Abstrak
Dua mobil dari arah berlawanan bertabrakan, saling
tubruk tanpa segan. Mobil sedan putih dari arah Jakarta ke Bogor, dan mobil
sedang biru gelap dari arah sebaliknya. Salah seorang penumpang sedan putih
keluar dari pintu samping kiri dengan darah kental yang mengucur deras, entah
dari kepalanya atau ubun-ubunnya, tapi darah itu terus mengalir sampai menutupi
hampir seluruh wajahnya. Ia ingin berteriak, tapi seperti ada yang menahan
rahangnya untuk membuka lebar mulutnya meminta pertolongan.
Sementara
klakson dari mobil sedan satunya lagi terus berbunyi, kepala supir menempel
tepat di antara gagang setir, darah ikut bercucuran seperti yang terlihat dari
penumpang mobil sebelah, seolah berkata dengan paksa, “kita harus impas!”.
Perempuan di sampingnya, dengan posisi yang sama, berusaha menahan sedak akibat
darah yang mengucur deras dari hidungnya yang sesekali membuatnya terbatuk
namun tak mampu menggerakkan tangannya untuk membersihkan kucuran itu.
Moncong
mobil saling menciumi, membentuk abstrak yang benar-benar abstrak seluruhnya.
Seluruh penumpang mobil melakukan kegiatan yang tidak pernah kulihat
sebelumnya. Bagiku, itu abstrak.
“Ah, sialan!” aku memukul meja kerjaku dengan tetes
air mata yang baru saja kubersihkan dengan lengan bajuku yang sudah kusut,
kukenakan seharian. Sekelebat kisah suram 13 tahun silam masih menghantuiku
malam ini—persis malam-malam sebelumnya. Potret demi potret dalam ingatanku
terus mengutip tanpa henti, menyisakan luka dalam setiap kutipannya. Aku meraih
ponsel yang tergeletak di ujung meja, tergeser oleh pukulanku tadi, lalu
menghubungi Hanna, kekasihku yang entah benar-benar kekasihku, atau hanya
sekadar “kekasih”.
“Iya, Bar, kenapa?” jawabnya dari seberang telepon.
Dengan terisak seperti perempuan yang baru saja
kehilangan barang berharganya aku menjawab, “Han, gue nggak bisa. Nggak bisa,
Han!”
Lalu tangisku pecah. Seperti vas bunga yang baru saja
dihantam bola baseball
dengan pukulan terbaik.
Telepon terputus.
Aku tahu, setelah ini ia akan menghubungiku kembali.
Menanyakan kembali apa yang seharusnya tidak perlu ia tanyakan lagi karena
hanya akan membuatku kembali ke masa-masa yang semakin membuatku sakit saja.
10 menit berlalu, Hanna tidak menghubungiku kembali. Harusnya
ia meneleponku kembali sejak lima menit tadi.
***
HANNA
Capek. Hari ini kerjaan tidak semudah biasanya.
Menjelang penerbitan majalah bulanan, naskah semakin banyak masuk, desain
dituntut lebih unik dari sebelumnya, dan waktu istirahatku harus tersita
beberapa puluh menit. Untungnya, bulan ini masih ada karya dari Fathan,
mahasiswa tingkat akhir yang (kuingin) karyanya tidak pernah berakhir.
Kata-kata pembuka untuk puisinya selalu berhasil membuat bulu kudukku berdiri,
seolah tahu kata per kata dalam barisan itu memang penuh makna. Andai terlihat,
bulu-bulu itu mungkin akan membungkuk sedikit, memberi hormat pada setiap huruf
di bait-bait itu.
Batara Surya, nama pena yang ia gunakan setiap kali
mengirimkan naskah mengagumkannya. Bulan lalu, ia mengirim cerpen. Dua bulan
lalu, sebuah surat cinta untuk kekasihnya yang sedang tersenyum di sana. Aku
tahu, dia mengarangnya. Kabar yang beredar, ia belum pernah pacaran, tapi aku
tahu pasti, di usianya sekarang pasti sudah beberapa kali dia jatuh hati pada
lawan jenisnya. Lalu bulan ini, ia kembali menghiburku dengan puisi—karyanya
yang paling aku sukai.
Aku mulai jatuh hati pada Fathan—atau mungkin panggil
Batara Surya saja—sejak karya keduanya setahun silam terbit di majalah kampus,
yang menjadi tahun pertamaku menjadi seorang layouter di sana.
Lalu setelahnya, setiap bulan dia seperti selalu punya tempat di majalah itu.
Di bulan ketiga aku tahu dia berbakat, sangat berbakat, aku tertarik
mewawancarainya secara pribadi dengan mengatasnamakan majalah luar. Tapi aku
tidak kaget, Batara Surya dan Fathan sama saja. Batara Surya adalah seorang
pencipta karya tulis hebat dan Fathan adalah seorang pementas drama yang
handal, aku berkali-kali menyaksikan pertunjukannya di kampus sehingga aku
kenal dia, tapi menyembunyikannya saat wawancara. Aku punya banyak arsip
tentang keduanya, saat dia menjadi Fathan ataupun Batara Surya. Dan dia memang
berbakat, ditemani Retno, perempuan berjilbab yang selalu membuat semua pentas
Fathan terlihat sempurna. Awalnya kupikir mereka pacaran, tapi hanya di atas
pentas mereka mesra, selebihnya biasa saja.
*
Bruk!
Aku baru saja rebahan di kasur setelah pekerjaan yang
melelahkan seharian tadi. Belum sempat kurenggangkan otot-ototku yang tegang,
sudah harus tegang lagi setelah nama Barry muncul di layar ponselku yang sedang
berbunyi. Aku tahu pasti, sudah jadi kebiasaan, dia akan berkata, “Gue nggak
bisa, Han!” lalu mematikan telepon dan menungguku menghubunginya kembali.
Barry memulai kebiasaan buruknya ini sejak kami baru
sebulan kenal tidak sengaja di kafe miliknya, saat seorang pelayan tidak
sengaja menumpahkan minuman sisa pelanggan lain ke tanganku yang sedikit
menodai jam tangan pemberian ayahku. Saat itu, Barry kebetulan lewat, entah
dari mana seorang manajer kafe itu, dan melihat kejadian yang kuanggap insiden
wajar itu. Barry lalu memecat pelayan itu sebagai tanda maaf.
Setelahnya kami jadi akrab, dan hanya butuh tiga hari
untuk jadian.
Tapi sebenarnya aku sudah bosan, bahkan muak, dengan
tingkahnya. Ia jarang menghubungiku, lalu datang-datang dia meracau tidak
keruan, tidak jelas, tidak beraturan, begitu saja seterusnya. Sampai sekarang.
Seolah aku hanya bagian dari formalitas.
Berkali-kali telingaku dihunjam curhatan sedih Barry.
Tapi lagi-lagi, harus kukatakan, aku sudah muak dengan semua itu. Aku sudah
tahu sejak sebulan kami bersama. Orangtuanya meninggal karena kecelakaan mobil
sejak dia berusia 13 tahun, saat kecelakaan, dia menyaksikan langsung kejadian
itu dari kursi tengah mobil. Dalam kejadian itu hanya dia yang hidup dan dia
tidak bergerak sedikit pun sampai polisi datang di tempat kejadian perkara.
Tidak berteriak minta tolong, tidak pula berusaha menolong kedua orangtuanya
yang tengah sekarat. Dia selalu menyalahkan dirinya di akhir percakapan, lalu
menutup telepon dengan tangis. Aku hafal betul kalimat-kalimatnya, bahkan
sampai intonasinya yang disertai isak tangis bak perempuan itu. Begitu
seterusnya sampai malam ini aku merasa sudah sangat muak.
Aku yakin, dia menungguku menghubunginya kembali seperti
yang biasa kulakukan. Maaf, tapi tidak untuk malam ini. Seberapa pun perih hati
dengan masa lalu yang kelam, toh ada waktunya
masa lalu itu harus dibiarkan menjadi masa lalu. Bukan membawa masa lalu ke
masa depan dan membuat semuanya hitam. Lenyap dalam penyesalan.
“Kita ke teater besok malam, biar kamu bisa refreshing.”
Aku mengirimi Barry pesan singkat, tentu saja
kuakhiri dengan kata “sayang” sebagaimana layaknya kekasih.
***
Drama sebentar lagi dipentaskan. Aku duduk di kursi
paling depan bersama Barry. Meski awalnya Barry menolak dan memilih duduk di
kursi agak belakang, ia akhirnya menurut. Tapi kini ia terlihat sibuk dengan
ketikan-ketikan tanpa suara di ponsel-pintarnya. Wajahnya terlihat seperti
aktor di film horror
saat lampu teater baru saja dimatikan pertanda aksi, dan cahaya smartphone Barry
menerangi wajahnya.
“Simpan dulu hapenya, Bar,” tegurku.
Barry segera mematikannya. Memasukkannya ke saku
celananya yang sebelah kanan, jauh dariku yang duduk di kirinya. Aku tak
berniat menengok apa isi ketikan-ketikan tadi, hanya fokus ke panggung teater,
menunggu sosok yang kukagumi muncul dan mengabadikan penampakannya lewat kamera
cyber-shot
yang sudah dari tadi kugenggam.
Pentas berjalan lancar, bagi sebagian besar penonton,
tidak ada yang aneh. Akting Fathan seperti biasanya berhasil mengundang
kekaguman penonton dan memberinya tepuk tangan meriah. Sesekali aku terkekeh,
setelah tepuk tangan penonton dan raut wajah Fathan yang begitu menggemaskan.
Aku memegang tangan Barry yang sedari tadi diam saja.
Dingin. Gugup. Segugup penampilan Fathan malam ini.
Barry tenggelam dalam diam. Semakin diam setelah aku menyentuhnya.
“Kamu kenapa, Bar?” Barry terlihat tidak menikmati
panggung.
Kupikir ia kembali teringat masa lalunya itu.
“Sudahlah, nikmati saja dulu pertunjukan ini,” kataku.
Mataku mulai berkeliling, mencari sumber yang membuat
perasaanku tidak nyaman. Sesekali memandangi Barry, lalu memandangi arah
sorotan matanya yang tak pernah mengarah padaku. Tatapannya tajam, sangat
tajam.
Aku akhirnya menemukan ganjil yang tersembunyi dari
sorotan mata bulat itu.
Pandangan Barry berubah tajam saat Fathan terlihat
menyentuh Retno, yang memerankan Shinta di atas pentas itu. Mata Barry seolah memandang
dengan penuh marah dan cemburu. Cemburu yang berlebihan. Melebihi segalanya.
Mulutnya menipis, seolah menahan ocehan yang harusnya ia lontarkan.
Pentas hampir tuntas, pandangan mata Barry tak
berpindah sedikit pun dari sosok yang kukagumi sebagai seorang yang hebat ini.
Lalu ucapan terima kasih menutup pentas malam ini, mata Fathan dan Barry saling
bertatapan sebelum akhirnya Fathan meninggalkan panggung.
Saat itu aku menyadari, tidak ada bulu kuduk yang
merinding seperti yang biasa kurasakan saat sendiri menyaksikan Fathan
mementaskan drama di panggung itu. Pertunjukan malam ini berakhir tanpa magis.
Semua terlihat abstrak di mataku. Ada apa denganmu,
Batara Surya?