Topeng dari Awal Semua Kekhilafan



Sejak sekolah hingga baru masuk kuliah, gue melewati rute yag sama setiap harinya. Gue termasuk golongan orang-orang yang takut mencari sesuatu yang baru, takut tersesat dan tak tau arah jalan pulang. Karena itu jalan gue tau itu-itu aja. Ketika melewati sebuah jalan, gue tau ada jalan yang lebih pendek yang bisa bikin gue lebih cepat sampai. Tapi gue tetap mengambil jalan panjang yang selalu gue lewati dengan alasan takut tersesat, karena nggak hafal-hafal banget jalanan yang pintas itu.

***

Di suatu malam yang gue lupa kapan tepatnya, gue berpakaian seadanya. Kaos warna kuning bertuliskan “Los Angeles, California” yang gue tutupi dengan kemeja hitam lengan panjang dan jeans biru serta sepatu Airwalk warna abu-abu hitam.

Malam itu gue akan ketemuan untuk pertama kalinya setelah PDKT hampir dua bulan lamanya. Dua bulan lamanya masa PDKT gue itu adalah dua bulan terindah dalam hidup. Gue bahkan bisa senyum dari pagi sampai pagi lagi sampai gigi gue kuning kayak jagung baru matang dan kering seperti tanah kuburan yang sudah setahun nggak kena air. Dan yang gue nggak habis pikir sampai hari ini: kenapa gue bisa hafal betul pakaian gue sampai ke dalam-dalamnya tapi lupa tanggal dan hari yang justru jadi bersejarah dalam hidup. Dan hipotesa gue: mungkin karena pakaian gue sedikit dan itu-itu jadi gampang diingat.

“Kalo kamu liat yang badannya gembrot, itu aku.”

“Tapi di medsos kamu kurus…” pengen banget gue jawab gitu. Tapi yang akhirnya gue ketik adalah, “Kalo kamu liat yang lagi malas-malasan di atas motor, itu aku.”

Jam delapan malam, gue ketemuan di depan minimarket sesuai janji kami di WhatsApp sebelumnya. Dia telat sekitar setengah jam, atau mungkin gue yang kecepetan saking senangnya. Bodo amat, yang penting ketemu. Malam pertama gue ketemuan diwarnai dengan dia hampir ketabrak bentor (becak motor) pas mau putar arah, dan masker kuning yang selalu terpasang di mukanya.

Nggak ada rencana sebelumnya setelah ketemu kita akan ke mana dan mau ngapain. Yang ada cuma: ketemuan.

Pada akhirnya, yang kami lakukan adalah berkeliling ke seluruh penjuru kota dengan sepeda motor. Awalnya, kami hanya melewati jalan yang biasanya gue lewati kalau ke kampus. Dua kali rute yang sama gue lewati, sampai dia bosan dan bilang, “coba belok kanan di depan”. Gue pun melewati jalan yang nggak gue hafal untuk pertama kalinya. Seingat gue, gue pernah lewat jalan ini tapi nggak sendirian, itu pasti.

Sebenarnya gue udah nabung beberapa hari sebelumnya untuk mempersiapkan malam ini. Gue membayangkan malam ini akan ada candle light dinner yang tak terlupakan. Tapi si dia nggak mau diajak makan, dan gue mengerti itu setelah liat badannya yang over makmur. Jalan-jalan malam itu akhirnya bikin gue merinding sendiri setelah gue sampai di satu jalan yang nggak ada lampu jalannya, dan pas gue tanya, “di depan kita belok ke mana?” dan dijawab dengan, “nggak tau. Kata mama kalo masih ada jalan lurus, nggak usah belok dulu.”

Gue mulai merapalkan doa-doa yang gue ingat waktu masih jadi santri di salah satu TK/TPA. Mulai dari doa makan sampai doa sapu jagat gue rapalin. Berdua di jalanan gelap, dengan cewek yang ogah lepas masker, ditanya serius jawabnya ngawur, gue pengen pipis di celana malam itu juga.

Gue berhenti sejenak, karena khawatir dia juga nggak hafal jalan dan ini sudah hampir tengah malam. Gue liat hape dan ternyata aplikasi Twiter belum gue tutup. Terpampang satu tweet dia di sana dengan isi: Welcome to the jungle! \\o//

SETAN!

Gue pasti boncengin setan. Keringat gue mulai membasahi baju kuning gue, sementara pelukan dia semakin erat di perut gue yang kecil ini. Seketika itu gue berharap, jika memang malam ini adalah malam terakhir gue hidup, semoga ayam goreng yang di rumah dimakan sama adik gue. Gue memang sempat adu mulut sama adik gue karena ngelarang dia makan ayam jatah gue.

Meski begitu gue tetap berusaha stay cool. Sampai akhirnya tiba di jalanan yang kayaknya udah gue hafal. Iya, jalan menuju rumah. Akhirnya gue akan pulang. Dek, jangan makan ayam gue, gue bentar lagi pulang.

“Kamu nggak mau beliin apa gitu, buat orang rumah?” tawar dia.

“Hah? Beliin apa?” gue bingung. Selama ini gue pulang ya pulang aja, nggak pake acara beliin apa-apa buat orang rumah.

“Beliin martabak apa kek gitu.”

Sesaat kemudian di depan terlihat penjual martabak. Gue pun berhenti. Ini penjual martabak langganan gue, sebenarnya. Setelah memesan satu porsi martabak seharga dua puluh ribuan, gue iseng-iseng bertanya ke dia.

“Kamu yakin nggak mau buka masker kamu dulu? Pengap loh,” kata gue yang enek liatin alisnya mulu. Udah kayak liukan ular cobra yang habis dilumuri tinta.

Dan tanpa berpikir panjang, dia pun membuka maskernya. Topeng itu terbuka malam itu, dan di sinilah awal semua kekhilafan gue selanjutnya.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.