Berhenti Melakukan Apa yang Saya Sukai
Saya baru saja melewati sepasang muda-mudi yang bertengkar di pinggir jalan saat saya baru beres joging di gelanggang olahraga yang lokasinya tak jauh dari rumah. Karena sudah lama tak melihat “pemandangan” seperti ini, saya sengaja berhenti untuk minum tak jauh dari mereka. Bahkan cukup dekat untuk bisa mendengar apa yang sedang mereka pertengkarkan.
Tiba-tiba di kepala saya kembali tersirat ingatan satu dekade silam dengan mantan kekasih yang kini sudah tak pernah lagi saya tau rimbanya.
-///-
Meski tidak mengambil jurusan pendidikan, waktu KKN saya sempat kebagian proker mengajar di satu SMP dan dua SD. Seingat saya, saat itu, tidak ada materi khusus yang diajarkan, jadi kami berinisiatif untuk mengajarkan tentang teknologi umum (atau mungkin dasar) dengan harapan setidaknya siswa-siswi di pelosok bisa tau update terbaru perihal dunia teknologi saat itu.
Well, sebetulnya jatuhnya bukan mengajar, melainkan berbagi informasi kepada anak-anak yang tidak memiliki akses internet (FYI, sekolahnya beneran di atas gunung dengan akses yang sulit dijangkau kendaraan roda empat, roda dua pun tak bisa sembarang). Kami—saat itu berenam—merekamnya agar ada bukti ke pihak kampus.
Seusai KKN, saya memperlihatkan rekaman video itu ke pacar saya (syukurlah sekarang sudah jadi mantan) dengan girang. Saya senang sekali bisa berbagi dengan anak-anak itu, dan anak-anak di video itu pun kelihatan antusias.
“Jelek. Kamu gak cocok ngajar,” komentar mantan pacar saya, tanpa memberi masukan bagian mananya yang jelek.
Saya kecewa dan memilih tidak melanjutkan obrolan setelahnya. Saya pun tidak pernah membahas lagi soal itu dengan dia hingga hari kami memutuskan mengakhiri hubungan dan berpisah. Belakangan, saat saya sedang bersih-bersih berkas di laptop dan menonton lagi video rekaman itu sebelum menghapunya dari drive, saya menyadari memang cara saya mengajar jelek untuk ukuran orang seusia saya, meski mungkin bagi anak-anak itu tidak ada masalah. Namun, saya juga menyadari bahwa itu adalah kali pertama saya mengajar, maka sudah pasti jelek. Hanya saja, saya membutuhkan umpan balik untuk tau bagian mana yang jelek dan perlu diperbaiki ke depannya.
Selama bertahun-tahun saya terus kepikiran komentar mantan pacar saya itu dan sampai merasa bahwa saya mungkin tidak cocok untuk ngajar ataupun berbicara di depan umum, sampai akhirnya tahun 2022 tiba-tiba saja saya diajak buat jadi pembicara, dan hingga tahun 2025 sudah menjadi pembicara di beberapa acara. Bahkan pada rentang waktu 2020 akhir hingga 2022 awal saya pernah dipercaya menjadi host trainer—ngajarin puluhan talent dari yang baru masuk kuliah, kerja nyambi kuliah, sampai ibu-ibu beranak tiga untuk jadi host live streaming profesional. Dalam sebulan saya bisa ngasih training ke 5-10 orang secara terpisah. Hasilnya? Saya paling ingat satu talent yang sekarang jadi selebgram dan seleb TikTok, dan satu lagi pamer pencapaian mencetak penjualan 150 juta dalam seminggu di Shopee dan langsung beli iPhone terbaru buat menunjang kualitas live-nya.
Meski begitu, jelas saya juga tidak bisa bilang saya sudah cocok atau belum untuk menjadi pengajar, tetapi saya yakin sudah jauh lebih baik dibanding ketika pertama kali saya mengajar saat KKN. Saya sendiri pun tidak menyangka kalau ternyata ada orang yang ngajakin buat jadi pembicara, dan dibayar.
Sekarang, saya membangun komunitas yang kemudian dari sana saya membuat kelas-kelas online berbayar, dan saya bertindak sebagai host. Meski hanya sekadar pembuka, tentu itu juga membutuhkan kemampuan berbicara yang mumpuni. Sampai akhirnya saya menyadari kalau jam terbang itu penting, dan makin sering kita melakukan hal yang sama terus-menerus, makin besar kemungkinan kita menjadi mahir.
Namun, jika bisa jujur, saya pun tidak pernah menyangka akan bisa sampai pada titik di mana saya berada sekarang. Selama menempuh pendidikan, saya tidak pernah berpikir untuk menjadi orang yang akan tampil di depan layar dan didengarkan orang lain. Sepanjang hidup saya hanya ingin bekerja di bilik dari Senin hingga Jumat, lalu leyeh-leyeh di kasur sepanjang akhir pekan.
Semua berubah ketika saya memutuskan meninggalkan zona nyaman, karena saya enggak pernah tau pilihan saya akan membawa saya ke mana. Yang pasti, apa pun pilihannya pasti ada risikonya, dan saya harus siap.
Sekarang, tiap dapat tawaran menjadi pembicara, saya selalu konsultasi dan latihan di depan istri yang selalu siap sedia ngasih masukan agar saya bisa maksimal. Kami juga sama-sama tau kalau saya masih banyak kurangnya karena 1) saya memang dulunya lebih suka terlibat di belakang layar, 2) saya tidak pernah belajar public speaking, jadi kami berusaha untuk memaksimalkannya dengan menutupi apa yang dirasa masih kurang.
Hal-hal seperti ini membantu saya berkembang, dibanding hanya menyetop tanpa disertai alasan yang bisa diproses logika. Namun, kalau diingat-ingat lagi ke belakang, memang katanya orang yang paling berpotensi meremehkan dan menjatuhkan kita adalah orang yang paling dekat dengan kita.
Untungnya, orang yang seperti itu sudah jauh dari hidup saya.
-///-
Saya meneguk sisa air di botol dan meninggalkan pasangan muda-mudi tadi. Mereka masih bertengkar, tetapi terlihat dengan jelas sang lelaki memperlihatkan raut yang kecewa, mungkin sama kecewanya dengan saya ketika tiba-tiba disuruh berhenti melakukan apa yang saya sukai tanpa alasan.