Terbakar Cemburu
Gue
akhirnya kembali ke kampung halaman. Kembali ke kota di mana gue nggak ngerti,
sedang LDR atau pacaran jarak dekat. Malam itu, gue dijemput oleh si dia dengan
motor. Dan gue sengaja nyuruh dia bawa motor agar gue bisa menghubungi Bunga
dan menyampaikan bahwa gue sudah sampai dengan selamat dan…, betul ada
kesempatan kita akan bertemu lagi.
“Kamu
yang bawa motor dulu, ya, aku masih cakep capek. Jet lag,” alasan gue waktu itu.
“Oke,”
jawab dia.
Di
perjalanan, gue buru-buru menghubungi Bunga lalu menghapus seluruh history chat kami selama ini. Juga
beberapa history chat dari obrolan grup
yang sempat nge-cie-cie-in gue dengan Bunga.
“Kita
makan dulu di depan, ya. Kamu lapar, kan?” tanya dia ketika perjalanan kami
sudah berjalan sekitar 20 menitan.
“Iya,
boleh,” jawab gue sedikit kaget karena dari tadi gue hanya membayangkan wajah
Bunga.
Sampai
duduk di sebuah warung bakso yang baru gue datangi, gue masih membayangkan
kehangatan saat memeluk Bunga dua jam yang lalu di bandara. Wajah ramahnya,
aroma tubuhnya yang dibalut parfum yang entah merek parfumnya apa. Yang jelas
bukan YAMAHA, apalagi Kawasaki.
Dua
mangkuk bakso yang aromanya bikin perut gue langsung lapar pun menghampiri meja
kami. Gue membetulkan posisi barang-barang di atas meja dengan asal. Abang
baksonya tersenyum ramah.
“Kamu
kok dari tadi diam saja?” tanya si dia.
Gue
sedikit terkejut, “Eh, nggak. Kayaknya karena kecapekan deh.”
Gue
mengusap ubun-ubun sampai ke kepala, seolah gue memastikan suhu tubuh gue
baik-baik saja.
“Nggak.
Kamu berubah,” kata dia. “Jadi aneh.”
Gue
berusaha tenang dan tetap ngotot kalau ini hanya efek kelelahan dalam
perjalanan. Dan tanpa gue sadari, sedikit demi sedikit keringat mulai mengucur
deras membasahi kemeja hitam gue.
“Dimakan
dulu aja, baksonya,” suruh gue. Gue kehabisan akal.
Lalu
kami menghabiskan masing-masing bakso kami nyaris tanpa suara. Malam itu
kebetulan sekali cuma ada kami berdua di dalam warung bakso yang sebenarnya
rasanya enak ini. Tapi kemudian gue kaget ketika tiba waktunya membayar dan
jumlah yang harus gue bayar hampir empat kali lebih banyak dari warung bakso
langganan yang terletak di ujung lorong rumah gue.
“Pantes
sepi banget…,” gerutu gue dalam hati.
Kami
pun melanjutkan perjalanan, dan gue baru ingat kalau malam itu adalah pertama
kali dia datang ke rumah gue. Dan kejadiannya nggak beda jauh ketika pertama
kali gue ketemu dengan keluarganya dia. Grogi, demam tiba-tiba, panas-dingin,
dan nggak tahu harus ngapain begitu jelas terlihat di muka dan gerakan tubuhnya
yang sangat nggak nyaman.
Malam
itu dia nggak tinggal terlalu lama karena sudah hampir larut malam, dan ketika
dia pamit ke nyokap, sepikan nyokap bikin gue pengen nyoret sendiri nama gue
dari Kartu Keluarga.
“Kamu
nginap aja, Nak,” kata nyokap.
Si
dia tersenyum. “Hehe, iya, Tante. Nggak ijin sama mama.”
“Telepon
aja, kan bisa,” kata nyokap agak maksa.
“Lain
kali aja, Tante, makasih.”
Tadinya
gue pengen nyeletuk, “Boleh, Bu, tapi tidurnya sama aku.” Tapi kemudian gue
sadar kalau nyokap gue nggak bisa diajak bercanda seperti itu. Daripada gue
diusir dari rumah, gue memilih diam saja.
Karena
rumah gue lumayan jauh dan ini kali pertama dia ke sini, otomatis gue nganterin
dia pulang, dong. Ada satu jalan yang gelap dan nggak ada lampu jalan sama sekali
yang nantinya akan dia lewati, dan gue merasa khawatir. Gue pun menemani dia
pulang sampai di jalanan kota yang ramai dan terang. Dan di situ gue merasa
gagal jet lag.
Setelah
gue menemani dia sampai ke jalan yang agak ramai, gue memutar kendaraan dan
NGENG NGENG NGEEEENGGG… sampai di rumah gue mengucapkan selamat tidur ke Bunga
dan pamit tidur ke si dia dengan alasan capek banget.
Dan
setelah beberapa hari berlalu, gue menyadari bahwa gue bukan lagi orang yang
sama sejak gue kembali ke sini.
Benar
kata si dia, gue berubah. Bukan jadi power ranger ataupun ultraman, tapi memang
gue juga menyadari kalau gue berubah. Gue jadi lebih banyak diam ketika sama
dia, jadi lebih sering gelisah, jadi lebih sering marah-marah nggak jelas, dan
jadi lebih sering minta dibayarin pas makan. Dasar gue nggak tahu diri. Gue
menyadari itu. Sialnya, gue nggak mengakui.
Dan
suatu siang yang gue lupa harinya, kami sedang duduk di teras atas seperti
biasanya. Dan hari itu gue lebih banyak menghabiskan waktu memandang handphone, dan dia ngerasa bete dan ikut-ikutan
mainin handphone-nya. Sungguh pacaran
yang kekinian, kan?
Tiba-tiba,
dia membuyarkan hening yang sudah berlangsung lama di antara kami.
“Liat
deh, si Dilla, ngerayain hari jadiannya sama cowoknya,” kata dia sambil
menunjukkan layar handphone-nya ke
gue.
Gue
memandanya dengan asal sambil bilang, “Oh, iya.”
“Aku
juga pengen deh, punya tanggal jadian untuk dirayakan,” katanya lagi.
“Kamu
mau kita putus dulu, terus jadian lagi biar punya tanggal jadian?”
“Nggak.
Nggak gitu,”
“Terus?”
“Ya,
nggak pa-pa. Udah deh, nggak usah dibahas.”
“Kita
kan emang nggak pacaran. Kan nggak pernah jadian,” kata gue.
“Dibilang
nggak usah dibahas.” Muka dia mulai kelihatan kesal.
“Nggak
usah dibahas tapi kenapa bahas duluan?”
“Ya
udah, aku kan cuma bercanda,” katanya. “Aku minta maaf.”
Dia
memanyunkan bibirnya, menaruh handphone-nya di meja dan melipat tangan ke dada
dan melemparkan pandangan ke arah lain. Cewek minta maaf duluan, itu pertanda
serius yang seseriusnya serius.
“Kamu
bercandanya kelewatan deh. Kalau mau putus, ya bilang aja mau putus. Nggak usah
ngode-ngode gitu. Langsung bilang aja, ‘KITA PUTUS’, TITIK. Nggak usah pake
kode.”
“Aku
nggak bilang mau putus. Aku nggak pernah bilang gitu. Kan kamu yang
bilang-bilang putus tadi?!”
Gue
mengambil handphone dan memasukkannya
ke saku celana.
“Aku
bilang gitu karena kamu yang bahas duluan.”
“Tapi
maksud aku bukan kayak gitu.” Dia terus membela diri.
Di
titik itu, gue sebenarnya sudah ingin menyudahi perdebatan ini, karena gue tahu
dia memang hanya bercanda. Tapi entah kenapa, nggak gue lakukan. Yang gue
lakukan justru membiarkan ego gue menguasai seluruh pikirian gue.
“Kamu
nggak bermaksud gitu, tapi bahas kayak gitu. Apa bedanya? Sama aja!” kata gue
tanpa menunggu jawaban apa-apa darinya.
“AH
UDAH AH, GUE MAU PULANG. CAPEK BERANTEM MULU!” gue mengakhiri.
Gue
pun langsung berlari menuruni tangga. Keluar rumah dan pulang tanpa pamitan ke
siapa pun. Dia sempat mengejar gue, tapi terlambat karena memang gue anaknya
cekatan dan lincah seperti kura-kura ninja yang dilatih Jiraiya dan Kakashi
Hatake.
Sampai
di rumah, gue membenamkan diri di sofa ruang keluarga dan memainkan handphone. Memutar-mutarnya seperti
gasing namun lebih lambat dan melayangkan pikiran pada sesuatu yang entah apa.
Pikiran gue bercampur aduk, meski dalam keadaan tetap sadar, gue menyadari
kesalahan dan kebodohan gue memperlakukan dia seperti tadi.
Lalu,
gue teringat kembali dengan Bunga. Seharian penuh gue nggak berbalas pesan
dengannya. Dia juga nggak pernah menyapa gue seharian ini. Mungkin dia sedang sibuk dengan tugas kuliahnya yang menumpuk,
pikir gue.
“Hei,
lagi apa? Tumben nggak ada kabar…”
Gue
menyapanya setelah berpikir beberapa menit.
“Hei, halo. Nggak lagi ngapa-ngapain, nih.
Kamu?” balasnya nggak lama kemudian.
Kami
pun melanjutkan obrolan hingga panjang, sampai gue tiba pada pertanyaan yang
sebetulnya ingin gue tanyakan ketika pertama kali bertemu dengan Bunga.
“Kamu
di sana, kok bisa nggak punya pacar, sih? Padahal kamu cantik, baik, dan…,
sempurna deh kalau menurut aku.”
Agak
lama jedanya sebelum ia membalas kembali.
“Karena belum ketemu yang cocok,” jawab
Bunga. “Ada sih ini yang lagi ngedeketin
aku, tapi males ah,” sambungnya lagi dengan enteng.
Dan
seketika gue merasa terbakar oleh rasa cemburu.