Meritokrasi
Kalimat itu pertama kali terbaca oleh saya pada tahun 2012, ketika Jokowi menjadi calon gubernur DKI Jakarta.
Tepat sekali. Saya memang bukan orang Jakarta, tetapi saya punya dua alasan kuat mengapa saya perlu dan berhak mengurusi pilkada di Jakarta. Kota-kota lain saya tidak begitu peduli.
Alasan pertama: Jokowi juga bukan orang Jakarta, tapi tiba-tiba peduli banget sama Jakarta sampai mau maju jadi calon gubernur saat itu. Kok, saya tidak boleh untuk sekadar ngurusin pilkada di Jakarta?
Alasan kedua: Jakarta adalah batu loncatan. Dua tahun jadi gubernur DKI Jakarta, Jokowi maju jadi calon presiden dan terpilih. Anies Baswedan pun sama. Setelah merasa sukses membangun Jakarta satu periode, ia mencalonkan diri sebagai presiden. Bedanya, Anies Baswedan kalah. Jadi, secara tidak langsung hasil pilkada Jakarta juga turut memengaruhi kebijakan-kebijakan di daerah-daerah di luar Jakarta kelak, dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia.
Meritokrasi
Ini adalah kata yang rajin menyapa mata dan telinga akhir-akhir ini, tetapi hanya dalam bentuk ucapan, praktiknya tertinggal di zaman Majapahit. Kita kebagian pahitnya saja.
Jabatan di pemerintahan memang adalah posisi yang menggiurkan, tetapi mengisinya dengan orang-orang yang tidak kompeten untuk menyelesaikan masalah yang ada adalah bom waktu yang tinggal tunggu meledak—entah kemarahan rakyat jelatahnya, atau kesabaran orang-orang baiknya.
Kita sudah pernah melewati masa kelam yang melahirkan reformasi. Jika harus diulang hanya karena alasan keserakahan satu keluarga yang merasa punya kuasa, rasanya nestapa sekali negara yang kaya akan sumber daya alam dan manusia ini. Indonesia terlalu kaya dan indah untuk diurus para cecunguk yang tidak becus.
Saya masih tidak habis pikir: bagaimana mungkin seseorang yang baru dua hari masuk dunia politik, tidak punya rekam jejak politik apa pun, bisa langsung menduduki jabatan ketua partai, tetapi plonga-plongo ketika ditanya soal orde baru? Jika yang ditanya adalah penjual pisang langganan saya, saya bisa paham. Tapi ketua partai?
Partai politik dan orde baru ibarat dua sisi mata uang. Maka hanya ada dua kemungkinan dari skenario itu: 1) Dia kenal orang dalam dengan kekuasaan penuh, atau 2) Dia sangat lihai menjilat.
Namun yang bikin lebih tidak habis pikir lagi adalah partainya, yang memberikan ruang sebesar-sebesarnya pada seseorang yang hanya populer tanpa merit untuk memimpin partai. Ini adalah praktik peruntuhan demokrasi yang dipertontonkan terang-terangan, lalu (mungkin) pemerintah berharap kita diam saja karena lebih sibuk dengan urusan perut masing-masing.
Keluarga
Keluarga dan meritokrasi jarang sejalan. Keluarga memiliki kecenderungan untuk mengecualikan anggotanya pada posisi yang ia sadari tidak layak. Namun tetap dilakukan atas alasan: keluarga. Sementara meritokrasi tidak memandang seseorang dari keluarga siapa. Mampu berarti mampu. Tidak ya tidak. Titik.
Mendapuk anggota keluarga sebagai penerus jabatan tertentu adalah praktik yang sudah lama terjadi di Indonesia. Sudah banyak kasusnya. Terbaru, pemimpin tertinggi negara sendiri yang melakukannya. Rakyat bisa apa? Melawan. Pemerintah bisa apa? Membungkam—seperti yang selalu mereka lakukan.
Orang Dalam
Istilah orang dalam juga sangat sering kita dengar. Bahkan, kita sampai lupa kalau orang dalam adalah dua kata bermakna negatif dan sering membiarkannya saat bertemu di luar sana, tetapi misuh-misuh begitu tiba di rumah dan overthinking tentangnya sampai baru bisa tidur dini hari. Kita tidak sadar bahwa itu adalah bukti kita tidak membenarkan yang salah, tetapi membuka peluang menormalisasinya karena takut dibungkam atau diperkarakan. Kita memilih main aman, sampai akhirnya sadar kalau kita telah “diperkosa” dan tak bisa apa-apa karena sudah telanjur ditelanjangi negara sendiri.
“Gue gak peduli politik”
Kalimat itu, dan “Siapa pun presidennya, gue tetap cari makan sendiri” adalah cara berpikir yang cacat, tetapi dinormalisasi. Seakan-akan itu adalah kebenaran absolut.
Namun suka atau tidak, peduli atau persetan, kebijakan politik adalah penentu sebagian besar kondisi kehidupan kita di negara ini. Mudahnya air bersih, murahnya biaya pendidikan, atau meroketnya harga bahan pokok, semua itu ditentukan oleh kebijakan pemerintah—orang-orang yang notabene adalah politisi, atau orang-orang yang berasal dari partai politik.
Maka, jika kita menutup mata dan tetap beranggapan “siapa pun presidennya, gue tetap cari makan sendiri”, ketahuilah, sikap apatis itulah yang dicintai politisi rakus berhidung tikus, yang kerjanya tidak becus tapi uang rakyat mengalir ke kantong pribadinya terus-menerus.
Maka, tidak ada yang bisa kita lakukan selain: LAWAN!
Kita bisa melawan dengan cara apa pun yang kita bisa. Saya melawan dengan menulis, dengan harapan makin banyak mata yang membaca dan isi kepala yang terbuka lalu berhenti bersikap apatis pada negara. Kita harus jadi pemenang di negeri sendiri. Dan untuk menang hanya ada satu cara: LAWAN!