Life Is That Sad for Her
Rumah Sejuta Martabak
Yogyakarta City, Indonesia
Jika
kalian yang membaca ini pernah memendam perasaan selama bertahun-tahun, kasih
tau gue seperti apa rasanya. Karena jujur, gue adalah orang yang sangat benci menimbun
terutama yang namanya perasaan. Kalau nimbun minyak tanah, pernah.
Ketika
gue suka atau naksir sama seseorang, gue nggak akan bisa menahan lebih dari dua
minggu dan orang yang gue taksir akan segera tau kalau gue naksir sama dia. Gue
orangnya nggak sabaran, dan selalu bisa menerima kenyataan walaupun pahitnya
kayak Kopi Toraja tanpa gula.
Gue
lebih baik menyesal udah ngungkapin perasaan gue daripada menyesal karena dia
nggak pernah tau perasaan gue.
Gue
nggak pernah tau gimana rasanya memendam perasaan selama bertahun-tahun, tapi
gue tau pastilah rasanya sakit banget jika pada akhirnya perasaan itu bertepuk
sebelah tangan.
Gue
punya pengalaman nggak enak ketika baru semingguan duduk di bangku SMP. Gue
ditampar sama temen sekelas, cewek, yang bahkan gue belum tau namanya. Gue
berusaha menahan tangis waktu itu, tetapi air mata di ujung mata nggak bisa
membohongi rasa sakit akibat tamparan itu. Yang lebih parah, gue nggak tau gue
ditampar atas alasan apa.
Untungnya gue sudah diajari untuk nggak mukul
perempuan, jadi gue nggak melawan meskipun seluruh teman kelas ngomporin pada
saat itu.
Qiah,
adalah nama perempuan yang menampar gue. Gue baru tau namanya setelah Pak
Yulianto, guru Matematika yang masuk beberapa saat setelah kejadian memalukan
itu, ngabsen. Bahkan sebelum kejadian itu, gue nggak pernah ngobrol dengan
Qiah. Jangankan ngobrol, tau gue sekelas dengan dia aja nggak pernah. Gue nggak
pernah bergaul dengan teman-teman di bangku belakang. Gue pendiam dan hanya
ngobrol seadanya dengan sesama warga penduduk bangku depan. Tapi sejak tamparan
itu, gue jadi sering papasan dengan Qiah. Entah ketika baru masuk kelas, mau
istirahat, atau saat akan pulang. Setiap kali gue papasan sama dia, dia selalu
jadi orang pertama yang membuang muka. Dia juga selalu memasang muka jutek,
judes, dan sok galak setiap kali mata kami bertemu.
Dan
itu berlangsung selama hampir dua semester.
Ketika
akan naik ke kelas dua, gue mulai suka sama kakak kelas. Seperti biasa, gue
PDKT kurang dari seminggu dan akhirnya jadian setelah… yeah, it’s true, kakak kelas gue yang nembak
gue. Pada zaman itu, di mana cewek nembak cowok masih sesuatu yang langka, gue
udah ditembak sama cewek yang sekaligus adalah kakak kelas gue.
Hari-hari
terus berlalu dan semuanya berjalan seperti biasa. Beberapa waktu sebelum gue
masuk SMA, gue putus dengan kakak kelas dan berstatus jomlo. Tapi nggak lama
setelah gue masuk SMA, gue udah pacaran lagi, lagi-lagi sama kakak kelas.
Bedanya, kali ini gue yang nembak dia. Kami pacaran cukup lama sebelum akhirnya
putus juga dan gue pacaran lagi, pacaran lagi, dan pacaran lagi.
Waktu
berlalu begitu cepat. Sebentar lagi acara perpisahan sekolah dan gue baru saja
selesai tes SBMPTN (dulu masih SNMPTN). Tiba-tiba ada SMS masuk dari nomor yang
tidak dikenal.
“Hai.”
“Siapa?”
“Bukan
siapa-siapa.”
“Oh.”
Ada
jeda cukup lama.
“Saya
sebenarnya suka sama kamu.”
“Lha,
ini siapa?”
“Qiah.”
“Qiah?
Qiah siapa?”
“Teman
SMP yang dulu pernah nampar kamu. Iya, saya suka kamu.”
“HAHAHA.
Saya bahkan tidak ingat pernah ditampar.”
“Saya
serius.”
“Serius
apa?”
“Saya
suka kamu. Dan maaf atas tamparan itu.”
Gue
menarik napas cukup panjang dan mendiamkan SMS Qiah cukup lama, lalu menuliskan
pesan cukup panjang.
“Dear, Qiah. Saya tidak pernah menaruh
dendam atas tamparanmu. Tetapi, maaf sekali, saya juga tidak pernah menaruh
rasa yang sama dengan yang kamu pendam selama ini. Saya tidak pernah
menganggapmu lebih dari sekadar teman kelas.”
Qiah
langsung membalas.
“Jadi
maksudmu?”
“Saya
punya pacar dan tidak pernah suka sama kamu. Sorry.”
Setelahnya
masih ada beberapa SMS berisi rasa tidak percaya dari Qiah dan SMS balasan
untuk menegaskan pernyataan gue. Lalu gue memutuskan untuk tidak membalas
pesannya lagi dan mencoba merasakan perasaannya. Dalam waktu kurang dari lima
menit, sambil tersenyum air mata gue menetes. Life is that sad for her.