Absurd
Gue
pernah mencoba peruntungan karir di dunia musik ketika gue baru aja naik kelas
ke kelas tiga SMP. Atau simpelnya, gue pernah nge-band. Tadinya gue berpikir
untuk jadi murid baik-baik yang menikmati tunjangan-tunjangan dan dana pensiun
dari pemerintah saja, tapi kemudian gue berubah pikiran dan merasa hidup gue
datar banget kalau nggak mencoba hal-hal baru yang gue sukai.
Gue
suka musik, dan anak band itu keren. Setidaknya waktu itu.
Gue
pun membentuk band bernama The Prince yang beranggotakan lima orang. Kecuali
gitaris, kami semua masih sama-sama kelas tiga SMP. Kami juga nggak sekelas,
tapi rumah kami deketan. Sekelas waktu masih SD sih, sebenarnya. Nyari anggota
band yang rumahnya deketan maksudnya biar ongkosnya bisa irit, sungguh tidak
mencerminkan nama band-nya. Intinya kami nge-band biar keliatan gaul aja pas
lagi ngumpul. Gitaris kami adalah yang paling ngerti musik di antara kami. Gue?
Genre musik yang gue tau waktu itu cuma dua, dangdut dan rock. Dan kami nggak
mungkin bawain lagu dangdut di festival musik dengan dandanan ala ala Slipknot.
Gue
menjabat posisi gitaris kedua yang job
desc-nya mengiringi gitaris pertama ketika sibuk mainan melodi. Sumpah, gue
lupa namanya siapa. Yang gue ingat posisi drummer
ada Andri, di antara kami dialah yang paling ngehe, tapi gue paling nyambung
sama dia. Mungkin karena gue sama ngehenya. Teori negatif ketemu negatif sama
dengan positif ternyata bener. Di posisi bassist
ada Bagas, dan di bagian vocalist diisi
sama Saddam yang… yang… sebenarnya gue nggak tau kapan dia bisa nyanyi. Tau-tau
dia ditunjuk jadi vokalis, lalu jadilah band kami.
Suatu
Sabtu, malamnya akan ada festival musik yang sudah lama kami tunggu-tunggu.
Demi mendalami profesi sampingan itu, kami semua bolos sekolah. Di saat
anak-anak lain lagi pada lalu lalang diantar orangtua mereka ke sekolah, gue
dan Andri duduk manis di teras rumah Bagas nungguin Saddam dan gitaris kami
yang belum muncul. Gue duduk sambil metik-metik gitar, sementara Andri sambil
mukul-mukulin pahanya pake stik drum yang dia pinjam dari drummer band kampung
sebelah. Bagas masih sibuk ngurusin keponakannya yang sudah ada tiga, dua cowok
dan satu cewek. Mereka lagi main di gundukan pasir samping teras rumah.
“Pinjem
dong, mobil-mobilanmu,” kata ponakan Bagas yang cowok.
“Nggak
mau! NGEEENGGG. Beli dong makanya! NGEENNGGG,” teriak ponakannya yang punya
mobil itu.
Ponakannya
yang pengin pinjam mobil sebenarnya juga punya mobil, tapi lebih kecil dan
nggak bisa dipake ngangkut pasir. Salah sendiri sih, mobil taksi kok parkir di
gurun pasir.
“Awas
ya! Kalau papaku pulang, kubeli yang lebih besar!” kata ponakan yang punya mobil
kecil.
“Iya,
aku juga mau beli. Dua belas!” ponakan Bagas yang cewek menimpali.
Gue
dan Andri saling bertatapan tanpa suara. Lalu, tawa kami meledak, tapi tiga
keponakan Bagas nggak ada yang sadar kalau kami lagi ngetawain mereka.
Gara-gara
ngelihat ponakan-ponakan Bagas rebutan mobil-mobilan, gue jadi teringat teman
sekelas yang nggak mau sekolah kalau nggak dibeliin motor baru.
“Eh,
si Nurdin udah masuk sekolah tuh. Kayaknya beneran dibeliin motor baru
kemarin,” kata gue.
“Yamaha
Jupiter Z, Pak. Paling baru. Yang lampunya persis burung hantu itu,” tambah
Bagas.
“Iya,
kata bapakku itu bensinnya lebih hemat daripada yang pertama keluar,” lanjut
gue lagi. “Iya kan, Ndri?”
Andri
menatap gue dengan tatapan yang seolah-olah ingin menyadarkan gue kalau dia bukan
bapak gue.
“Iya,
harga telur asin emang lagi mahal sekarang,’ jawab Andri.
“Ya,
walaupun mahal tapi kan Pak Lurah sudah ngasih tau kita kalau besok malam ada
acara kumpul warga,” jawab Bagas.
Gue
pun nggak mau kalah.
“Tenang
aja, pokoknya kalau udah kekumpul semua, kita sumbangkan ke korban bencana
alam.”
“Lho,
nggak bisa gitu!” sangkal Andri. “Kalau kita tenang-tenang aja, kita nggak
bakal bisa juara nanti malam. Kita harus latihan!”
“Memang
harus latihan. Ronaldo kalau nggak dibeli MU juga pasti bisa jadi pemain
terbaik dunia kok, karena latihannya serius,” sambung gue.
“Lha
iya, jelaslah latihan kita sama mereka beda. Harga telur ikan terbang sekarang
kan lagi mahal-mahalnya. Wajar.” Andri mengambil mobil ponakan Bagas yang jatuh
ke tanah.
“Lha,
terus gimana dong kalau mahal. Kita kan belum bisa tinggal di Mars, pernah ke
bulan aja masih didebatin,” kata Bagas.
“Nggak
papa. Pokoknya nanti aku mau beli yang lebih besar,” kata Andri.
“Dua
belas!” kata gue menutup percakapan absurd pagi itu. Saddam dan gitaris gue
sudah datang dan kami sudah siap latihan untuk festival nanti malam.