Saya Malu Kerja di Jogja


“Saya malu kerja kantoran di Jogja, Mas.”

Dua kali saya mendengar kalimat itu dari dua driver ojek online berbeda di Jogja, kota yang katanya sangat ramah itu. Faktanya adalah, memang benar, Jogja adalah kota yang ramah. Fakta lainnya, Jogja sekarang sudah tidak seramah itu terutama untuk pendatang dan berstatus perantau di sana.

Dulu, Makassar dan Lampung sempat terkenal karena berita di televisi tentang begal yang sangat marak di sana. Sekarang, jalan-jalanlah ke Jogja, tinggallah sekitar dua atau tiga bulan maka akan muncul kesimpulan bahwa ternyata untuk urusan keamanan dari begal dan nama lain untuk orang jahat di jalanan, Jogja sudah tidak seaman itu. Saya pernah berada di rumah sakit bersalin menemani istri dari teman saya, dan dalam waktu kurang dari tiga jam, ada dua orang datang ke ruang UGD rumah sakit dan mengaku dibegal. Mereka terluka dan motor diambil orang. Saya khawatir orang-orang jahat yang saya sebutkan di dua kota di atas, sudah pindah ke Jogja.

“Tapi di Jogja makanan murah di mana-mana, Mas,” kata saya mencoba menghilangkan pikiran negatif.

“Betul. Tapi hanya makanan, selain itu semua sudah serba mahal,” kata si driver. “Mas ngekos atau rumah sendiri?” tanyanya.

“Ngekos, Mas,” jawab saya.

“Berapa biaya kosan Mas per bulan?”

“Tujuh ratus lima puluh ribu, Mas.”

“Mas kerja?”

“Kerja, Mas.”

“Di mana?”

“Di salah satu start up di Jogja.”

“Gajinya gede, nggak?”


Saya sempat nggak mau jawab, tapi karena lebih ingin tau lebih banyak, saya pun menjawab jujur.

“Ya, UMR sih, Mas.”

“Mas tau kan UMR Jogja berapa?” tanyanya. Saya mengangguk dan mengiyakan. Ia melanjutkan, “biaya kosan Mas udah lebih dari setengah UMR Jogja. Belum buat makan, belum lagi buat ditabung. Gimana kalau sakit?”

“Ya begitulah, Mas.” Saya pasrah. “Ada sih, kosan yang murah, tapi udah penuh semua. Itu pun kondisinya memprihatinkan.” Gue dan si driver tertawa.

Sekali waktu saya pernah bertemu teman dari teman saya yang ngekos di pinggiran Jogja dengan biaya kurang dari dua juta per tahun. Saya langsung kaget dan tidak percaya, tapi ketika dia mengaku, “GILA, MEN, TEMPATNYA KAYAK KANDANG AYAM”, saya langsung sedih dan prihatin.

“Saya asli Jogja, Mas,” kata si driver lagi. “Saya punya istri, anak satu dan tinggal di rumah sendiri. Tapi UMR Jogja nggak pernah cukup untuk sebulan. Kalau nggak kerja sampingan jadi tukang ojek gini, nggak akan bisa makan kami, Mas.”

“Berarti udah lama jadi driver ya, Mas?” tanya saya.

“Baru, sih. Dulu saya punya usaha, tapi sekarang udah enggak. Makanya ngojek.”

Ingin sekali saya menanyakan jenis usahanya dan sebab sekarang nggak dilanjutkan, tapi saya menahan pertanyaan itu karena nggak mau mendengar jawaban: “SAYA DULU TERNAK TUYUL TAPI SEKARANG UDAH ENGGAK KARENA CAPEK REBUTAN NENEN” dari mulut sang driver. Saya hanya diam mendengarkan keluh kesah driver yang sebenarnya juga adalah keresahan saya selama hidup di Jogja. Benar, makanan di Jogja masih terhitung murah, tapi itu hanya di tempat tertentu seperti angkringan/warteg/burjo/warmindo, Warung Super Sambal, dan Olive Chicken. Selain itu, good luck aja ya!

“Kalau di Jogja, mending buka usaha aja, Mas. Atau ngojek kayak saya ini. Kalau kerja kantoran mah, duh, maaf-maaf aja nih ya, Mas. Bukannya takabur, tapi kita kan juga butuh uang untuk jalan-jalan, makan enak, tabungan. Jalan-jalan dan makan enak buat sekali-sekali aja kok, tapi untuk sekali-kali bahkan nggak cukup.”

“Hehehe, kenapa bisa gitu ya, Mas?” tanya saya dengan muka bego.

“Ya gitulah, Mas. Orang-orang sini pada nurut apa kata Sultan. Manut wae kalau kata orang jawa mah.”

Ya. Begitulah orang Jogja yang menurut pada pemimpinnya. Sebuah hal yang layak diacungi jempol sebenarnya, karena walaupun mereka hidup pas-pasan, mereka tidak mau protes untuk kesejahteraan. UMR di bawah 1.5 juta rupiah sebenarnya sangat cukup untuk keluarga (satu ayah, satu ibu, satu anak), tapi itu jika UMR tersebut berlaku 10 tahun lalu.

Mungkin juga niat pemerintah kota Jogja baik, memberikan gaji UMR teramat sangat rendah agar warganya tidak takabur dan menghambur-hamburkan uang. Lihat saja orang Jogja yang kerja di Jakarta, setiap habis gajian mereka makan di restoran mewah, beli pakaian branded dan paling baru, beli gadget mahal, jalan-jalan ke luar negeri. Mereka yang di Jogja? Tetap makan di warteg lalu lanjut bekerja keras atau pulang tidur siang. Mereka tidak sombong dan tidak suka pamer, kan. Memang apa yang mau dipamerkan dengan penghasilan yang orang Jakarta habiskan hanya untuk transportasi itu?

Oh, come on.

Saya yakin orang Jogja tidak selamanya hanya ingin makan di warteg atau burjo or whatever you named it. Saya yakin sekali-kali mereka juga ingin nongkrong di Starbucks, Black Canyon Coffee, atau belanja pakaian di Planet Surf. Faktanya adalah, harga kopi dan pakaian di tempat-tempat yang saya sebutkan itu tidak ada bedanya dengan yang ada di Jakarta. Maka dari itu, driver ojek online ini secara langsung sudah mewakili perasaan saya yang merasa malu kerja kantoran di Jogja.

Tadinya saya sempat berpikir kalau gaji kecil hanya untuk orang-orang yang berstatus karyawan biasa. Ternyata tidak juga. Sekali waktu saya pernah naik taksi online yang drivernya adalah mantan manager area salah satu perusahaan yang cukup besar di Jogja. Seorang mantan manager area itu mengaku gajinya hanya 5jt sebulan dan tidak diberi bonus ketika capai target, tapi dimaki-maki ketika penjualan tidak mencapai target.

“Ya, Mas. Daripada kerja sama orang dan nggak dihargai kayak gitu, mending saya keluar, kerja buat diri sendiri. Menghargai diri sendiri,” katanya.


Waktu itu uang yang saya hasilkan sebagai freelancer yang menyelesaikan semua pekerjaan dari rumah, hampir sama dengan gaji manager area yang harus keliling kota setiap beberapa kali dalam seminggu. Belum lagi area yang dimanajeri orang ini bukan cuma di Jogja, tapi juga di luar Jogja. Saya langsung takjub dengan keramahan yang diberikan oleh kota Jogja. Setelah pulang, saya kembali berpikir, bagaimana mungkin saya tidak merasa malu kerja kantoran di Jogja?

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.