Berhenti Menggunakan Layanan Go-Jek Indonesia
Rumah Sejuta Martabak
Yogyakarta City, Indonesia
![]() |
via SUARAKEBEBASANORG |
Sebelum
gue memutuskan untuk menulis ini, beberapa orang bisikin gue agar nggak perlu
dipermasalahkan sampai sejauh ini. Tapi gue tetap menulisnya agar semua pihak
yang terkait bisa introspeksi dan tau mana celah dari tubuh mereka yang harus
ditambal dan diperbaiki.
Layanan
Go-Jek Indonesia memang sudah lama ada, tapi gue baru beberapa bulan belakangan
ini menggunakannya karena sebelumnya gue masih punya kendaraan pribadi. Tapi
sejak pindah ke Jogja, gue jadi lebih sering memanfaatkan transportasi umum untuk
bepergian ke mana-mana.
Lalu
gue berpikir untuk mencoba salah satu layanan Go-Jek yaitu Go-Ride, karena
melihat banyaknya driver di jalanan setiap kali gue keluar.
Pertama
kali mencoba layanan ojek online dengan identitas warna hijau ini, gue begitu
puas. Kalau nggak salah dalam seminggu gue menggunakan layanannya sampai tiga
atau empat kali dan selalu gue kasih bintang lima setiap kali gue sampai di
tujuan. Setelah gue memilih lokasi keberangkatan dan lokasi tujuan, tarifnya
akan tertera di layar dan nggak sampai 10 detik setelah gue menekan “Order”
driver terdekat dengan lokasi gue akan langsung menelepon untuk memastikan penumpangnya
nggak lagi ngibul.
Biasanya
paling lama lima menit drivernya udah sampai di lokasi gue, dan yang pertama
ditawarin adalah helm, masker, dan penutup kepala. Lalu setelah gue naik,
driver-nya bakal nanya, “Mas, buru-buru atau enggak?” dan kalau gue jawab
enggak, si driver akan melaju dengan kecepatan normal sambil ngajakin gue
ngobrol berbagai hal agar gue nggak bosan di sepanjang perjalanan.
Kalau
obrolannya menarik, akan jadi nilai plus
dan kalau obrolannya terkesan maksa juga nggak akan mengurangi nilainya buat
gue. Nilai dalam artian rating yang
harus gue kasih ke driver yang bawa gue setelah gue tiba di tujuan. Sampai kurang
lebih tiga bulan gue menggunakan jasa Go-Jek Indonesia meskipun nggak setiap
hari, dan gue begitu puas dengan pelayanannya walau setiap hari berganti-ganti
driver.
Suatu
hari gue dapat driver seorang tua, tapi dia tetap ramah dan menjaga penumpang
tetap aman. Lalu gue bayar lebih sebagai bonus, bonus karena bikin gue nyaman
sebagai penumpang dan bonus karena di usianya yang sudah tua dia masih semangat
padahal gue mesen jam setengah tujuh pagi. Salut!
Lalu
beberapa hari yang lalu, gue ketemu juga sama driver yang nggak tau aturan dan
seenaknya.
Tolong
siapkan kopi dan beberapa potong kue, soalnya ceritanya agak panjang nih kayak
daftar bualan mantan waktu masih jadi pacar.
Ketika
drivernya tiba di lokasi gue, dia lebih dulu nanya lokasi tujuan dan gue jelaskan.
Memang adalah hal yang wajar, nggak semua
driver hafal rute. Pernah sekali juga gue dapat driver yang ternyata baru
pindah dan gue yang ngarahin jalannya. Lalu gue naik dan kita berangkat.
Driver-nya nggak nawarin masker ataupun penutup kepala seperti
sebelum-sebelumnya, tapi gue nggak pernah permasalahin itu sih karena walaupun
ditawarin gue juga bakal bilang nggak usah. FYI, gue selalu bawa helm dan
masker sendiri.
Di
jalan, gue minta drivernya buat mampir ke ATM karena gue nggak bawa duit yang
cukup dan drivernya manggut-manggut. Pas sampe traffic light, lampu merah, dan di seberang jalan gue liat ada ATM
di minimarket.
“Itu
di sebelah ada ATM, Mas. Mampir situ aja,” kata gue sambil nunjuk minimarket
yang ada ATM-nya.
“Oke,
Mas,” jawab si driver dengan mantap.
Begitu
lampu hijau nyala gue pun ngambil ancang-ancang ngayungin tangan buat menepi ke
kiri jalan biar nggak kesenggol pengendara yang lagi buru-buru. Bukannya
berenti di minimarket yang gue maksud, drivernya malah ngebut dan bikin helm
gue hampir terbang.
“Loh,
Mas, kok nggak mampir?”
“Nanti
aja, Mas, di depan masih banyak ATM, kok,” kata dia.
Ya
udah, gue ngikut aja. Nggak mungkin dia nggak mau dibayar, kan. Sambil gue
nyuruh dia pelan-pelan aja karena gue nggak lagi buru-buru tapi tau-tau dia
ngebut kayak orang yang lagi dikejar utang setan.
Gue
nggak ngerti driver yang gue dapat kali ini lagi ngejar apa, atau lagi dikejar
siapa. Setelah dua kali gue suruh pelan-pelan dan dia tetap ngebut, gue
akhirnya diem aja. Lalu gue mampir ke ATM setelah gue “paksa” mampir. Gue
sedikit kesulitan buka tali pengaman helm saat mau masuk ke ATM dan si driver
nyeletuk, “Itu dipake aja, Mas, helmnya. Nggak papa kok.”
Dari
situ gue udah mulai nggak nyaman sih, orangnya over sotoy dengan muka nggak
bersalah.
Saat
ngambil duit, gue ngeliat dia merogoh kantong celana dan dompetnya. Mungkin
lagi nyiapin kembalian. Nggak mungkin nyiapin red carpet. Keluar dari ATM, gue ingetin sekali lagi buat
pelan-pelan aja karena gue sebenarnya hari itu berangkat kepagian, tapi tetep
aja nggak digubris . Kamu tau rasanya ngomong sama Tembok Besar Cina? Seperti
itu yang gue rasakan waktu itu.
Gue
lalu ketemu lagi dengan lampu merah. Lampu merah yang kebanyakan orang bosan
nunggunya jadi hijau.
“Lampu
merah sini paling lama nih, Mas, makan waktu banget,” kata drivernya.
“Iya,
Mas,” jawab gue.
Lalu
gue ngobrol sebentar, ngoborolin soal Go-Jek yang udah mulai melebarkan sayap
di kota-kota besar lainnya, dan… si driver ngeluarin smartphone-nya, mencet
sesuatu sambil bilang, “Saya pencet ‘arrived’ aja ya, Mas, kan udah deket.”
Ya
udah, nggak papa. Yang penting gue dianterin sampe tujuan, pikir gue.
Lampu
hijau nyala, motor jalan lagi dan sebelum sampai di lokasi tujuan gue, si
driver ngambil smartphone-nya lagi sambil bergumam, “Ada orderan lagi nih…”.
Tangannya gue perhatikan, antara mau nelepon calon penumpangnya atau tunggu
sampe gue tiba di tujuan karena udah deket banget.
Serakah.
Sampe
di lokasi tujuan, gue bayar si driver dan sambil senyum-senyum melas dia bilang
kembaliannya nggak cukup. Dia sampe ngeliatin isi dompetnya ke gue. Karena gue
nggak mungkin nyari kembalian pagi-pagi buta, akhirnya gue relain aja uang gue
sebesar Rp.6.000,- diambil sama driver yang nggak taat aturan dan seenaknya
itu. Gara-gara itu gue jadi curiga ketika di ATM tadi dia ngerogoh kantong buat
nyembunyiin uang kembaliannya yang didukung oleh fakta bahwa sehari sebelumnya
para driver mogok narik menolak penurunan tarif dari pihak Go-Jek Indonesia
yang dianggap terlalu murah dan merugikan driver.
Tentu
saja gue sangat nggak puas dengan pelayanan kali ini. Bukan soal uang
kembalian, enam ribu perak mah cuma dapat dua gelas Nutrisari rasa mangga, tapi
soal kenyamanan penumpang. Pagi itu gue sama sekali nggak merasakan kenyamanan
sedikit pun seperti sebelum-sebelumnya.
Kesel
banget.
Selain
dari oknum driver yang bandel, sebelum kejadian ini pernah juga gue mengalami
masalah dengan aplikasi Go-Jek. Ketika itu gue lagi nungguin driver yang
katanya arriving in 3 minutes,
tau-tau tanpa gue apa-apain di layar muncul tulisan “You are on the way to…”
padahal gue masih duduk di angkringan nungguin driver-nya. Nggak sampe semenit,
muncul lagi tulisan “arrived in…” sementara gue belum pindah posisi duduk sama
sekali.
Tapi
waktu itu, gue tetap merasa puas karena driver terkait tetap datang dan
nganterin gue sampai tujuan dengan selamat plus
nyaman. Barulah beberapa hari yang lalu itu gue benar-benar kesal dengan
perlakuan driver yang seenaknya. Ditambah lagi, teman-temannya sesama driver
Go-Jek pada ngebelain padahal si driver jelas-jelas nggak menaati aturan dari
Go-Jek Indonesia. Sampe-sampe gue dikatain anjing, lucu banget.
Terlepas
dari hal itu semua, gue percaya bahwa Go-Jek Indonesia ke depannya akan jadi
lebih baik dan lebih selektif dalam memilih driver sehingga kejadian yang gue
alami nggak dialami sama penumpang lainnya. Gue pun masih akan tetap
menggunakan layanan mereka, sampai suatu hari gue ketemu lagi dengan driver
yang sama bandelnya, barulah gue akan berhenti menggunakan layanan Go-Jek
Indonesia.