Setelah Makan Siang Itu
Selain
martabak, makanan kesukaan gue adalah nasi goreng, bakso, mie pangsit, dan
makanan lain yang cara makannya nggak ribet dan di tempatnya gue bisa makan
sambil ngangkat satu kaki dan nggak ada yang menatap sinis ketika gue pegang
sendok pake kaki sekalipun.
Itulah
kenapa gue lebih suka makan di rumah daripada di luar.
***
Setelah
dia membuka masker di depan gerobak penjual martabak, gue akhirnya lega bisa
melihat langsung perempuan yang selama ini hanya bisa gue peluk dalam bayangan
sambil menutup mata. Meski banyak perbedaan antara foto dan aslinya, persetan
banget dengan malam itu. Gue merasa merdeka, seolah ini adalah satu pencapaian
besar dalam hidup gue. Hal didukung oleh fakta bahwa gue bukanlah satu-satunya
orang yang PDKT-in dia. Malam sebelumnya dia sudah ketemuan terlebih dahulu
dengan satu lagi calon pangerannya.
Di
titik itu gue sempat merasa putus asa, dan akan kalah dalam persaingan. Rasa
yang gue pupuk selama ini harus hilang dalam hitungan detik. Namun semesta
sedang bersahabat dengan gue, kemarin malam gue menang besar. Rasanya seperti
baru saja memenangkan piala Oscar pertama gue sepanjang hidup.
Besoknya,
sepulang kuliah, tibalah saatnya gue harus merelakan uang tabungan gue.
Gue
tau, dia sering menghabiskan waktunya di tempat-tempat mewah seperti di depan toko
AlfaMidi, Circle K, dan warung lesehan #lha. Senggaknya itu yang terlihat di timeline Path-nya selama dua bulan
belakangan. Karena itulah gue menabung. Senggaknya check-in-ngan dia di Path
memaksa gue untuk lebih lama menahan lapar demi sebuah harga diri.
“Kita
mau makan di mana?”
“Nggak
tau, aku nggak tau tempat makan di sini.”
“Sama
aku juga nggak tau.”
Bohong
banget, kan?
“Ya
udah, kita ke tempat makan favorit kamu aja.” Dan keringat mulai mengucur deras
lagi.
Hari
itu gue pake kemeja hitam lagi. Kemeja gue kayaknya memang semua warnanya
hitam. Hari kedua gue pake kemeja di luar kampus. Gue lumayan benci pake kemeja
di luar waktu kuliah karena terkesan terlalu formal. Meskipun alasan sebenarnya
karena pernah ada bapak-bapak mengira gue sales barang pecah-belah waktu gue
pake kemeja.
Gue
sampai di Waroeng Steak and Shake yang lokasinya nggak jauh dari kampus.
Namanya warung, tapi sebenarnya bukan. Gue jadi teringat rumah makan padang
yang mengusung tema sederhana tapi harga dan tempatnya begitu mewah.
“Ini
tempat makan favorit aku bareng si Dee (nama samaran), sahabat aku.”
“Oh,
ya, ya, ya,” jawab gue. Dalam hati: Steak itu apa, ya?
Senjata
paling ampuh cowok ketika ditanya mau makan apa adalah: sama kayak kamu aja.
“Kamu
mau pesan apa?” tanya dia.
Gue
sempat gelagapan. Di dinding tempat makan ini terpampang beberapa foto makanan
beserta namanya. Nggak ada satu pun yang menarik.
“Kamu
pesan apa?”
“Aku
pesan ini,” katanya sambil menunjuk pesanannya.
“Ya
udah, sama.” Gue pasrah. Semua mata seolah menatap gue dengan pertanyaan.
Gue
nggak ingat pesanan waktu itu. Tapi kalau nggak salah antara Steak Sirloin atau
Steak Tenderloin dan minuman jus alpukat. Dan, tibalah waktunya
makanannya.
Di
rumah, jangankan garpu, sendok saja bahkan kadang harus ngantre dulu kalau mau
pake. Gue lebih suka makan pake tangan. Di sini, gue harus makan dengan sendok,
garpu, dan… juga pisau sekaligus.
Untungnya
gue masih lebih memilih jujur daripada sok tau dan malu-maluin diri sendiri.
Harga diri gue sedang di ujung tanduk.
“Aku…,
aku nggak tau caranya makan pake pisau…,” kata gue agak gagap dan datar.
“Liat
aku aja,” jawabnya sambil senyum.
Gue
bingung menangkap maksudnya. Liat aku aja ini berarti liat mukanya, atau
caranya pake pisau? Tapi kemudian otak gue bekerja dengan lumayan, gue
perhatikan caranya menggunakan pisau dan garpu. Oh, seperti itu… gumam Syahrini gue.
Baru
potongan pertama dan rasanya gue sudah kenyang. Seperti baru saja perut gue
diserbu ratusan porsi makanan terenak buatan nyokap.
“Harusnya
pake tangan kanan.” Tiba-tiba saja suaranya bikin gue semakin nggak berselera.
“Maksudnya?”
“Harusnya
pegang pisaunya pake tangan kanan, garpu di kiri,” katanya masih sambil senyum.
Gue
memutar mata ke seluruh arah. Gue melihat gambar pembelaan atas keudikan gue.
“Liat
deh, gambar itu.” Gue menunjuk ke bagian ujung dalam. “Makanlah dengan tangan
kanan.” Gue mengulang kalimat yang tertulis di sana. Lagi-lagi dia tersenyum.
Gue melihat ada keramahan di sana, sebuah tatapan ketulusan yang menandakan
semua tidak jadi masalah. Sementara gue harus bekerja keras hanya untuk satu
jam makan siang. Sungguh luar biasa... memalukan.
Akhirnya
gue berhasil menghabiskan satu porsi steak dan nasi. Penderitaan gue akhirnya
berakhir.
“Nggak
gitu caranya.”
ADA
APA LAGI?!!
“Nggak
gitu caranya naruh sendok-garpu. Gini, nih.” Dia mengulang caranya menaruh
garpu dan sendok di atas piring. Jangankan cara menaruhnya setelah makan, makan
pake sendok saja di rumah gue hampir nggak pernah.
Setelah
akhirnya makan siang itu benar-benar berakhir, kami pulang dengan perasaan lega
karena bill yang harus gue bayar
nggak setinggi ekspektasi gue. Gue masih bisa menggunakan sisa uang yang ada
untuk beli martabak jumbo jamur sampai beberapa porsi. Dan setelahnya kami jadi
semakin sering makan di sana.
Setelah
makan siang itu, ada banyak sekali pelajaran yang gue dapat, termasuk cara
menggunakan dan menaruh alat-alat makan yang baik dan benar, dan etika
menggunakan tissue bahkan baru gue tau hari itu. Gue merasa seperti budak yang
sedang diajari cara menghormati rajanya. Dan, kejutan lain muncul lagi setelah
makan siang itu.