Tak Seperti Senja yang Kau Lihat
Rumah Sejuta Martabak
Yogyakarta City, Indonesia
Suaraku
pernah serak ketika meneriakkan namamu dari balik pintu rumahmu dan tidak ada
jawaban. Lama aku berdiri dan menunggu kau membuka pintu, bahkan hingga para
tetangga merasa tidak nyaman dengan teriakanku. Tiga kali, dengan jeda
masing-masing beberapa detik, tapi kau tidak juga menjawab.
Tujuh
kali, disertai ketukan yang cukup keras ke pintu rumahmu hingga tanganku
memerah. Lalu aku lupa sudah meneriakkan namamu berapa kali dan aku memutuskan
untuk memutar gagang pintu yang tidak terkunci itu. Setelah membuka pintu
lebar-lebar, aku mencarimu ke setiap sudut ruangan.
Aku
tidak menemukanmu di mana pun. Kosong.
Kau
tidak di rumah? Tapi ke mana? Aku terus bertanya ke diri sendiri.
Aku
berjalan ke setiap sudut ruangan dan akhirnya menemukanmu duduk di atas balkon,
menatap angkasa yang terang benderang senja itu.
Aku
tahu kau sudah menyadari keberadaanku. Tapi kau sedang menikmati senja,
pikirku.
Lalu
aku melangkahkan kaki pelan-pelan agar tidak mengganggumu menikmati cahaya di
ufuk barat yang kuyakin besok masih akan sama. Aku melepaskan sepatuku dan
mendudukinya seolah itu adalah kursi terempuk yang pernah ada. Pandanganmu
masih tetap ke angkasa. Aku ingin memulai percakapan, tapi aku enngan menyapamu
meskipun sebenarnya aku tau kau sudah merasa terusik dengan kedatanganku.
“Sebentar
lagi,” kau bersuara.
Aku
sedikit kaget, tapi kemudian membalas ucapanmu yang kuanggap sapaan.
“Aku
juga menyukai senja,” kataku.
Kau
berhenti menatap angkasa dan menatapku dengan penuh pertanyaan. Matamu indah,
tapi tatapannya teramat menusuk dan aku tidak sanggup menatapnya lama-lama.
“Senja?”
kau bertanya. “Aku tidak sedang menikmati senja,” lanjutmu sebelum aku sempat
menjawab.
“Lalu?”
jelas aku bertanya-tanya apa yang sedang kau tatap di angkasa pada saat senja
jika bukan kemilau jingga pantulan matahari yang sedang turun.
“Aku
sedang menunggu,” jawabmu.
Aku
ingat kau pernah bercerita bahwa kau tidak percaya Neil Amstrong pernah
menginjakkan kaki di bulan, dan ketika kutanya kenapa, kau menjawab sambil
tertawa: karena bulan terlalu indah untuk
dikotori manusia.
Aku
tidak mengerti apa maksudmu, tapi itulah yang kau ucapkan kala itu.
Aku
duduk sangat lama di sampingmu, hingga aku merasa sebaiknya aku pergi sendiri
saja malam ini, tapi kemudian kau merangkulku saat aku ingin beranjak.
“Kau
harus melihat pertunjukan yang istimewa ini,” katamu.
Aku
menunggu sangat lama, sampai bosan, dan kau akhirnya beranjak dari tempat
dudukmu dan dari pandanganmu terhadap bulan yang bulat sempurna dan begitu
merah malam ini. Bulannya indah, aku akui. Tapi aku harus bilang kalau mata
cokelatmu lebih indah dan lebih terjangkau olehku. Kalau boleh memilih, aku
lebih ingin menikmati mata indahmu daripada bulan yang nyaris tak bergerak di
kejauhan sana.
Kau
datang dengan dua gelas minuman dan beberapa potong makanan yang kau akui
adalah buatanmu sendiri. Lalu kita bercanda-ria sepanjang malam dan bercerita
banyak hal tentang bulan yang begitu kau sukai.
“Bulan yang indah tidak datang setiap hari seperti senja yang kau lihat sore tadi, karena itu aku menyukainya.”
“Bulan yang ingin kuperlihatkan padamu indahnya belum seberapa dibanding yang kau lihat sekarang ini.”
“Bulan yang indah itu, belum pernah tersentuh manusia. Mendekat pun mereka belum.”
Kata-katamu
itu menyihir kepalaku seketika, memenuhinya dengan pertanyaan yang
berputar-putar seputar bulan.
Aku
menyukai segala hal tentang astronomi, tentang kebenaran yang sebenarnya dan
ketidakpastian tentang kehidupan di luar sana. Aku ingin jujur, aku ingin
menentang pernyataanmu tentang Neil Amstrong, tapi aku juga tidak percaya
seratus persen tentang kebenaran itu. Maka aku diam, menunggu saat yang kau
janjikan tiba.
Dan
mataku mulai lelah.
“Tidurlah,”
katamu.
Dan
aku merebahkan kepalaku ke pundakmu, hingga aku benar-benar terlelap tidur, menghabiskan
waktu bersamamu di atas balkon yang dingin. Aku tidur beralaskan karpet tipis
yang entah kau ambil dari mana. Aku tidak ingat apakah aku bermimpi atau tidak,
tapi tidurku nyenyak sekali.
“BOOM!”
Kau
mengagetkanku dan aku langsung terbangun dan… surprise! Bulan tepat berada di hadapanku. Merah. Menyala. Dan
gagah. Seumur hidup aku belum pernah melihat bulan yang sebesar dan seterang
ini.
“Inilah
keindahan bulan yang ingin aku tunjukkan padamu,” katamu. “Selamat menikmati.”
Aku
takjub, dan kini mengerti mengapa kau begitu percaya bahwa Neil Amstrong tidak
pernah menyentuh tanah tandus di atas sana. Kau menghabiskan sekaligus
merelakan banyak waktu hanya untuk satu momen seperti ini. Inilah alasan kenapa
kau lebih menyukai bulan daripada sekadar cahaya senja yang bisa dinikmati
setiap sore. Penantian. Sebuah penantian yang kau percaya akan berakhir manis,
semanis kue buatanmu yang sudah kuhabiskan sebelum terlelap tadi.