Sekolah Swasta Gratis Bukan Solusi
SAYA TERGELITIK UNTUK menulis soal ini setelah baca berita tentang Putusan MK yang menggratiskan sekolah swasta. Pertama kali membaca headline berita di media sosial pada hari putusan, saya mengira sedang membaca judul berita yang clickbait. Ketika saya cari dari sumber berita yang kredibel, ternyata benar adanya. Mata saya langsung memicing, kening mengerut, dan otak segera memproses berita ini dengan berbagai prasangka buruk terhadap kebijakan yang baru saja diputuskan.
Sekolah swasta pernah dipandang sebelah mata
Saya tidak tau kapan tepatnya sekolah swasta berubah menjadi sekolah yang diidamkan banyak orangtua, tetapi pernah ada masanya sekolah swasta dipandang sebelah mata—bahkan tak dilirik sama sekali. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika sekolah di sekolah negeri pada tahun 2000-an. Kami berlomba-lomba untuk bisa masuk ke sekolah negeri favorit, atau minimal sekolah negeri tanpa embel-embel favorit. Pada saat itu, kami—yang bersekolah di sekolah negeri di desa—menganggap sekolah swasta adalah sekolah buangan, dan tidak layak.
Asumsi itu didukung fakta yang saya dengar dari teman-teman yang bersekolah di sekolah di sana, di mana mereka belajar di ruangan yang tidak layak, bangku seadanya, guru yang jarang masuk, dan siswa yang terserah mereka juga ingin belajar atau hanya sekadar datang dan bermain lalu pulang. “Toh, nanti kita juga tetap bisa ikut ujian Paket C dan lulus,” kata salah satu teman kepada saya.
Kenyataan ini terus terbayang di dalam kepala hingga belasan tahun, dan saya selalu punya persepsi negatif ihwal sekolah swasta.
Sekarang, setelah menjadi orangtua dan mulai mencari-cari informasi sekolah, saya mulai mendapati kenyataan bahwa sekolah swasta yang saya kenal dulu bukan lagi sekolah swasta yang sama dengan yang sekarang.
Sistem belajar, pola pembelajaran, dan kurikulum di sekolah-sekolah swasta sekarang ternyata sangat menakjubkan. Namun, ada satu hal yang jauh lebih “menakjubkan”: harga.
Saya baru tau beberapa tahun ke belakang bahwa biaya masuk dan bulanan sekolah-sekolah swasta, setidaknya di kota tempat saya tinggal, bisa mencapai puluhan juta. Saya pun jadi penasaran mencari tau apa yang menyebabkan demikian, saat di sisi lain sekolah negeri tetap konsisten dengan label “gratis”-nya.
Kebetulan sekali, sekarang saya tinggal tak jauh dari salah satu sekolah dasar negeri dan tepat di sebelah rumah saya adalah GOR yang sering mereka gunakan saat pelajaran olahraga. Karena kerja di rumah, saya bisa hampir setiap hari bertemu anak-anak sekolah ini—kadang pula di luar jam sekolah. Dari sini saya jadi sedikit-banyak tau kualitas anak-anak sekolah negeri dari cara mereka berinteraksi satu sama lain. Dari sini pula saya jadi paham mengapa sekarang banyak orangtua yang lebih memilih membayar jauh lebih mahal untuk menyekolahkan anak di sekolah swasta ketimbang di sekolah negeri yang sudah jelas-jelas gratis.
Swasta yang dulu bukanlah swasta yang sekarang
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, sekolah-sekolah swasta sekarang sudah bertransformasi menjadi sekolah idaman dan para orangtua berlomba-lomba untuk bisa menyekolahkan anaknya ke sana. Sementara, sekolah-sekolah negeri, termasuk sekolah saya dulu, bisa dibilang masih begitu-begitu saja—kurikulum yang berubah tiap lima tahun, guru-guru honorer yang bayarannya masih mencekik, pungli, dan masih banyak hal lain yang tanpa saya sebutkan pun orang-orang sudah tau karena sudah menjadi rahasia paling umum.
Meski sedikit kecewa dengan biaya pendidikan sekolah swasta yang tak terjangkau oleh kelas bawah, dan bikin kelas menengah ngos-ngosan, setidaknya sekolah-sekolah ini menjamin pembelajaran yang mengikuti kurikulum yang sudah diuji dan diakui, bukan kurikulum yang kadang masih dicoba-coba tiap kali ganti menteri.
Saya mengenal beberapa orang yang berhasil menyekolahkan anaknya di sekolah negeri terkenal. Salah satunya adalah anak pemilik rumah tempat saya mengontrak sekarang, dan ia mengakui betapa bagusnya sekolah anak dia. Tanpa perlu diawasi ketat, anaknya tumbuh menjadi anak yang pintar, rajin, dan beradab. Hal yang terakhir saya sebut adalah satu hal yang hampir tidak pernah saya temui ketika sedang mengamati anak-anak sekolah yang rajin mondar-mandir ke GOR sebelah rumah.
Maka, jika disebut sekolah swasta sekarang mahal, memang benar adanya. Bahkan saya cenderung melihatnya sebagai lahan bisnis baru. Namun, setidaknya output yang diberikan juga lebih berkualitas sehingga pada satu titik kita bisa menerimanya menggunakan logika.
Tiba-tiba pemerintah ingin “ikut campur”
Tiap kali berurusan dengan pemerintah, saya selalu punya prasangka yang sama: niatnya (mungkin) sebetulnya baik, tapi hampir tidak pernah dibarengi dengan kajian mendalam sehingga kebijakannya lebih sering ngawur alih-alih solutif.
Dalam konteks pendidikan yang sedang saya komentari ini, tentu pemerintah sudah melihat anomali di mana kini mulai banyak orangtua yang mengelu-elukan sekolah swasta, sampai-sampai judul lagu Sal Priadi yang tadinya “Kita Usahakan Rumah Itu” diubah jadi “Kita Usahakan Sekolah Swasta Itu”, tetapi “Negeri” tidak diajak. Mereka mulai membahas USP sekolah-sekolah swasta yang mereka ketemukan dan membandingkannya dengan sekolah negeri—saya tidak akan menerangkannya lebih jauh.
Dan karena itulah, muncul niat baik dari pemerintah untuk turut menggratiskan sekolah swasta.
Sebagai sebuah niat baik, hal ini patut diapresiasi. Namun, mari kita berhitung sedikit. Saya akan mengutip artikel dari Kompas: Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2022/2023 mencatat ada 148.975 sekolah dasar (SD) di Indonesia, dengan 18.938 (12,71 persen) adalah SD swasta dan 130.037 (87,29 persen) merupakan SD negeri.
Untuk SMP, dari 41.986 sekolah, 21.818 (56 persen) adalah SMP swasta dan 20.168 (44 persen) SMP negeri. Secara keseluruhan, 81.985 sekolah swasta (34 persen dari 399.376 sekolah) mendidik sebanyak 12,7 juta siswa (31 persen siswa SD-SMP). Sementara itu, 69 persen siswa SD-SMP sisanya bersekolah di sekolah negeri.
Khusus madrasah, menurut Kementerian Agama tahun 2023/2024, dari 55.535 madrasah (tak termasuk raudhatul athfal), sebanyak 51.507 (92,7 persen) adalah madrasah swasta dan 4.046 (7,3 persen) negeri.
That being said, pemerintah harus membiayai hampir seratus ribu sekolah swasta jika benar-benar ingin menggratiskan pendidikan wajib sembilan tahun. Kompas juga menulis soal Kajian Muhammadiyah yang memperkirakan biaya ideal Rp 9,2 juta per siswa per tahun untuk SD/MI dan Rp 14,3 juta per siswa per tahun untuk SMP/MTs, jauh di atas bantuan operasional sekolah (BOS) sebesar Rp 950.000–Rp 1,1 juta per tahun.
Secara hitungan matematika, dengan melihat prioritas pemerintah pada pendidikan periode ini, menggratiskan sekolah swasta seharusnya mustahil dijalankan. Lagi pula ...
Sekolah swasta gratis bukan solusi meratakan pendidikan
Saya masih memiliki pendirian yang sama: bahwa solusi biaya sekolah swasta yang mahal hari ini bukanlah dengan “diambil alih” oleh pemerintah lalu menggratiskannya, melainkan memperbaiki kualitas sekolah negeri—setidak-tidaknya membuatnya setara dengan sekolah swasta, sehingga mau tidak mau sekolah-sekolah swasta yang mahal itu harus menurunkan harga sembari tetap mempertahankan kualitasnya untuk bisa tetap bersaing.