Yang Paling Bahagia di Dunia
Hampir
setiap bulan aku mendapatkan kiriman atau mengirim barang lewat JNE Express,
tapi kejadian dua tahun lalu yang akan aku ceritakan ini tidak akan pernah aku
lupakan.
Aku
berdiri di teras lantai dua rumahku, mengenakan jaket cokelat kesayanganku menghadap
ke luar. Hujan turun deras sekali disertai angin kencang. Kulihat arloji di
pergelangan tanganku menunjukkan pukul dua siang, tapi langit terlihat seperti
sedang tengah malam. Jujur, aku takut setiap kali melihat cuaca seperti ini,
tapi hari ini aku tidak gentar berdiri di hadapannya hanya demi memastikan apa
yang sudah kupersiapkan sehari sebelumnya berjalan sesuai rencana.
Rumahku
berada di dalam gang, atau yang tetangga-tetanggaku sering sebut dengan lorong.
Aku berdiri di sini sudah lebih dari sejam, dan hujan serta angin kencang ini
sudah lebih lama dari itu, tapi
sepertinya tetes-tetes hujan itu belum menunjukkan tanda untuk reda dan berhenti.
Beberapa
kali kudengar suara gemuruh dari langit, juga suara teriakan tetangga yang
ketakutan. Ini pertama kalinya aku menyaksikan hujan sederas ini, juga
anginnya. Kalian bisa bayangkan, saking derasnya hujan hari itu, aku sampai
tidak bisa mendengar suaraku sendiri. Tapi aku masih berdiri kokoh sementara
hujan sudah membanjiri lantai teras rumahku.
Kulirik
arlojiku sekali lagi, lalu berharap-harap cemas untuk kesekian kali. Hari ini
Mama sedang ulang tahun, dan aku memberikan sebuah hadiah spesial untuk beliau.
Aku membelikan sebuah kalung yang sama persis dengan yang diberikan Papa saat
pernikahan mereka, kalung itu hilang dicuri orang saat kami sekeluarga liburan
ke luar kota tepat setahun lalu.
Papa
berusaha mencarikan penggantinya yang sama persis, tapi tidak pernah
menemukannya. Mama memang tidak pernah memintanya, karena menurutnya yang
terpenting adalah semuanya baik-baik saja. Tapi aku dan Papa tidak pernah
berhenti, padahal kami tidak pernah punya alasan pasti mengapa kami melakukan
itu.
Tepat
seminggu lalu, aku menemukan kalung yang sama persis dengan kalung Mama yang
hilang itu di sebuah online shop tempat aku sering berbelanja. Tadinya aku
langsung ingin membelinya karena takut kehabisan, tapi aku tiba-tiba teringat
kalau ulang tahun Mama tinggal menghitung hari. Jadi, aku putuskan menunggu
sambil berharap-harap cemas tidak ada yang melihat kalung itu di sana dan
mendahuluiku.
Sehari
sebelum ulang tahun Mama, akhirnya aku membeli kalung itu, membayarnya lunas
dan meminta pengiriman menggunakan JNE YES karena selama ini aku yakin dengan
paket JNE YES, yakin esok pasti sampai. Ah, aku juga jadi teringat HARBOKIR,
Hari Bebas Ongkos Kirim yang diselenggarakan JNE Express pada 26 – 27 November
2016 lalu dalam rangka ulang tahunnya yang ke-26. Aku sempat jadi salah satu
yang menikmati layanan Bebas Ongkos Kirim dari JNE Express yang berlaku untuk
maksimal 2KG per resi pengiriman pada saat itu. Setahuku, ada total 55 kota di
seluruh Indonesia yang menikmati HARBOKIR dari JNE Express.
Kembali
ke ceritaku, kalian mungkin penasaran kenapa aku tidak membeli kalung itu lalu
menyimpannya saja sampai hari ulang tahun Mama tiba, kan? Aku juga tadinya
berpikiran seperti kalian, tapi percayalah, itu tidak akan menjadi sebuah
kejutan. Mama adalah seorang ibu yang entah curigaan atau terlalu peduli, tapi
terakhir kali aku menerima paket kiriman, Mama selalu memeriksanya terlebih
dulu sebelum memberikannya padaku, atau pada siapa pun kiriman itu ditujukan.
Dan itu dilakukan beliau sepanjang waktu setiap kali ada kiriman yang
dialamatkan ke rumah kami.
Sekali
waktu Papa dapat kiriman baju perempuan yang bikin Mama dan Papa bertengkar,
yang kemudian mereda sendiri setelah ternyata kurir menelepon dan menjelaskan
kalau kiriman itu salah alamat. Papa hanya tertawa mengetahui hal itu, aku pun,
tapi Mama jengkel sampai tidak mau mengajak kami bicara seharian penuh. Setiap
kali mengingat kejadian ini, aku selalu tertawa apa pun perasaanku saat itu.
Kini
aku masih berdiri di teras atas, waktu sudah masuk sore dan aku masih menunggu
kabar baik. Sebenarnya aku sudah ragu paket kiriman untuk kejutan ulang tahun
Mama tidak akan sampai hari ini mengingat cuaca belum juga mereda. Aku tahu
banjir di mana-mana, kendaraan terutama roda dua tidak bisa menembus banjir dan
juga bisa terjatuh diterjang angin yang cukup kencang. Sementara aku tahu, jam
segini Mama sedang memasak untuk Papa yang sebentar lagi pulang kerja.
Pikiranku
jadi kalut. Tapi harapan masih tetap ada. Harapan harus tetap ada sampai waktu
benar-benar habis.
Tiba-tiba
aku melihat cahaya di tengah derasnya hujan, perlahan memasuki lorong rumahku
yang terletak paling ujung. Cahaya lampu sepeda motor pelan-pelan mendekat, aku
berharap itu adalah kurir JNE yang membawakan paket untuk Mama.
Aku
menguping dengan serius, tapi tidak ada suara sedikit pun yang aku dengar. Aku
benar-benar membenci hujan hari itu. Sangat benci!
Tidak
lama, sepeda motor itu kembali melaju meninggalkan lorong dan aku tidak tahu di
mana paket Mama berada sementara hari sudah memasuki malam. Aku memutuskan
untuk turun untuk memastikan siapa yang datang tadi. Saat turun, Mama baru saja
selesai menghidangkan makanan untuk Papa dan bersamaan dengan aku menuruni
tangga, mobil Papa memasuki garasi. Sementara kejutan untuk ulang tahun Mama
belum juga tiba.
Aku
benar-benar kecewa hari ini.
Papa
masuk dan memberi pelukan serta ciuman hangat di kening Mama. Aku menatap
keluar, mengintip dari jendela lalu bayangan cahaya muncul perlahan disertai
suara klakson, menembus hujan yang sepertinya mulai mereda. Suara mesin
kendaraan itu berhenti tepat di depan rumah kami.
“PAKEEEET!!!”
sebuah teriakan dari luar.
Seketika
aku, Papa dan Mama saling berpandangan. Lalu seperti biasa, Mama akan
menghadapinya lebih dulu.
Mama
membuka pintu dan bertemu dengan kurir yang mengenakan jaket JNE Express
berwarna hitam itu.
“Atas
nama Ibu Darniati?” tanya kurir itu.
“Iya,
betul. Saya sendiri,” jawab Mama.
“Tanda
tangan di sini, Bu,” kata kurir itu lagi. “Dan di sini.”
Kurir
itu berlalu. Aku dan Papa mematung menunggu apa isi paket yang datang itu.
Buru-buru
Mama membuka plastik dan perekat paket itu, lalu beliau langsung membuka
kotaknya. Sejenak aku merasakan waktu berhenti berjalan. Aku tidak mendengar
suara hujan, juga suara angin. Yang terdengar hanyalah suara isak tangis Mama
yang menggenggam kalung itu sembari memegangi dadanya. Setelah kurasa waktu
sudah berputar kembali, tiba-tiba saja Mama sudah ada di pelukanku dan air
mataku entah sejak kapan, mengalir dengan deras tanpa isakan.
Papa
lalu memeluk kami.
“Selamat
ulang tahun, Ma,” kataku.
“Selamat
ulang tahun, Sayang,” sambung Papa.
Hari
itu aku merasa jadi orang yang paling bahagia di dunia.