Semua yang Tersisa
Rumah Sejuta Martabak
Mars, TX 75778
Sebagai
orang yang rumahnya berada di pinggir laut, gue senang banget sama pemandangan
keramaian pelelangan ikan di pagi hari. Gue senang mengamati bagaimana
orang-orang keluar dan masuk pelelangan itu bergantian, ada yang datang ke sana
buat membeli dan ada yang menjual.
Gue
paling senang ketika sudah terjadi tawar-menawar antara si penangkap ikan
dengan si pembeli yang juga adalah penjual ikan keliling. Obrolannya selalu
seru.
“Ini
seratus ribu saja.”
“Ah,
dua ratus. Banyak ini.”
“Seratus
lima puluh lah.”
“Jangan
lah, Bang. Rugi saya kalau seratus lima puluh.”
“Ya
sudah, nanti juga ada yang mau ambil dua ratus kalau kamu tidak ambil.”
“Seratus
enam puluh deh, Bang.”
“Tambah
sepuluh ribu lagi.”
Lalu
setelah tawar-menawar yang sudah sesengit pertandingan bola di partai final,
transaksi pun akhirnya terjadi. Kebahagiaan turut muncul di dalam hati ketika
lembaran rupiah mulai berpindah tangan dibarengi dengan senyum.
Selanjutnya
pemilik ikan akan mengeluarkan ikan lainnya lalu pembeli yang lain akan datang
menawar lagi, dan begitu seterusnya hingga terik matahari mulai panas di
punggung.
Selain
suka pemandangan seperti itu, gue juga seafood. Saking sukanya gue sama
seafood, setiap kali ke luar kota gue pasti selalu menyempatkan diri untuk
mencoba seafood di setiap kota yang gue kunjungi.
Salah
satunya adalah ketika gue ke Solo beberapa hari lalu.
Gue
menginap di dekat kampus ISI dan hanya sekitar seratus meter dari penginapan
gue ada warung makan seafood yang berdasarkan informasi di sana harganya murah
dan menunya cukup lengkap. Gue mengajak sang kekasih untuk makan di sana dan
ternyata benar rasanya memang enak dengan harga yang murah. Kalau nggak salah
kami memesan kerang saus tiram, nasi goreng cumi, nasi goreng udang, dan
beberapa menu lain yang gue agak lupa. Sempat pengin pesan kepiting, tapi waktu
itu gue masih berencana ke tengah kota untuk malam Mingguan sehabis makan dan
gue takut ngantuk plus gue sebenarnya makannya lama banget kalau makan kepiting
karena beneran gue ulik sampai benar-benar habis tak bersisa.
Kayaknya
kalau cangkangnya juga bisa dimakan, gue makan juga.
Besok
paginya gue pengin sarapan di tempat yang sama lagi sebelum berangkat ke Jogja,
tapi sayang warungnya belum buka, jadi kami langsung ke stasiun aja pagi itu.
Di
Jogja, ketika gue lagi nyari ATM di dekat penginapan, gue nggak sengaja melihat
warung seafood yang baru buka. Karena masih pengin banget makan seafood, gue
pun memaksa kekasih buat sarapan di sana. Tapi dia menolak.
“Nanti
dulu, belum lapar,” katanya.
“Kalau
gitu bungkus aja, mau?”
“Boleh.”
Sampai
di penginapan, dia tetap nggak mau makan sementara satu porsi punya gue sudah
habis.
“Kalau
mau, makan punya saya juga nggak papa,” katanya lagi.
Gue
mulai ngerasa ada yang tidak beres.
Setelah
membereskan tempat makan, gue menarik lengannya. Gue suruh dia duduk menghadap
gue dan dia menatap mata gue dalam keheningan.
“Kamu
itu sebenarnya kenapa sih, Sayang?”
Dia
menatap gue masih dengan diam dan tatapan yang seperti menahan sesuatu.
“Ayo
cerita ke saya, ada apa..”
“Saya..
sariawan,” jawabnya sambil mencoba menahan sesuatu di bibirnya.
YA
AMPUN! SARIAWAN AJA SAMPAI KAYAK DRAMA BOLLYWOOD GINI. UNTUNG NGGAK ADA
BACKSOUNDNYA.
“Astaga..
kenapa nggak bilang sih kalau sariawan?”
“Susah
ngomongnya.”
Setelah
gue periksa, ternyata sariawannya terletak di dalam bibir bagian atas dan dekat
dengan gusi. Membayangkannya aja gue langsung menelan ludah. Sudah pasti itu
sakit banget. Pantas dia nggak mau makan.
Sariawan
adalah permasalahan pada mulut yang sangat mengganggu, dan gejalanya nggak bisa
langsung kelihatan, tau-tau udah muncul aja. Itu bikin kita jadi nggak nyaman
terutama saat mengunyah atau menelan makanan.
Setelah
gue baca-baca, penyebab utama sariawan itu disebabkan oleh jamur bernama
candida albicans adanya di dalam mulut. Jumlahnya kecil, tapi nggak terkendali.
Pemicu sariawan itu ada banyak, di antaranya karena penggunaan antibiotik,
kebersihan mulut yang tidak terjaga, dan kekurangan vitamin. Gue rasa penyebab
sariawan kekasih gue ini adalah yang terakhir, karena selama di Solo kami
hampir nggak pernah mengonsumsi buah.
Akhirnya,
sebagai kekasih yang memberikan solusi dan nggak mau buang-buang makanan, gue
memakan habis semua makanan yang tersisa di meja lalu menyuruh kekasih gue
untuk puasa aja.