Bukan Review: End of Black Era - The Incident
Rumah Sejuta Martabak
Dusun Jogja Village Inn, Yogyakarta, Indonesia
Kali
terakhir gue menonton film Indonesia bergenre fantasi adalah ketika… eh, eh.. hemm…
okay, kayaknya memang Indonesia belum pernah punya film dengan genre fantasi
yang benar-benar fantasi sepenuhnya. But,
wait. Kalo mau kembali ke masa lalu, ke masa di mana gue belum lahir dan
kalian yang baca ini juga gue yakin belum lahir, gue bisa menyebutkan beberapa
film bergenre fantasi buatan Indonesia. Ada Pandawa Lima, Darna Ajaib, dan
Topeng Besi. Masing-masing film tersebut diproduksi tahun 1953 dan 1980. Tapi kualitasnya? Sebaiknya tidak usah
ditanya. Bahkan naga terbang buatan tahun 2016 saja kadang-kadang masih bikin
mau muntah.
Sampai
akhirnya gue ketemu dengan dua orang yang ngaku-ngaku sebagai Custome Designer
dan Photographer; Yuris Aryanna dan Yongki Ongestu dari Yuris Laboratory, yang
ngajakin gue dan beberapa teman blogger lainnya untuk ikut screening salah satu film bergenre fantasi hasil kerja sama mereka
dengan Aenigma Picture.
“Dear Firman yang ganteng,
Perkenalkan saya Aryanna dari Yuris Laboratory, dengan email ini bermaksud mengundang Anda untuk mengikuti acara screening film End of Black Era – The Incident yang merupakan hasil kerja sama kami dengan Aenigma Picture.”
Ketika
membaca email itu, gue terdiam sebentar, bertanya-tanya dalam hati sambil makan
kolak pisang karena azan Magrib baru saja berkumandang.
Film
Indonesia?
Genre
fantasi?
Tau
dari mana gue ganteng?
Bukan
bermaksud meremehkan kualitas film Indonesia, gue suka nonton film Indonesia.
Hanya saja, gue nggak punya bayangan sama sekali ketika tau End of Black Era –
The Incident bergenre fantasi sepenuhnya. Di dalam email juga disertakan
beberapa link website dan blog yang sebelumnya sudah menulis ulasan tentang End
of Black Era – The Incident yang berdurasi kurang lebih dua belas menit. Di
dalam tulisan tersebut berisi link menuju akun media sosial resmi film
tersebut. Lalu gue ketemu channel-nya di YouTube, nonton trailer-nya (trailer
or teaser trailer, sih? Whatever),
lalu gue mikir:
Serius
ini film Indonesia?
Serius
ini yang bikin orang Indonesia?
Eh,
serius nih gue ganteng? Jangan-jangan cuma gombal.
Serius,
jika gue menemukan video itu di YouTube tanpa diberitahu sebelumnya, mungkin
gue nggak akan pernah tau kalau End of Black Era – The Incident didesain,
ditulis, dan direkam di Indonesia dan oleh orang-orang Indonesia. Bahkan,
kostum dan hiasan yang digunakan para tokohnya dibuat oleh pengrajin asli
Indonesia.
Lalu
tibalah malam screening film End of Black Era – The Incident yang dimulai
dengan pemutaran film dokumenter berisi kisah para pengrajin yang turut ikut
andil dalam film yang menggunakan bahasa Angin, bahasa yang dibuat khusus untuk
film ini. Bahkan pada saat screening turut hadir Pak Baidi, salah satu
pengrajin yang berasal dari Klaten.
End
of Black Era – The Incident mengisahkan tentang Neewa dan The Villagers yang
percaya bahwa kehidupan mereka dilindungi oleh The Guardian dari serangan jahat
The Enemy.
Tokoh-tokoh
dalam End of Black Era – The Incident namanya terbilang unik, seperti Neewa
sebagai tokoh utama, The Wanderers yang terdiri dari Arkayrat (The Climber),
Nukscah (The Scientist), dan Syehvana (The Fighter). Ada juga The Enemy dan The
Guardian yang belum diperkenalkan nama aslinya. Nggak cuma nama tapi karakter
setiap tokoh juga unik dan lucu.
Lalu
screening selesai.
Kalian
pernah mengutarakan perasaan ke gebetan dan dijawab, “Aku pikir-pikir dulu, ya”
dan disuruh menunggu bertahun-tahun hanya untuk jawaban ya atau tidak? Seperti
itulah yang gue rasakan sesaat setelah pemutaran prolog End of Black Era – The
Incident selesai. Melly Goeslaw banget.
Setelah
pemutaran prolog tersebut, dilanjut dengan diskusi dan gue menemukan jawaban
atas pertanyaan: Kapan versi penuh End of Black Era – The Incident ini akan
tayang?
Jawabannya
adalah: Nobody knows, including both Aryanna and Yongki. Tapi mereka lagi ke arah
sana, doain aja bisa sampai.
…okay.
Itu sama kayak gue udah yakin sama seorang cewek, gue datang melamar ke
orangtuanya, orangtuanya udah setuju, dan ketika gue tanya kapan gue bisa nikah
sama anaknya malah keluarganya menjawab: tidak tau. Doakan saja bisa.
Budget
tentu saja adalah kendala nomor satu. Untuk membikin prolog berdurasi dua belas
menit ini saja harus menghabiskan budget lebih dari setengah milyar. Untuk
melanjutkannya ke layar lebar atau ke versi penuh, setidaknya durasinya adalah
satu jam dan tiga puluh menit. Atau kalau mau mengikuti film fantasi di
Hollywood sana, durasinya paling tidak adalah dua jam atau dua setengah jam.
Gaji $3800 per bulan selama setahun saja nggak cukup!
Anyway, gue nggak ngerti-ngerti banget
sama film. Tapi dengan kualitas gambar yang sudah sangat bagus, genre yang
berbeda dari film Indonesia lainnya, serta perhatian para pelaku pembuat film
terhadap pengrajin lokal membuat gue menaruh harapan besar terhadap film End of
Black Era – The Incident ini. Semoga bisa segera bisa dilanjutkan dan diangkat
ke layar lebar agar gue dan para penonton lainnya yang menyaksikan dua belas
menit awal itu, tidak digantung lama-lama kayak judul lagu Melly Goeslaw.
Hampir
lupa. Sebagai penutup, kalau mungkin Kak Aryanna membaca ini, gue akan dengan
senang hati mengedit subtitle film End of Black Era – The Incident agar sesuai
dengan kaedah Bahasa Indonesia yang baik dan benar dan tentu saja gaul. I can be reach anytime by email, and you
already have my email address, Kak.
IG kiri-kanan: @efebeeri - @michlcvi - @yurisaryanna - @nfirmansyah_ |