Muak

Rumah Sejuta Martabak Makassar City, South Sulawesi, Indonesia

Kemarin, gue duduk sendiri di antara ratusan orang lain yang sama-sama sedang menunggu jadwal penerbangannya tiba. Gue duduk dengan rasa kesal karena sepanjang mata memandang hanya terlihat orang-orang yang menunduk menyibukkan diri dengan smartphone dan smartphone dan smartphone.

Muak.

Akhirnya gue switch pengaturan smartphone ke mode penerbangan lalu mengambil buku dari dalam tas dan berniat membaca saja. Tapi belum sempat gue mulai membaca, seorang ibu muda duduk di samping gue dengan tas jinjing yang kelihatannya nggak terlalu berat. Mungkin isinya cuma fotokopian skripsi yang belum direvisi, atau mungkin kumpulan naskah novel yang gagal terbit #LHAAAA

“Dek, jagain bentar, ya. Saya mau ke toilet,” katanya.

“Boleh, silakan,” jawab gue tanpa berpikir atau bertanya gimana kalau penerbangan gue udah tiba. Lagi pula, pesawat gue delay sejam.

Gue pun nggak jadi membaca dan ngintip tas warna hijau milik ibu muda itu. Isinya nggak keliatan, tapi ritsletingnya warna hitam. YA IYALAAAAH.

Karena mood baca gue udah hilang, novel Time of the Witches-nya Anna Myers pun gue balikin lagi ke tas lalu mulai memperhatikan sekeliling.

Ibu muda yang menitipkan tasnya ke gue itu ternyata belum sampai ke tujuannya, sedikit lagi. Jalannya pelan banget, kayak kura-kura habis dislengkat.

Di arah jam satu, gue ngelihat sepasang bule yang mesra banget, berpelukan sambil sesekali berciuman. Sepertinya mereka pengantin baru, mungkin mereka berencana honeymoon di air terjun pengantin, entahlah.

Di arah jam dua, ada bapak-bapak yang sibuk dengan handphone ukuran kecil nan jadul di tengah menggilanya kecanggihan smartphone sekarang ini. Sepanjang yang gue lihat, bapak ini adalah satu-satunya yang belum menggunakan smartphone.

Gue memutar balik pandangan ke arah jam sebelas. Ada perempuan berjilbab biru yang memakai masker dan hanya duduk diam. Sepertinya dia sedang memikirkan beban hidup yang kok gini amat.

Di arah jam sembilan, tepatnya di samping gue, ada ibu muda yang tadi menitipkan tasnya ke orang asing yang tidak lain adalah gue. Balik dari toilet, dia mendaratkan pantatnya di kursi ruang tunggu dan tidak mengucap sepatah kata pun setelah itu, termasuk ucapan terima kasih. Sepertinya rasa terima kasih dalam dirinya sudah beristirahat dalam damai.

Gue nggak habis pikir sambil menengok ke arah jam tujuh. Sepasang bule, lagi, sedang berpelukan sambil berciuman tepat di depan mata gue. Persis dengan yang dilakukan pasangan bule di arah jam satu. Bedanya, pasangan yang ini sedikit lebih muda. Mungkin sepantaran dengan gue.

Beberapa orang lalu lalang mencari kursi yang sebenarnya masih banyak yang kosong. Speaker pengumuman berbunyi, terdengar suara merdu yang akan disusul kekecewaan setelahnya. Satu penerbangan lagi delay, dan satu panggilan terakhir untuk penerbangan lainnya.

Petugas pemeriksa tiket penumpang di arah jam sepuluh jadi sangat sibuk melayani para calon penumpang yang langsung berbaris tak beraturan. Sebelumnya para petugas itu lebih banyak sibuk bergosip sambil ngemil Lays Rasa Steak Sapi Prime T-Bone Steak Flavour.

Ngomong-ngomong, Lays Rasa Steak Sapi kemasan Summer Edition ini rasanya enak juga. Dengan komposisi 65.24% kentang dan dioles minyak olein kelapa sawit yang dicampur garam, gula, mononatrium glutamate, dinatrium guanilat, dinatrium inosinat dan bawang Bombay bubuk beserta kerabatnya, 55 gram Lays Rasa Steak Sapi mengandung 110 kkal gizi yang dibagi antara lemak, protein, dan karbohidrat. Oh iya, ada sedikit gula dan natrium juga, tapi dikit aja kok. Kalau ada yang mau coba, bisa langsung ke minimarket terdekat atau kesayangan yang ada di kota masing-masing. Kalau mau gue beliin, tinggal DM alamat aja di Twitter. Semua biaya ditanggung… gue yang tanggung deh pemerintah daerah setempat.


Yang penting jangan sampai muak.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.