Pertemuan Lain yang Tak Diinginkan
Selama
dua minggu penuh gue di Jogja adalah dua minggu terbaik dan terbahagia selama
hidup gue. Gue belum pernah merasa sebahagia ini, bahkan, gue akui, ketika
pertama kali gue jatuh cinta pada si dia, gue nggak merasa sebahagia ini. Di
satu malam gue sempat mikir: apakah dulu gue benar-benar jatuh cinta atau
justru itulah rasa penasaran yang sebenarnya?
Pikiran
itu segera gue tepis dan mengalihkannya ke hal-hal lain.
Selama
dua minggu pula, hampir setiap hari gue ketemu dengan Bunga. Ke mana pun gue
menuju, di sana juga Bunga akan berada. (Rada kuker juga sih si Bunga ini ya,
HEHEHE). Lalu tibalah perpisahan. Perpisahan yang sejujurnya gue belum
inginkan. Maksud gue, gue tahu semua yang bertemu akan berpisah pada waktunya.
Tapi gue rasa, sekarang bukan waktu yang tepat. Ini terlalu cepat, bahkan
teramat sangat cepat. Sekelebat kebahagiaan di hari-hari sebelumnya di dua pekan
terakhir langsung menyerang kepala gue. Kepala gue kini dipenuhi
kesedihan-kesedihan yang entah bagaimana caranya bisa terobati nantinya.
Gue
memandang wajah Bunga sangat lama di malam Terakhir gue di Jogja, kota yang
terkenal dengan julukan Kota Pelajar. Satu hal lagi yang gue sukai dari Jogja
selain karena adanya Bunga, adalah karena penduduk lokal yang ramah-ramah dan
nggak pelit membagi informasi tentang apa pun yang gue tanyakan.
Ketika
gue menyewa sebuah kereta kuda di alun-alun, gue duduk di samping pak kusir
karena waktu itu gue laki-laki sendirian. Sambil menarik dan mengendalikan tali
yang terpasang ke kudanya, dia mulai bercerita tentang bangunan dan apa pun di
sepanjang jalan yang kami lalui. Pak kusir juga sempat memperkanalkan diri,
tapi gue lupa namanya. Jadi kita panggil saja dia dengan nama Pak Kusir.
“Daerah
sini itu nggak pernah sepi. Nggak kenal waktu, HIYYAAA, siang ataupun malam
pasti ramai, HIYYYAAA,” jelas Pak Kusir sambil memberi semangat ke kudanya.
“Oh,
gitu ya, Pak…”
“Masnya
baru pertama kali ini ke Jogja, atau?”
“Baru,
Pak, ini pertama kali saya ke Jogja,” jawab gue sambil sesekali melirik
sekitar, barangkali ada objek yang bisa gue abadikan dengan kamera.
“Masnya
sudah tahu soal mitos pohon kembar yang di sana itu belum?”
“Belum,
Pak. Emang itu gimana ceritanya?” sejujurnya, gue betul-betul tertarik dengan
pembahasan seperti ini. Meski kebanyakan mitos itu memang gue nggak pernah
percaya. Seringnya, gue cuma mengucap “Oh” sambil tersenyum setiap kali ketemu
dengan orang yang selalu menganggap mitos itu adalah sesuatu yang sakral.
“Dulu,
dulu banget sih, katanya siapa pun yang berhasil melewati pohon kembar itu akan
segera ketemu dengan jodohnya,” kata Pak Kusir.
“Oh,
iya, saya sempat dengar kabar soal itu, Pak. Apa itu betul?”
“Tapi
nggak semudah itu,” sanggah Pak Kusir. “Masnya harus melewati jalan di antara
pohon kembar itu dengan mata tertutup kain, dan sehabis diputar-putar badannya
beberapa kali.”
“Wah,
berarti susah dong ya, Pak?”
“Ada
yang berhasil, ada yang gagal,” katanya. “Tapi kebanyakan sih gagal.”
Gue
tertawa.
“Bapak
sendiri pernah coba?”
“Nggak
pernah, ngapain. Kurang kerjaan banget. Lagi pula saya sudah punya istri dan
anak.”
“Maksud
saya waktu muda, sebelum ketemu jodohnya.”
“Nggak
pernah, Mas, HIYYAAA. Saya pindah ke Jogja setelah menikah. Kalau saya coba,
nanti istri saya mengira saya mau kawin lagi, HIYYAAA.”
Ternyata
teman-teman gue di belakang dari tadi juga menyimak. Mereka lalu mengikuti gue
yang tertawa lebar, menertawakan sikap ramah Pak Kusir yang, ya, memang
betul-betul ramah. Dan seketika itu gue mencintai Jogja dan keramahannya.
“Tapi
kalau Bapak sendiri, percaya atau nggak sama mitos itu?”
“Namanya
juga mitos, Mas, nggak usah dipercaya sih kalau saya. Ya tapi ya bebas, orang
kan punya haknya, mau percaya atau ndak, ya terserah mereka lah.” Pak Kusir
menjawab dengan aksen khas orang Jawa.
“Jadi
menurut Bapak?” gue ternyata masih belum puas dengan jawabannya.
“Kalau
menurut saya, itu cuma sesuatu yang menambah pendapatan warga setempat.”
“Maksudnya?”
“Iya,
karena jadi banyak yang jualan kain penutup mata di sekitar situ, HIYYAAA.
Meskipun ndak laku.” Pak Kusir lalu tertawa dan nggak lama kemudian waktu
berkeliling kami sudah habis.
Tapi
pernyataan Pak Kusir tadi mengalahkan rasa penasaran (atau mungkin iseng) gue
terhadap mitos pohon kembar di alun-alun kota Jogja itu. Dan akhirnya, gue pun
mencoba untuk menantang diri gue melewati pohon kembar itu dengan perasaan
sombong dan pikiran: Ah, gampang ini mah.
Tinggal jalan lurus doang.
Gue
mengenakan kain penutup mata berwarna hitam yang gue sewa dari warga sekitar
yang menawarkan, dan membantu gue berputar-putar di tempat selama beberapa saat
lalu dia berseru, “Yak, sudah. Ayo Masnya jalan.”
Gue
berjalan dengan penuh percaya diri dan sedikit rasa pusing karena sepertinya putarannya
kebanyakan. Beberapa orang gue dengar berteriak seolah mengarahkan gue arah
yang benar. “KANAN, KANAN!”, “KIRI, KIRI!”, “LURUS, LURUS!”, tapi gue nggak
tahu siapa yang mereka serukan karena di saat yang sama banyak orang lain juga
yang sedang mencoba melewati pohon kembar yang besar itu.
Dan
setelah gue merasa sudah berjalan jauh, gue membuka kain penutup mata gue dan menemukan
diri gue berada jauh dari pohon tersebut. Jangankan mendekati, bahkan gue
nyaris berbalik arah dari arah yang seharusnya gue tuju, dan gue menertawakan
diri gue malam itu. Setelahnya, gue menyadari sesuatu, bahwa, benar yang
dikatakan Pak Kusir: itu cuma sesuatu yang menambah pendapatan warga setempat.
Kembali
ke malam terakhir bersama Bunga.
Malam
ketika gue akan berpisah dengan Bunga, dia mengenakan kaus putih lengan pendek
dan jins abu-abu persis di hari pertama kami bertemu. Bedanya, kali ini dia
membawa tas cokelat yang ukurannya lebih besar dari waktu itu.
Gue
menatap wajahnya lekat-lekat dan berharap perpisahan ini nggak pernah terjadi.
Ada rasa perih tersangkut di hati gue, tapi Bunga buru-buru menepisnya dengan
senyuman penuh harapan.
“Kita
pasti akan ketemu lagi, Man,” katanya dengan lembut, selembut kepompong yang
gagal jadi kupu-kupu.
Nggak
ada kata yang bisa menjawab itu selain “Amin” yang gue ucapkan sampai tiga
kali.
Malam
itu gue pengen banget nangis, tapi gue nggak pengen terlihat lemah di depan
Bunga. Maka, gue sesekali mengubah alur pembicaraan ke hal-hal yang lebih bisa
diterima.
“Kamu
habis ini mau ke mana?” tanya gue.
“Ya
paling pulang, rebahan. Nungguin kamu ngasih kabar kalau sudah sampai.”
“Kalau
aku nggak sampai-sampai?”
“Maka
aku akan rindu sepanjang hidup.”
“Kalau
sampai?”
“Berarti
ada kesempatan kita akan bertemu lagi.”
Kami
tertawa kecil dan entah kenapa gue langsung refleks mengusap bagian bahwa mata
kanannya padahal dia nggak sedang meneteskan air mata. Tapi gue merasa dia
sedang menyembunyikan kesedihan. Sama seperti gue.
Sejurus
kemudian, gue mendaratkan satu kecupan singkat tepat di keningnya. Beberapa
detik setelah gue melepas kecupan, dia masih menutup matanya. Dan kesedihan gue
betul-betul merasuki seluruh tubuh dan pikiran gue. Gue nggak bisa lagi menahan
tangis gue. Pun Bunga. Air matanya menetes setelah ia membuka mata, dan gue
langsung melingkarkan kedua tangan gue di tubuhnya, berharap semua baik-baik
saja.
“Kita
akan bertemu lagi,” kata gue. Gue nggak yakin setelah mengatakan itu, tapi
itulah kalimat terbaik yang gue punya.
“Amin,”
jawab Bunga singkat.
Dan
malam itu, Bunga melepas kepulangan gue dengan perasaan sedih, tapi sekaligus
bahagia. Sedih karena kita nggak pernah tahu kapan akan bertemu lagi, dan
bahagia karena gue merasa harapan gue jadi lebih hidup. Dan perpisahan malam
ini, akan membawa gue pada pertemuan lain yang entah, apakah benar-benar masih
gue inginkan atau tidak.