UN
Rumah Sejuta Martabak
Makassar City, South Sulawesi, Indonesia
UN.
Dua
huruf kapital yang beberapa hari terakhir jadi perbincangan. Di TV, di Twitter,
di perkumpulan ibu-ibu nunggu tukang sayur lewat, semuanya ngomongin UN.
Padahal UN nggak pernah ngomongin mereka, sama sekali nggak.
UN.
Banyak
yang salah mengartikan UN. Ada yang bilang Ujian Nasional, ada juga yang bilang
Undangan Nikahan. Padahal UN itu artinya Untuk mantaN. Kenapa Untuk mantaN?
Karena apa yang kalian kerjakan pas UN, akan jadi masa lalu. Entah masa lalu
yang indah, atau kelam seperti malam tanpa bulan dan bintang yang menerangi. Yang
pasti, UN pasti berlalu.
Oke,
oke… UN tahun ini sebetulnya jadi dilema buat anak sekolahan. Gimana nggak,
wakil presiden terpilih pernah bilang kalo UN itu penting untuk evaluasi. Itu
kata beliau jauh sebelum terpilih. Dekat sebelum terpilih, beliau bilang lagi,
UN bakal dihapuskan. Nyatanya? Politikus memang mulutnya kayak bule, lain
tulisannya lain pengucapannya. Isi hatinya? Entah masih sayang atau nggak,
nggak ada yang tau pasti~~~
Buat
gue pribadi, gue masih fifty-fifty perihal diadakannya UN.
UN
itu penting, seperti kata Pak JK, untuk evaluasi. Kalo penentu UN cuma pihak
sekolah, semua peserta UN pasti lulus. Yakin. Manusia adalah makhluk
berperasaan dan semua guru di Indonesia bukan robot. Tapi di sisi lain, UN
malah jadi sesuatu yang menakutkan buat para peserta. Perjuangan tiga tahun
cuma ditentukan tiga hari? Hmm. Its not
so fair.
Bagi
gue, UN itu nggak masuk akal. Logikanya agak ribet, tapi gue coba semudah
mungkin.
*kemudian mendongeng*
Di
kelas gue, ada satu teman yang jago banget Matematika. Guru belum selesai
menjelaskan nomor satu, dia udah kelar nomor dua. Ada juga yang jago banget
melukis, tiap pelajaran Seni Budaya, dia selalu jadi kiblat teman sekelas. Satu
orang lagi, dia jago banget menghafal. Setiap kali ada pelajaran yang
mengharuskan siswa buat ngehafal, dia pasti senang. Tapi, mereka bertiga itu,
nggak pernah terlihat ceria di luar pelajaran favorit mereka. Gue sendiri
keahliannya nyontek, makanya nggak pernah cemberut pelajaran apa pun yang
masuk, kecuali duduk paling depan pas ujian. Duduk paling depan pas ujian itu rasanya
seperti di depan kita itu adalah pintu neraka yang terbuka lebar. Di depannya berdiri
mantan paling brengsek pula.
Soal
UN ada berapa nomor? Berapa lama waktu yang diberikan? Ada berapa rumus ribet
yang harus dihafal? Apakah semua siswa di seluruh negeri tau semua rumus-rumus?
Apakah mereka menyenangi semua pelajaran yang di-UN-kan? Its absolutely, NO! temen gue yang jago Matematika tadi,
udah pasti nggak masalah pas ujian Matematika. Dan yang lainnya juga. Tapi
masalahnya, peserta harus lulus semua mata ujian untuk bisa dinyatakan lulus. Yang
jago Matematika tadi bisa aja nilai UN Matematika-nya di atas 90, tapi kalo
Bahasa Inggris-nya di bawah nilai standar, gimana? Nah, lalu kenapa tetap ada
UN? Kembali ke atas, kalo nggak ada UN semuanya akan jadi acuh tak acuh untuk
belajar. Para peserta UN itu adalah jiwa-jiwa muda yang senang akan hal-hal
baru dan cenderung memberontak kalo ada hal yang nggak srek sama mereka.
Lalu
kesalahannya di mana?
Ya,
bukan menyalahkan, sih. Tapi kebanyakan sekolah di Indonesia cuman ada dua
jurusan: IPA dan IPS. Beberapa ada yang punya jurusan Bahasa dan Sastra. Adapun
yang masuk SMK, karena nggak lulus di SMA. Fakta ini terjadi di lingkungan gue.
Jadi seharusnya yang berperan atas dilemma UN dihapuskan atau nggak, adalah
Kementrian Pendidikan dan Orangtua Siswa. Orangtua mencari bakat anak sejak
dini, dan Pemerintah memberikan fasilitas untuk mereka mengasah kemampuan sejak
dini. Agar keahlian mereka dari kecil nggak mati saat besar cuma karena mereka
menyukai sastra semetara pilihan saat mereka besar adalah IPA ata IPS.