The Worst-but Funniest-Thing In My Life

Rumah Sejuta Martabak Surabaya, Kota SBY, Jawa Timur, Indonesia

Kalau dikejar-kejar cewek mah, gue udah biasa. Saking seringnya, gue udah bosan. Tapi, kayaknya gue bukan satu-satunya cowok yang dikejar-kejar cewek. Jadi nggak perlu gue ceritain. Tapi, pengalaman dikejar-kejar bencong sampai diteriakin bencong sama si bencong itu sendiri, kayaknya cuman gue yang pernah mengalami. And I called this moment as the worst-but funniest-thing in my life.

Waktu itu gue lagi ada di Surabaya bersama lima orang teman kuliah dan gue cowok sendirian. Sebelumnya kami habis dari Jogja dan gue mabuk darat di perjalanan, jadi sepanjang jalan gue cuma diam menahan mual. Barulah ketika sampai di Surabaya dan turun di depan sebuah rumah makan, gue merasa hidup lagi sebagai manusia normal.

Ketika itu di Surabaya lagi ngetren makanan yang memakai nama-nama iblis kayak Nasi Goreng Setan, Mie Goreng Kuntilanak, Sate Ayam Kesurupan, sampai Ayam Bakar Wewe Gombel. Karena gue nggak doyan makan pedes dan sebelumnya dapat bisikan dari malaikat di sisi kanan gue bahwa makanan yang menggunakan nama hantu itu kebanyakan pasti pedes, maka gue cuma memesan nasi goreng tanpa setan. Lagian ngeri juga ngeliat setan digoreng nongkrong di piring. Bisa-bisa nafsu makan langsung hilang seketika. HIH!

Karena ketika sampai rumah makan yang kami datangi baru buka, jadi kami menunggu agak lama sebelum pesanan datang. Salah seorang temen gue duduk di luar sambil menunggu pesanan. Gue pun ngikut karena di dalam pemandangannya cuma meja kosong dan TV yang belum sempat dinyalain.

Pas lagi duduk berdua, tiba-tiba gue disamperin sama seorang cowok, maksud gue cewek, eh bukan. Maksud gue, gue disamperin cowok berpakaian cewek yang dandanannya maksa banget alias bencong. Yeah, whatever you name it. Baju merah terusan dengan belahan dada lebar terbuka, dan muka yang penuh semen putih atau mungkin dempul, entahlah. Kalau di Makassar gue menyebutnya “banci kloningan”. Dengan bermodalkan kerincingan yang terbuat dari sebatang kayu, tiga buah paku, dan beberapa tutup botol minuman bersoda yang dipipihkan, si bencong lalu menyanyi di depan gue dengan suara yang sungguh tidak merdu sama sekali.

Dan lagu yang si bencong nyanyikan adalah Wakuncar. I do not hate Dangdut, I just don’t like it.

Gue nggak menunggu lama dan langsung ngasih seribu rupiah. Karena suaranya nggak enak dan bukan lagu favorit gue yang dibawain, gue pengin si bencong cepet berlalu.

Rupanya seribu nggak cukup.

Si bencong malah melanjutkan nyanyiannya dan terlihat lebih bersemangat dari sebelumnya. Gue merogoh saku celana, gue dapat seribu lagi. Gue kasih, si bencong belum berhenti juga. Gue menatap temen gue, dia langsung masuk kembali ke dalam. Karena nggak enak, akhirnya gue kasih lima ribu terus masuk ke dalam ngikutin temen gue. I thought that everything was over, but not.

“Makasih ganteng. Udah ganteng, baik lagi,” kata si bencong dengan suara berusaha dimiripin sama cewek. Padahal cewek aja suaranya nggak gitu-gitu amat.

“Sama-sama, Cong. Sana lu pegi,” jawab gue pelan sambil tetep ngacir.

“APA LU BILANG? BERANI LU YA SAMA GUE? SINI LO ANJING!”

Gue kaget bukan main denger suara itu. Tubuh gue sampai gemeteran dari ujung kaki sampai ujung pandang.

“Eh, maaf, maaf, Bang. Eh, Mbak. Eh, Mas Mbak. Maaf, maaf. Saya cuma bercanda.” Gue memohon ke si bencong kayak waktu gue ngemis minta duit ke nyokap.

“SINI LU! LU BARUSAN BILANG APA KE GUE?!”

“Nggak, Bang. Abang cakep.”

Dari situ gue akhirnya sadar bahwa si bencong menjadi seperti itu bukan karena keinginannya tapi karena tuntutan. Gue salah dan merasa bersalah. Karena takut dan dia udah buka sepatu siap-siap ngejar gue, gue pun lari di sepanjang jalan raya.

Dan dia ngejar gue. Untung gue pernah juara dua lomba lari sekampung jadi lari gue lumayan kenceng untuk lomba lari sama laki-laki berbaju terusan panjang berusia sekitar tiga puluhan.

Sambil lari kencang, gue masih mendengar dia neriakin gue.

“WOY! SINI LU ANJING. KATANYA LU LAKI KENAPA LARI HA?! LU LAKI APA BENCONG? DASAR BENCONG LOOO!!!”


Sepanjang jalan gue lari nahan tawa dikejar bencong yang neriakin gue bencong. Sampai orang-orang ngeliatin kami dengan wajah penuh heran. What a story.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.