Bukan Perasaan yang Sebenarnya

Rumah Sejuta Martabak Yogyakarta City, Indonesia



Ketika gue terbangun di malam yang entah jam berapa, gue merasakan sakit di sekujur tubuh terutama di bagian pergelangan tangan. Tangan gue terikat ke belakang pada sebuah batang kayu, berlutut dengan kemeja putih lusuh dan basah oleh keringat. 

Gue berada di atas kapal yang sepertinya adalah milik bajak laut yang jahat dan kejam.

Gue ingin teriak, tapi potongan kain yang menyumpal mulut gue memaksa untuk tetap diam. Semakin gue ingin melepaskan ikatan di tangan gue, sakit yang gue rasakan semakin berlipat. Entah sudah berapa jam gue terikat tanpa sebab yang gue tau, dan tidak seorang pun datang untuk sekadar melihat keadaan gue.

Tepat di depan gue ada peti mati yang terbuka separuh, entah untuk siapa. Di sebelah peti mati itu terdapat kursi kayu cokelat yang warnanya sama dengan peti, dan sebuah korek api tergeletak begitu saja di atas kursi. Gue menengok ke arah jam 3, berbagai jenis tali tergeletak begitu saja. Dari yang seukuran kelingking hingga yang lebih besar dari paha orang dewasa.

Gue masih kebingungan dan keringat masih tetap mengucur deras, rasa sakit semakin terasa karena gue semakin ingin cepat-cepat melepaskan ikatan. Di arah jam 9 ada seutas tali yang sudah terpotong bersama pisau dapur yang kelihatannya begitu tajam, tapi teramat jauh untuk membantu gue melepaskan ikatan ini.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki.

Gue memutuskan untuk berpura-pura belum sadarkan diri. Gue menunduk hingga rambut menutupi muka dan gue bisa mencuri pandang untuk cari tau siapa yang sudah melakukan ini ke gue, dan yang paling penting,… kenapa?

Tiga orang muncul di hadapan gue, terlihat dari sepatu mereka. Satu orang duduk di kursi dan dua lainnya berdiri masing-masing di kiri dan kanan, sementara korek api yang tadi di atas kursi dipindahkan ke atas peti mati yang tutupnya kini dirapatkan. Mereka mengobrol dalam bahasa yang tidak gue mengerti sama sekali, mungkin Spanyol, Portugis, atau Belanda. Entahlah.

Gue cuma fasih berbahasa Indonesia, sedikit bahasa Inggris dan beberapa kata kotor dalam bahasa Jawa.

Tidak lama mereka duduk, dan tidak juga menyapa gue yang setau mereka belum sadarkan diri. Mereka pergi begitu saja, lalu gue paksakan untuk bangun, berteriak dengan mulut yang masih tersumpal. Tiba-tiba ketiganya berhenti dan menengok ke arah gue yang nyaris tak berdaya lagi.

Seorang lelaki dengan topi koboi, penampilannya lebih mirip Johny Deep dalam film The Pirates of the Caribbean dan dua orang perempuan yang mengawalnya. Satu mirip Drew Barrymore, satunya lagi mirip Ashley Graham. Si lelaki lalu menghampiri gue, menarik rambut gue bak tawanan yang siap ditembak mati dan berkata lagi-lagi dalam bahasa yang tidak gue pahami sama sekali.

“ANJING LO, LEPASIN GUE!” teriak gue.

Meskipun mulut gue tidak disumpal, gue yakin dia tetap tidak akan mengerti.
WHO THE HELL ARE YOU?!” teriak gue lagi.

Dia lalu menampar gue dua kali, ke kiri dan ke kanan seperti ibu pada anak tirinya yang baru saja membuat kesalahan fatal.

Dia berkata dengan suara ditekan, sepertinya sangat marah, lalu meninju muka gue dengan sangat keras hingga gue pusing dan hampir tidak sadarkan diri.

“ASU!!!” gue berteriak.

Sepertinya dia sudah puas dengan dua tamparan dan satu tinju. Paling tidak untuk kali ini. Ia berjalan ke kedua perempuan tadi yang sudah menunggunya, meninggalkan gue tanpa jawaban sama sekali. Sempat ia menoleh ke gue sebelum berlalu, dan gue membenamkan wajah, mencoba tetap sadarkan diri dalam kesakitan.

Sekitar lima belas menit berlalu, dan terdengar bunyi pintu digedor dari arah jam 11. Gue yakin saat pintu terbuka akan ada seseorang yang keluar dari sana dan menyelamatkan gue dari hal menjengkelkan ini. Di saat yang bersamaan gue juga khawatir si pria kejam tadi muncul dan menggagalkan penyelamatan gue. Tapi, gue tiba-tiba kaget saat pintu terbuka dan melihat sosok yang muncul.

“YA AMPUN NAK, KAMU KOK TIDUR KAYAK ORANG MATI. PINTU UDAH DIDOBRAK KAMU BELUM JUGA BANGUN YA AMPUN…”

Ternyata gue mimpi jadi sandera bajak laut, dan nyokap adalah sosok penyelamat gue dari mimpi buruk yang bikin gue keringetan sampe sekujur tubuh.

“PANAS GINI KOK TIDUR SIANG PAKE SELIMUT,” kata nyokap lagi.

Gue pun bangun, melipir ke kamar mandi sambil memegangi tangan gue yang kesakitan seperti habis diikat tali yang kenceng banget. Mimpi gue terasa sangat nyata, terutama rasa sakit dan capek yang gue rasakan, padahal ini bukan perasaan yang sebenarnya. Mimpi memang kadang aneh, memaksa untuk percaya bahwa ia tidak nyata, tapi rasanya benar-benar ada.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.