang ada cuma gayung. Dan hal ajaib
terjadi saat gue masih jongkok di WC tadi: gue jadi tahu apa yang harus gue
lakukan untuk hubungan gue. Pilihan gue, dan kepada siapa gue harus melanjutkan
hubungan. Si dia yang sudah membosankan,
atau Bunga yang jauh di sana dan entah kapan akan bertemu lagi.
Setelah
mandi, gue mengenakan pakaian paling kece yang gue punya. Kemeja hitam polos
ala Nick Zinner, celana jins biru, sepatu kets hitam-putih yang belakangnya
sedikit sobek, gel rambut yang kalau kena angin langsung berantakan lagi, dan
parfum adek gue yang diam-diam gue ambil dari meja rias di kamarnya yang lupa
dikunci.
Gue
mengirimi si dia SMS beberapa menit sebelum gue berangkat.
“Setengah
jam lagi aku ke rumah kamu, aku pengen ngomong sesuatu yang penting.”
“OKEH!” jawabnya langsung.
Gue
ingin membalasnya lagi dengan, “Kamu sebaiknya pakaian biar kita langsung
berangkat saja”, tapi kemudian nggak gue balas dan hanya berharap dia
betul-betul mengerti dan melakukannya.
Sesuai
janji gue sebelumnya lewat SMS, setengah jam kemudian gue sudah sampai di depan
rumah dia. Gue berjalan masuk dengan percaya diri sekitar 89% dan sisanya rasa
ragu bercampur grogi dan takut. Juga lapar. Iya, saking pengennya gue
menyelesaikan masalah ini, gue jadi lupa makan sebelum pergi. Tapi nggak
apa-apa karena tujuan gue setelah ini adalah menyelesaikan masalah di kafe atau
tempat yang bisa buat memesan makanan yang bikin perut kenyang.
Ketika
gue baru saja membuka pintu samping rumahnya, dia berjalan menuruni tangga. Dan
gue masih hafal betul pakaian yang dia kenakan. Kemeja hijau muda dengan motif
bunga-bunga kecil, celanan jins hitam dan jilbab. Maaf, tapi gue lupa jilbabnya
warna apa. Buat kamu yang ngerti fesyen, boleh menebak-nebak kira-kira jilbab
warna apa yang cocok untuk atasan hijau muda motif bunga-bunga dan bawahan
hitam serta sepatu kets putih bergaris hitam.
“Kita
mau ke mana?” tanya dia.
“Ikut
aja,” kata gue dan langsung berjalan ke motor. Gue melihat matanya agak sembap.
Gue jadi bingung dia antara habis nangis atau baru bangun tidur.
Kita
pun menyusuri jalanan kota sambil berpikir tempat mana yang sebaiknya gue tuju.
Kalau boleh jujur, gue jarang banget nongkrong di kafe-kafe atau tempat-tempat
makan kekinian lainnya. Gue ke kafe cuma ketika pengen download sesuatu atau nonton bola bareng. Dan ke tempat makan
kekinian hanya ketika ada ajakan yang ada embel-embel “gratisan”-nya.
Akhirnya
gue memilih sebuah kafe secara asal. Kafe yang menu favoritnya adalah es krim
goreng. Entah kenapa gue memilih tempat itu. Kita duduk paling pojok. Pojok
banget. Ketika itu semua tempat sudah terisi dan tempat paling pojok baru saja
ditinggalkan pemiliknya ketika gue masuk dan kita langsung duduk di sana.
Pesanan
datang, dan kita mulai beradu argumen dan kalimat-kalimat pembelaan
masing-masing. Tidak lupa pula gue menjelaskan kenapa belakangan ini gue nggak
pernah menghubungi dia dan lebih memilih bungkam. Meski ada satu hal yang nggak
gue beritahukan ke dia: bahwa gue sebenarnya punya hubungan dengan Bunga. Lagi
pula, dia nggak tahu Bunga itu siapa.
Adu
argumen berlangsung dengan bisik-bisik, sesekali agak keras. Gue berusaha
menahan nada suara gue karena meja satu dengan lainnya hanya berjarak beberapa
jengkal. Daripada malu-maluin, mending gue nahan diri.
Setelah
hampir sejam, akhirnya keputusan gue bulat.
“Ya
udah, kita putus aja,” kata gue.
“Ya
udah,” jawabnya.
“YA
UDAH.”
“YA
UDAH.”
Dan
sore itu gue pulang dengan mengantarkan dia kembali ke rumahnya. Tapi hubungan
kita sudah benar-benar berakhir sebelum meninggalkan kafe tadi. Setelah sampai
di rumahnya, gue nggak mengucapkan sepatah kata pun dan langsung memutar motor
ketika dia turun. Tanpa berpikir, gue langsung menarik tuas gas dan
meninggalkan dia. Gue tahu dia memperhatikan punggung gue menjauh. Menjauh.
Pergi untuk selamanya.
Gue
memutuskan untuk meninggalkan dia yang jelas-jelas ada di sini, dan memilih
Bunga yang entah masih membuka pintu harapan untuk gue atau tidak. Gue bahkan
nggak tahu kapan gue dan Bunga akan bertemu lagi. Tapi, itulah keputusan gue.
Gue percaya kekuatan cinta bisa mengalahkan segala keraguan. Mengonversinya
menjadi sebuah keyakinan, dan menjadikannya kekuatan yang membuat segalanya
jadi terasa lebih mudah.
Gue
sampai di rumah malam hari. Gue berbaring di sofa setelah mengganti pakaian dan
mengusap layar handphone gue. Gue
kembali deg-degan seperti orang yang jatuh cinta pertama kali. Gue mencari nama
Bunga di daftar kontak handphone gue
dan mengetikkan pesan.
“Bunga,
aku sudah putus sama dia. Aku memilih kamu.”
SENT.
Gue
tidak sabar menanti balasan dari Bunga dan meresmikan hubungan kita malam ini.
Gue
menunggu hampir setengah jam sebelum akhirnya Bunga membalas.
“Kamu ke mana aja? Kok baru nongol?”
“Aku
menyelesaikan semuanya. Desakan kamu beberapa waktu lalu. Dan semuanya sudah
selesai. Aku pilih dia. Aku meninggalkan dia. Demi kamu.”
Ada
sedikit rasa penyesalan tersisa ketika gue mengucapkan itu, tapi buru-buru gue
tepis.
Bunga
membalas lagi.
“Kamu terlambat. Sudah terlambat. Seseorang
lain di sini sudah membuat aku nyaman sejak kamu berhenti menghubungiku.”
Dan
malam itu, gue berharap malaikat Israfil segera turun dari langit dan meniupkan
sangkakala.