Suara Pemilih Baru: Indonesia Cacat Politik
![]() |
FOTO: BUKAN TANGAN GUE |
Gue
adalah seorang warga negara yang (berusaha) baik, dan salah satu cara yang gue
lakukan untuk itu adalah dengan nggak melanggar aturan, salah satunya: nggak
nerima uang suapan caleg.
Pukul
9:50 pagi, gue baru aja nyelupin kelingking gue ke tinta pertanda gue baru
selesai nyoblos. Ini lumayan lama karena berangkat dari rumah ke TPS setengah sembilan.
Lokasi pencoblosan gue di TPS 03 Desa London, Kecamatan Inggris, Kabupaten
Britania Raya. Masih di Indonesia kok itu.
Nah,
berhubung kemarin ada yang berkomentar di postingan gue dan bilang gue kritis,
gue jadi tertarik untuk juga mengkritisi keadaan di TPS tempat gue memilih.
Sekalian aja bulan ini postingan gue kritisin Negara sendiri.
Sebelumnya,
gue nggak golput lho. Karena gue
teringat pesan Dodit di KompasTV kemarin, “Rakyat, golput bukan pilihan”. Jadi,
gue coblos semua caleg yang baliho-balihonya seminggu lalu merusak pemandangan
komplek gue. Biar adil.
Gue
dapat informasi kalo dana pemilu tahun ini totalnya 15 triliun rupiah. Tentu
aja itu belum termasuk uang pribadi caleg untuk nyuap pemilih yang milihnya
nggak pake hati, tapi pake uang.
Yang
pertama, gue mengkritisi panitia pemilu yang masih aja bersikap nepotisme.
Buat
gue nggak masalah, gue sanggup berdiri berjam-jam di TPS, menunggu nggak dipanggil-panggil,
nggak papa. Tapi bagaimana dengan orangtua, manula, atau yang punya kesibukan
lain. Pasti banyak yang ngeluh, mau negur, ya nggak enak juga. Setiap hari kita
sama-sama soalnya. Sambil menunggu itu, gue memperhatikan, ada orang yang baru
datang langsung masuk, dan ada orang yang udah lama nunggu belum
dipanggil-panggil. Kayak gue.
Gue
nggak nyalahin panitia yang bertugas pada saat itu. Tapi, tanggung dana 15
triliun itu dan mendekati mubazir kalo proses pemilu masih nggak efektif juga.
Maksud gue, sekalian aja tambahin 15T itu beberapa sekian lagi. Gue mau,
panitia pemilu di TPS jangan pake orang di sekitar. Tapi datengin dari luar
daerah. Nepotisme bisa dicegah, kecurangan bisa aja dihilangin, dan yang pasti
lebih efektif.
Yang
kedua, MONEY POLITIC memang masih ada
dan terang-terangan. Bahasa kerennya: Rahasia UMUM.
Pas
gue ngantre tadi, gue berdiri di dekat cewek yang dengan terang-terangan dan
bangganya bilang ke gue kalo dia nerima uang dari caleg tertentu untuk memilih.
Gue berusaha menyadarkan, tapi dia malah bilang, “ya, emang gue pikirin.
Calegnya aja, nggak mikirin rakyat, ya masa gue mau mikirn dia?”. Akhirnya gue
jawab aja, “Udah tau nggak dipikirin, kenapa dipilih?” dengan nada yang santai.
Uangnya diambil, calegnya dipilih, udah tau bakal dicuekin, tapi dipilih
juga.... yang barusan gue temenin cerita itu, mahasiswi kampus negeri lho... gue kenal orangnya.
Gue
nggak nyalahin caleg yang main money
politic dalam kondisi seperti ini, tapi rakyat yang gue sesalkan. Suara
mereka dengan gampang dihargai antara 25ribu – 100ribu untuk jangka waktu lima
tahun. Percaya aja, fokus caleg setelah
terpilih, bukan gimana caranya mewujudkan aspirasi rakyat, tapi gimana caranya
uang mereka bisa kembali.
Jadi,
kalo pas di atas, duduk di parlemen dan kerjanya nggak becus lalu banyak yang
demo, ya yang salah juga pendemonya. Siapa suruh dulu mau disuap? Siapa suruh
dulu mau aja dijanji-janji? Siapa suruh?!
Karena,
gue yakin ketika kinerja legislasi nggak becus nanti, yang kebanyakan demo
pasti orang-orang yang dulunya juga nerima uang suapan itu. Meskipun banyak
dari mereka yang menolak ingat. Sialnya lagi, mereka nggak mau menyesali itu,
walaupun cuma dalam hati.
Percayalah.