Lulus dengan Nilai...



Keakraban bisa muncul dari kebiasaan. Perlahan-lahan gue pun mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan baru ini, lingkungan keluarga dia. Dua pasang mata yang dulunya pernah menatap sinis, sekarang jadi akrab dan sangat ramah. Gue selalu merasakan kehangatan dalam setiap tatapannya. Dengan kalimat singkat: gue berhasil mengambil hati keluarganya. Nyokap, bokap, dan adik-adiknya.

Banyak hal yang mulai gue lakukan bersama adik-adiknya. Futsal, main game, berantem ala Smack Down, dan hal konyol lainnya. Sampai-sampai gue sendiri kadang lupa kalau gue punya pacar. Sama adiknya yang paling kecil, gue berlomba banyak-banyakan koleksi mainan dari Bandai. Karakter-karakter superhero yang sedang dan pernah naik daun gue kumpulin. Dari karakter komik, sampai film animasi. Kadang-kadang, gue kesal sendiri kalo adiknya itu duluan dapat karakter yang pengin gue miliki.
Pernah sekali gue pengen ngumpulin seluruh karakter Big Hero 6. Gue sudah ngumpulin uang jajan gue dengan puasa Senin-Kamis dan makan dua kali sehari saja. Tau-tau, begitu gue ke rumahnya lagi, dia sudah memainkan 7 karakter Big Hero 6 termasuk 2 karakter Baymax, merah dan putih.

Gue kesal.

Tapi tetap gue ajak main. Begitu dia lengah, gue selipin salah satu karakter di tempat yang aman. Dan dia tau kalo gue yang ngambil. Makin kesal dong. Dan hari itu berakhir dengan dua karakter yang gue ambil dari tempat mainannya ketika dia tertidur dengan pulas karena capek habis main. Gue taruh di dalam tas dan pulang dengan rasa puas, seperti habis menang undian Untung Beliung BriSama sebanyak satu Milyar Ruqiah. Dan keesokan paginya, gue ditelepon si dia buat balikin mainan-mainan itu karena adiknya nggak mau masuk sekolah sebelum gue kembalikan. PFFFTTT.

Pernah juga gue ngajakin adiknya yang lain main futsal bareng teman-teman kerja gue dulu. Iya gue pernah cuti kuliah lalu kerja. HEHE. Adiknya yang satu ini kalau ngomong sombongnya melebihi Firaun, makanya gue ngajakin dia karena penasaran sama skill-nya yang katanya bla bla bla dan bla bla bla. Setelah main selama dua jam, dia berbisik ke gue di dekat loker, “Minggu depan aku nggak mau main lagi. Mainnya kasar.”

“CEMEN LO DASAR FIRAUN BERKEPALA LONJONG!” kata gue dalam hati.

Dan itu adalah kali pertama dan terakhir gue ngajakin dia main futsal. Berikutnya gue cuma ngajakin dia main kelereng sama hompimpa sampe tangan merah-merah gara-gara lebih banyak adu kekuatan kepalan tangan daripada adu kelerengnya.

Adiknya yang satu lagi gue agak jarang main sama dia. Pergaulannya terlalu anti-mainstream. Teman-temannya yang sering datang sepertinya nggak sesuai umurnya. Dia yang masih umur SMP gaulnya sama bapak-bapak yang kalo nggak anaknya udah dua, cucunya yang sebentar lagi lahir. Dan itu bikin gue nggak terlalu ingin mengakrabkan diri dengannya, takut gue dikira duda beranak lima.

Kalau dulu waktu gue sama dia lebih banyak dihabiskan di luar, sekarang jadi lebih banyak dihabiskan di rumahnya. Bersama adik-adiknya. Sampai sekarang, tinggal nyokap dan bokapnya yang belum pernah gue ajak main. Suatu hari gue pengen ngajakin bokapnya main futsal berdua aja, terus taruhan, yang kalah harus pulang jalan kaki. Dan gue juga pengen ngajakin nyokapnya main kelereng sama hompimpa. Sampai sekarang juga dua hal itu belum pernah kesampaian. EHE.

Ah, iya, gue jadi teringat dengan ending cerita keempat kemarin, ketika nyokapnya baru saja pulang dan gue sedang sendirian karena ditinggal mandi.

For your information, penderitaan gue hari itu baru saja dimulai ketika nyokapnya datang. Tadinya gue pikir, “Ah, kalo kayak bokapnya tadi, bentar doang ini. 10 menit juga kelar.”

“Kamu siapa?” pertanyaan pertama.

“Saya temannya dia, Tante.”

“Ngapain?” pertanyaan kedua.

“Lagi ngerjain laptop, Tante.”

“Dianya mana?”

“Lagi mandi.”

“Kamu teman apanya? Teman kampusnya?”

“Bukan, Tante. Kita beda kampus…”

“Kok bisa kenal? Gimana caranya?”

YA BISA AJA TANTE. NGGAK GAUL TANTE AH! MALES LADENINNYA.

“Udah lupa kapan pertama kenal, Tante.” Gue nyengir. Gigi gue yang nggak rata menebarkan senyum seperti di iklan pasta gigi.

“Terus dia mandi, kalian mau ke mana?”

“Mau ke mal, Tante. Jalan-jalan.”

Kamu bacanya lancar? Percayalah, enam pertanyaan barusan gue ngabisin waktu hampir 30 menit untuk menjawabnya. Ngerinya melebihi ujian tes masuk kepolisian. Dan enam pertanyaan itu masih ditambah pertanyaan lain seperti, kamu tinggal di mana? Kamu anaknya siapa? Merk sepatu kamu apa? Ikan mas koki enaknya dimasak apa digoreng?

Oke, yang terakhir dan kedua terakhir itu nggak gitu. Maaf. Dan, by the way, gue nggak pernah tau tes untuk masuk ke kepolisian itu kayak gimana. Jadi berimajinasi sendiri ya.

Setelah akhirnya gue melewati wawancara eksklusif dan menegangkan (((MENEGANGKAN))) dengan nyokapnya dia, gue pun pergi dengan keringat dingin yang lebih banyak dari sebelumnya. FYUH! Gue mengusap keringat lalu berpamitan dan pergi membawa anaknya buat malam Mingguan sesore ini.

“Saya pinjam anak Tante, ya, nanti saya balikin utuh, kok,” kata gue. Dalam hati.

Di jalan, keringat gue perlahan menjauh, berganti menjadi suasana yang adem di tengah kota yang kendaraannya lumayan padat. Hari ini gue baru saja melewati tes lisan yang superketat, dan mendebarkan. Dan dengan diizinkannya gue keluar berdua sekarang, gue nyatakan diri gue, lulus dengan nilai… pas-pasan.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.