GA-974


GA-974
adalah pesawat yang ditumpangi Munir Said Thalib, aktivis HAM yang diracun di udara dalam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam dalam rangka melanjutkan pendidikan.

Diracun.

Di udara.

Ya, seperti penggalan lirik lagu Efek Rumah Kaca, "Di Udara".

Saya tidak mengenal sosok Munir secara personal. Saya juga tidak pernah bertemu dengannya secara langsung. Hanya melalui layar televisi bermerek Goldstar ukuran 14 inci saya berkali-kali melihat sosoknya, termasuk berita kematiannya yang kala itu begitu menggemparkan dunia. Betul, tak hanya Indonesia, tapi seluruh dunia memang gempar mendengar berita kematian Munir.

Saya mengenal sosok Munir sebagai seorang yang sangat vokal membela hak-hak dasar manusia. Saat itu saya masih kecil dan tidak mengerti apa itu HAM dan mengapa itu penting untuk diperjuangkan. Namun saya yang polos sangat percaya bahwa Munir orang baik karena membela hak rakyat sipil, dan orang-orang dengan jabatan tinggi tak suka dengan kehadirannya dan mereka berusaha membungkam dan menyingkirkannya, tetapi Munir tak takut dan terus melawan meski sendiri.

Atau setidaknya seperti itu yang sering saya lihat di film-film: aktivis menyuarakan kebenaran, sementara pemerintah mengusahakan pembungkaman. Saya juga tak perlu menyebut nama negara secara spesifik, karena hal semacam ini terjadi di mana pun dan kita semua juga tau itu. Kita hanya tidak punya kemampuan, atau keberanian seperti Munir.

Saat membaca buku Mencintai Munir yang ditulis sendiri oleh istrinya Suciwati, saya seperti diajak naik rollercoaster. Semua emosi hadir. Pada halaman awal semangat Munir seperti menular, lalu di tengah-tengah kita diajak masuk ke scene perjuangan yang begitu melelahkan, mencekam, dan menakutkan. Lalu hadir juga perasaan kecewa ketika sampai pada bagian di mana tak ada seorang pun yang bisa membantu menyelesaikan kasus Munir, sekalipun bukti sudah di depan mata.

Saya marah, kecewa, dan sedih pada saat yang sama ketika menutup halaman terakhir buku ini. Kenapa? Karena kematian Munir benar-benar menyisakan lubang kehilangan yang dalam. Kenyataannya, sejak kematiannya, kasus pelanggaran HAM di Indonesia tak pernah ada yang tuntas, bahkan makin bertambah. Kasus-kasus pelanggaran HAM baik berat maupun ringan dipaksa menguap begitu saja, persis kasus kematian Munir.

Di dalam buku Mencintai Munir, banyak sekali hal yang masih sangat relevan dengan kondisi hari ini, yang menunjukkan betapa Indonesia sebagai sebuah negara nyaris jalan di tempat, terutama dari sisi penegakan hukum dan HAM. Banyak kasus pelanggaran HAM yang disebutkan secara terang, yang bisa saja terungkap seandainya Munir tak diracun. Namun, kasus-kasus itu ikut mati bersama Munir.

Namun, Munir sudah tiada.

Meratap tidak akan mengembalikannya. Akan tetapi saya ingin menulis ini kepada pembaca saya yang makin hari makin sedikit, bahwa kebaikan dan kebenaran harus selalu di atas segalanya, yang dilanjut dengan beberapa hal menarik yang saya temukan dalam buku setebal 372 halaman ini.

Dihormati di Negeri Orang, Dilupakan di Negeri Sendiri

Saya kaget mengetahui fakta bahwa nama Munir diabadikan sebagai nama jalan di Belanda: Munirpad. Di bawah papan penanda jalan tersebut bahkan ditulis keterangan bahwa ia adalah pahlawan HAM dari Indonesia. Apresiasi setinggi langit nun jauh di sana, tetapi di negaranya sendiri Munir dianggap bak hama perusak sawah sehingga harus dibasmi.

Sungguh mengecewakan, tetapi fakta sudah bulat.

Munir bahkan sangat terkenal di luar negeri dan mendapat begitu banyak penghargaan atas apa yang dilakukannya, tetapi sama sekali tak pernah mendapat dukungan pemerintah negaranya sendiri dan malah dibuatkan berita bohong agar orang-orang membencinya—yang makin menguatkan kepercayaan saya bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang ditutupi, hingga hari ini.

Partai Hijau

Di Belanda ada sebuah partai politik yang kita sebut saja Partai Hijau. Tujuan Partai Hijau adalah menjadi oposisi pemerintahan yang sedang memimpin. Mereka hadir untuk menjadi penyeimbang agar pemerintah tidak seenaknya dalam mengambil keputusan, dan partai ini tak akan mengambil tempat di pemerintahan apa pun yang terjadi. Secara sederhana, Partai Hijau seperti seorang istri yang bersiap menjewer kuping suaminya kalau-kalau ia lupa akan kewajibannya sebagai suami.

Munir berencana mendirikan Partai Hijau di Indonesia dengan visi dan misi serupa sepulang dia dari Belanda. Sayangnya, ia tak pernah pulang dalam keadaan hidup.

Sosok Garang, tapi Sederhana

Terlepas dari sosok Munir yang tak pandang bulu dalam membela korban, juga tak pandang bulu dalam memilih lawan, lewat Mencintai Munir saya jadi tau kalau ia ternyata hanyalah manusia biasa di luar pekerjaannya. Ia juga merasakan cemburu ketika perempuannya didekati laki-laki lain, atau menyadari betapa ia juga bisa salting di depan orang yang disukainya.

Namun, sikap dan profesionalitas yang ditunjukkan Munir sebagai aktivis memang berada di level yang tidak akan pernah kita temui hingga mungkin 100 tahun setelah kematiannya. Saya belum pernah lagi melihat aktivis seberani dan sevokal Munir sejak 7 September 2004—hari kematian Munir. Yang saya lihat, baru bersuara sedikit sudah dibungkam dan tak lama mereka akan hilang dari peredaran. Entah karena ancaman, atau sulit menolak tawaran.

Melupakan Sejarah

Sama seperti buku Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, buat saya buku Mencintai Munir sangat penting untuk dibaca agar kita tidak serta merta melupakan sejarah. Bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan kita hari ini—contoh kecil: buruknya penataan transportasi hingga minimnya ketersediaan air bersih—tak lepas dari apa yang ditanam pada masa lalu dalam konteks penyelenggaraan negara. Dua buku ini menggambarkan betapa suramnya pengambilan keputusan pemerintah dalam menyelesaikan sebuah masalah. Ironisnya, hingga hari ini pengambilan keputusan penyelenggara negara masih sama. Kita pun seperti hidup di dalam lingkaran setan.

Dampaknya, lama-lama bisa jadi setan beneran.
Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.