Bukan Review: Molulo
Rumah Sejuta Martabak
Makassar City, South Sulawesi, Indonesia
PHOTO: ctvgs on Pixabay |
Gue
mau marah-marah.
Gue
beli tiket untuk pemutaran film pukul 19:00, tapi pukul 19:21 pintu teater
belum dibuka dan gue masih berdiri mematung di depan pintu sambil ngeliatin
orang-orang yang baru keluar dari teater lain dengan wajah sumringah habis
nonton Justice League.
“Tadi
habis mati lampu, Mas, jadi filmnya belum habis,” kata penjaga pintu dengan
santai.
Oke,
gue santai.
Begitu
pintu teater dibuka, gue langsung antre di barisan, lalu disalip bapak-bapak
botak yang cuek aja ketika gue teriakin, “WOE, ANTRE DONG!”.
Baru
jalan beberapa langkah, film udah diputar. Pertanda buruk, kata gue dalam hati.
***
Molulo
adalah tarian khas daerah Kendari, Sulawesi Tenggara. Beberapa tahun lalu bapak
gue sering cerita soal tarian khas ini karena kebetulan bapak punya banyak
relasi di sana, jadi ketika gue tau ada film ini, gue nggak bertanya-tanya apa
itu Molulo. Ceritanya pasti tentang cowok yang ketemu di acara Molulo. Yakin,
pasti.
Ternyata,
Molulo adalah film lokal (cuma tayang di bioskop Sulawesi, kayaknya) yang
bercerita tentang Bachtiar a.k.a Tiar (Andi Asryil) yang tidak setuju
dijodohkan dengan Ifah (Musdalifah SUCA) lalu kabur ke kota Kendari setelah
ketemu sekilas sama cewek yang numpang salat di musolah. Cewek itu bernama
Rosdiana a.k.a Ros (lupa yang meranin siapa, yang jelas bukan kakaknya
Upin-Ipin). Lalu, hubungannya sama Molulo? Tunggu.
Sebenarnya
gue nggak ada niatan buat nonton film ini, karena udah nggak srek duluan saat
nonton trailernya. Tapi karena Justice League udah penuh dan rasanya sayang
banget pulang dengan tangan kosong, jadi gue nonton film lokal aja karena
daftar film lainnya udah gue tonton semua (sok banget, ehe). Sebelum nonton,
gue nggak berekspektasi terlalu tinggi, kok. Terakhir kali gue nonton film
lokal itu, Uang Panai. Dengan hadirnya Molulo yang premisnya kurang lebih sama,
gue berharap paling nggak film ini satu angka di bawahnya. Pikir gue, kalau ada
satu film lokal yang bagus, maka standar untuk film lokal lainnya seharusnya
bisa lebih naik lagi. Kayak Pengabdi Setan yang udah ngasih standar baru untuk
ukuran film horor yang bagus. Ternyata salah besar.
Molulo
jauh banget dari kata bagus.
Padahal,
akting Andi Asryil, Muhadkly Acho, dan Musdalifah udah bagus banget, tapi
pemain sisanya sungguh bikin gue gondok sepanjang film. Satu-satunya adegan
yang gue suka dan patut diapresiasi adalah ketika Tiar berantem di parkiran mal
sepulang nonton di bioskop bersama Ros, yang mana itu nggak sampai 60 detik. Sisanya
gue pengin marah-marah aja rasanya.
Ada
dua tokoh (yang gue lupa siapa nama mereka) yang lumayan bisa nyairin suasana,
tokoh yang gue rasa ingin menyaingi posisi Tumming dan Abu di Uang Panai,
sayangnya masih nggak nyampe. Mungkin karena gue cuma ngikutin Tumming dan Abu
karena sama-sama pendukung PSM Makassar. HAHA!
Mungkin
ada yang bakal bilang gini: “Kan ini film lokal, wajarlah kalau kurang
memuaskan”. Oke, oke. Gue merasa sayang aja menyia-nyiakan akting bagus seorang
Andi Asryil, Acho dan Musdalifah. Bukannya gimana, tapi gara-gara tiga aktor
keren ini main sama aktor-aktor yang levelnya jauh di bawah mereka, mereka
malah ikut-ikutan jelek, alih-alih bikin aktor yang levelnya di bawah itu
meningkat.
Selain
itu, adegan-adegannya banyak yang nggak natural. I mean, terlihat terlalu
dipaksakan, nggak rapi. Kalau temen bloger yang suka ngasih job nyebutnya
hard-selling. Dan karena itu gue jadi mikir kalau penggarapan film ini nggak
total. Entah modalnya kurang, atau memang kemampuan film ini memang sudah
begini saja adanya.
Sama
satu lagi, gue nggak menemukan benang merah antara judul film ini dengan isi
filmnya. Jadinya malah terlihat seperti pemilihan judulnya mengada-ada atau
asal-asalan, yang penting ada. Penyambungan cerita tokoh dengan Molulo itu
sendiri sangat kasar dan maksa, sungguh sebuah cara berkenalan yang awkward
kalau diibaratkan.
Nggak
seperti Uang Panai yang akhirnya bisa tembus layar bioskop nasional karena pembangunan
ceritanya yang berhasil, Molulo malah serasa jadi anti-klimaks. Ini adalah film
terburuk yang gue tonton dalam beberapa bulan terakhir. Untungnya gue sedikit
mengobatinya dengan mampir ke Starbucks buat beli Caramel Machiato sepulang gue
nonton.
Ada
sedikit pesan yang gue dapat, sih, jadi nggak seburuk itu juga. Dan mungkin
sebaiknya gue tulis aja. Intinya adalah...
Setiap orang yang datang ke hidup kita pasti ada tujuannya, entah mereka meninggalkan bekas luka atau suka, selalu ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kedatangan dan kepergian mereka.
Akhir
kata, semoga Sabtu atau Minggu besok gue kebagian tiket Justice League di kursi
belakang.
Rating
gue: 4/10.