Kerja dari Rumah Itu Lebih Capek
TADINYA SAYA MAU menulis tentang ini khusus di LinkedIn. Namun, ternyata jadi panjang sekali sampai-sampai LinkedIn tidak sanggup memuat semua karakter dalam satu post, jadi saya memutuskan untuk menulisnya di blog.
Dan, ya, sesuai judul, kerja dari rumah itu lebih capek.
… terutama kalau sudah berkeluarga dan punya anak.
Saya sendiri mengalami kerja dari rumah waktu sebelum dan setelah menikah, juga pada waktu sebelum, sedang, dan setelah pandemi. Dan saya mau membagikan pengalaman itu di sini.
Keresahan untuk menulis ihwal kerja dari rumah muncul dari banyaknya omongan yang saya dengar dari keluarga, teman-teman, dan orang asing yang saya temui yang bilang, “Enak banget, ya, bisa kerja dari rumah”.
Karena faktanya: tidak juga.
Satu hal yang selalu ingin saya tekankan pada orang-orang yang menganggap kerja dari rumah lebih enak daripada kerja di kantor adalah: keduanya sama-sama ada enak dan tidak enaknya. Hal paling umum dari enaknya kerja dari rumah mungkin adalah terhindar dari gosip kantor yang kalau meminjam kata Thanos, inevitable. Tidak enaknya: kita jadi tidak punya jam kerja tetap. Tapi kan itu tergantung bagaimana manajemen waktunya. Ya, betul. Namun pada kenyataannya: jam kerja kita akan berantakan saat kerja dari rumah karena ada banyak sekali faktor yang tidak akan kejadian kalau kita kerja di kantor. Contoh yang paling sering saya alami adalah urusan-urusan kecil yang sering mendistraksi fokus pada pekerjaan seperti mengecek jemuran, mencuci dan mengelap piring, atau saat anak memaksa ditemani main.
Fakta menarik lainnya: tidak semua orang mampu bekerja dari rumah.
Saya pribadi bisa berdiam diri di rumah selama satu minggu penuh (bahkan lebih) dan tidak merasa perlu keluar rumah. Saya memang tipe orang yang senang di rumah dalam waktu yang lama. Akan tetapi jangan salah, saya juga bisa bertemu dan ngobrol dengan banyak orang saat diperlukan. Saya beberapa kali menjadi pembicara di webinar, juga pernah menjadi MC acara luring dan semuanya baik-baik saja. Hanya saja, kalau ditanya pilih mana antara kerja di rumah atau di kantor, saya akan tetap memilih rumah sebagai tempat kerja.
Di sisi yang lain, istri saya adalah tipe orang yang tidak betahan bekerja dari rumah. Saat pandemi, istri saya terpaksa harus WFH karena kantornya tutup sementara sampai batas waktu yang tidak ditentukan akibat aturan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dari pemerintah. Tiga hari pertama masih aman. Bahkan pada minggu pertama WFH, dia membeli berbagai macam printilan untuk membuat dia nyaman bekerja dari rumah. Minggu kedua? Dia menangis—tidak sanggup bekerja dari rumah.
Maka, sebelum memutuskan untuk bekerja dari rumah, pastikan ke diri sendiri bahwa kita mampu melakukannya.
-///-
Sebelum menikah, sebelum pandemi
Ini adalah masa-masa paling menyenangkan dalam karier saya. Kadang saya enggak keluar kamar seharian penuh karena sangat menikmati pekerjaan. Kalau sedang ingin, saya kerja di luar dari pagi sampai malam—kerja dari kafe ke kafe sekalian bertemu teman; kerja sambil curi-curi waktu buat nonton film pada hari perdana penayangannya; dan banyak sekali menghabiskan waktu untuk olahraga, jalan-jalan, menulis, nonton film, atau ikut kursus daring.
Pada fase ini, hidup serasa di surga. Bangun tidur tidak perlu mikirin apa pun selain pekerjaan dan makan apa hari ini. Namun, lama-kelamaan saya jenuh juga karena hidup jadi terasa kurang tantangan. Zona nyaman minim tekanan ternyata bikin otak tidak aman. Saya merasa harus keluar dari zona ini.
Lalu pandemi tiba.
Sebelum menikah, saat pandemi
Fase ini adalah yang paling membingungkan buat saya, dan sebagian besar orang. Semuanya serba dibatasi. Kantor-kantor memberlakukan WFH; banyak tempat nongkrong tutup karena PSBB; orang-orang jadi malas keluar kota karena harus tes PCR yang harganya mahal; dan … saya pernah dituduh miara tuyul karena tiap hari ada kurir bawa paket ke rumah padahal enggak pernah terlihat berangkat kerja.
Pada titik ini juga, saya akhirnya memilih untuk step up dan memutuskan untuk menikah untuk kemudian pindah ke lingkungan yang lebih mendukung. Pada fase ini, saya masih hidup di lingkungan yang sebagian besar penduduknya masih percaya mitos dan takhayul, jadi boro-boro mengerti dan menerima WFH—jin bisa disimpan di dalam botol saja masih mereka percaya.
Setelah menikah, masih pandemi
Saya menikah saat masih pandemi. Jadi, tamu undangan sangat terbatas, hanya akad tanpa resepsi, dan itu artinya biaya menikah lebih kecil. Uangnya digunakan untuk membeli kendaraan dan kelak mengontrak rumah. Era sebelum menikah, sebelum pandemi telah lewat dan menurut saya inilah kehidupan yang sesungguhnya. Kenapa? Karena kehidupan sebelum dan setelah menikah ternyata sangat jauh berbeda dan sangat di luar ekspektasi saya.
Setelah menikah saya pindah ke Bandung, tinggal di rumah mertua selama setahun, lalu memutuskan untuk mengontrak rumah setelah punya anak demi belajar mandiri, sekaligus menjaga kewarasan diri. Pada fase inilah saya baru merasa benar-benar menjalani kehidupan yang sesungguhnya.
Karena sudah tinggal di rumah (kontrakan) sendiri, semuanya benar-benar diurus sendiri. Rutinitas tiap hari kurang lebih ⤵️
Pagi: ngecek air ➡️ beresin kasur ➡️ bikin nasi ➡️ main sama anak ➡️ sarapan ➡️ mandi ➡️ buka laptop.
Siang: ngecek air lagi ➡️ makan siang, cuci dan lap piring ➡️ main sama anak ➡️ lanjut kerja lagi.
Malam: main sama anak ➡️ ngecek personal things ➡️ ngecek kerjaan lagi ➡️ me time sebelum tidur.
Saat weekend, rutinitas ini berubah total karena ada jadwal ke pasar tiap Sabtu pagi, dan jalan-jalan bersama anak-istri tiap Minggu. Dan, ketika anak tantrum.
Anak tantrum selalu pada waktu-waktu yang tak tertebak dan bisa meleburkan rutinitas yang sudah tersusun rapi. Namun, itu adalah bagian dari perjalanan seru atas jalan hidup yang saya pilih. Sangat melelahkan, tetapi juga menyenangkan pada saat yang sama.
But did you see it? Kerja dari rumah berarti double job karena harus mengurus pekerjaan utama sekaligus pekerjaan-pekerjaan yang tiada habisnya di rumah. Sementara saat kerja di kantor, enggak mungkin bisa sambil mengurus rumah—bisa fokus ke kerjaan di kantor tanpa harus mikirin rumah untuk sementara—yang membuat kerja dari rumah jadi lebih melelahkan.
Jadi, kalau ada yang bilang kerja dari rumah lebih enak, jawabannya: tidak juga. Kembali lagi ke paragraf ketujuh tulisan ini: kerja di rumah atau di kantor sama-sama ada enak dan tidak enaknya. Dan, kita harus siap dengan segala risikonya. Kalau ada orang yang tidak siap dengan risikonya, mungkin memang orang itu baiknya tidak usah kerja—rebahan di kasur atau ongkang-ongkang kaki saja sambil menyebarkan berita hoaks di X.