Diva Press, Penerbit Mayor yang Sudah Tidak Waras!
Sebelum mulai
bercerita, gue mau curhat sebentar. Pertama kali gue kenal Diva Press adalah
ketika SMA seorang teman memperlihatkan brosur berisi buku-buku terbitan Diva
Press yang harganya murah-murah. Karena waktu itu gue sudah punya Twitter dan
di bagian pojok atas brosur itu tercantum akun Twitter-nya, gue follow. Saat itu followers-nya belum semenggunung kayak sekarang. Masih ratusan.
Saya di-follow back, mention dibalas, dan, gue batal pesan
buku waktu itu *nyengir* tapi
adminnya tetap ngelus dada, kok. Mungkin itu alasan kenapa gue sekarang di-unfollow kembali, tapi ya udahlah ya,
itu kan masa lalu. bodo amat. *netesin
iler* #LHA.
Back
to the topic...
Awalnya gue tidak
terlalu memperhatikan, gue tahu, gue tahu Diva Press ini memang penerbit mayor
di Jogja, gue tahu. Karena, sama seperti penerbit-penerbit lain, mereka juga
sering mengadakan lomba di media sosial yang berhadiah satu atau beberapa paket
buku. Tapi lama-kelamaan, gue kira penerbit raksasa yang digawangi Pak Edi Mulyono ini sudah tidak waras.
Ya, menurut gue fine-fine
saja kalo sebuah penerbit mengadakan lomba menulis, masih dalam tahap
kewajaran. Seperti yang tadi, dimulai dari kuis #bukuDIVA di Twitter yang dulu
diadakan setiap hari, siang dan malam, seperti minum obat dosis rendah. Kalo
sekarang sih, kuis #bukuDIVA sudah agak dikurangi porsinya jadi setiap Kamis
saja. Tapi bukan karena stok hadiah habis, justru Diva Press mengalihkannya ke
lomba lain yang lebih menantang.
Awalnya, Pak Edi cs
menantang GARADIVA (sebutan untuk Diva Press Addict) dengan membuat lomba menulis cerpen, dari yang maksimal
tujuh halaman sampai yang lima belas halaman. Lalu, karena mungkin dilihat ada
potensi yang besar dari para peserta, dibuka lagi lomba menulis novel dalam
waktu (rata-rata) empat bulan. Soal hadiah, tidak usah diragukan, dipertanyakan
dan dipergunjingkan. Hadiahnya mulai dari paket buku yang bisa bikin isi lemari
meluap, gadget canggih yang Albert Einstein pun pasti pusing
gimana cara pakainya, liburan ke tempat wisata tertentu, nonton live race
MotoGP, sampai hadiah ibadah umrah dihadirkan. Semuanya demi memotivasi para
peserta untuk menciptakan tulisan hebat—meskipun penulis pada hakikatnya jarang
melirik hadiah, yang penting naskah bisa selesai.
Sampai di situ, gue
kira Diva Press dan para selirnya memang sudah tidak waras. Tapi mereka belum
berhenti sampai di situ. Entah mungkin karena memang Pak Edi, si penggemar
berat Valentino Rossi, yang kebelet
ingin melahirkan penulis hebat berbakat, beliau sejak kurang lebih setahun ini
mengadakan event #KampusFiksi, sebuah
tempat bagi orang-orang yang ingin menjadi penulis. Awalnya, seleksi masuk
Kampus Fiksi ini agak ketat, kita harus punya karya untuk dinilai layak ikut
serta atau tidak. Juga, pada awal dibukanya kelas #KampusFiksi, hanya ada kelas
regular di Jogja—tempat Diva Press bernaung dan menerbitkan karya. Tapi makin
ke sini, #KampusFiksi sudah mengadakan roadshow
ke luar kota, luar provinsi, sampai luar pulau. Proses penilaiannya pun
diturunkan hingga pada akhirnya siapa pun bisa ikut, dari tukang nyontek sampai
tukang kopas, dari yang jago merangkai kata sampai yang tidak mengerti sastra
sama sekali, semua bisa ikut #KampusFiksi. Dan harapannya pasti satu dari CEO
Diva Press: melahirkan penulis hebat!
Beruntungnya, kota
kelahiran gue, Makassar, dapat kesempatan mencicipi atmosfir positif
#KampusFiksi bulan depan bersama Mayoko Aiko dan gue sudah dapat satu seat dari 100 yang disediakan *benerin kerah baju*.
SATU LAGI, SEMUANYA
TIDAK DIPUNGUT BIAYA APA PUN ALIAS GRATIS, TIS, TIS!!!