Bagian Paling Menjijikkan



Bagian paling lebai dan superdupermenjijikkan dalam sebuah hubungan itu, adalah ketika mulai membahas masa depan dan mulai mengganti panggilan “Sayang” dengan panggilan lain.

Gue pernah dipanggil “Sek” sama dia padahal hidung gue nggak pesek, jadi waktu itu gue kirain “Sek” adalah singkatan untuk “Berengsek”. Tapi gue ini polos, polos banget malah. Gue juga pernah dipanggil “Can” gara-gara suka serial kartun Sinchan yang awalnya gue kirain panggilan itu berarti “Bacan”.

Dari awal gue sudah benci hal semacam itu. Gue beneran jijik. Anehnya, gue pun melakukannya. Gue nggak tau dengan kamu, tapi bagi gue memang cinta bisa bikin kita melakukan hal-hal yang pikiran sehat sebetulnya nggak bisa terima, tapi hati selalu menerimanya dengan sangat baik.

Tapi pada akhirnya usaha gue untuk memunahkan panggilan aneh pengganti kata “Sayang” itu perlahan kembali ke asalnya. Dan, setelah lewat satu tahun pertama, segala hal yang dulunya bikin gue sering memompa keringat lebih banyak, kini mulai hilang. Segalanya menjelma menjadi keramahan yang benar-benar ramah hingga akhirnya menjadi kebiasaan.

Gue yang dulunya selalu bingung ketika ditanya, “mau minum apa?” sama nyokapnya sekarang berganti jadi, “kalau mau minum, bikin sendiri ya, di dapur semuanya lengkap”.

Sekarang gue menghabiskan lebih banyak waktu dengan dia dan keluarganya, dibanding keluarga gue sendiri. Adik-adiknya yang pemalas ngasih gue kesempatan untuk “cari-cari muka”. Beberapa kerjaan yang biasanya dikerjain adik-adiknya sekarang berpindah ke gue. Seperti belanja kebutuhan bulanan, buang sampah mingguan, dan hal-hal kecil lainnya. Kelihatannya memang kecil, tapi efeknya besar. Semua hal-hal besar dimulai dari satu hal kecil, kan?

Gue mulai jadi seseorang yang sering dicari. Dan, satu hal yang mungkin bikin mereka betah dengan gue adalah, gue nggak pernah harus disuruh dua kali untuk satu pekerjaan seperti yang sering dilakukan adik-adiknya. Tapi, semuanya tetap berjalan pada batasannya. Gue nggak pernah merasa ingin mengambil posisi adik-adiknya, ataupun menjatuhkan pandangan orangtuanya di hadapan mereka. Gue melakukan semuanya pada batasan wajar. Hubungan gue dengan adik-adiknya juga baik-baik saja. Hal-hal yang sering gue lakukan di tulisan kelima, masih sering gue lakukan.

Sampai suatu sore, gue duduk di teras atas rumah dia. Waktu itu ditemani secangkir kopi dan potongan kue yang gue beli di ujung lorong. Gue nggak tau nama kuenya apa, macam-macam dan enak. Dan yang pasti, murah. Gue duduk bersama dia dan adiknya yang paling kecil. Kalau nggak salah hari itu hari Minggu dan semua orang ada di rumah.

“Nanti kalau kita sudah menikah, kita bikin kolam renang di belakang rumah, ya.”
Dia memang suka renang. Gue juga sebenarnya. Tapi punya rumah pas di pinggir laut lama-lama bikin bosan juga. Bangun tidur, liat laut. Mau tidur, dengar hempasan ombak. Berulang-ulang setiap hari.

“Iya, Sayang,” jawab gue berusaha tertarik dengan pembahasan ini.

“Nanti kita bikin kamar tiga, satu untuk anak kita, satu untuk kita, sama satu lagi untuk tamu.”

“Nanti aku mau bikin kandang ayam di samping kolam, ya.”

Tiba-tiba wajahnya berubah nggak senang. Dia kayaknya pengen banget lemparin gue piring kue yang isinya tinggal beberapa potong itu.

“Bercanda doang. HEHEHE,” ralat gue.

“Aku juga pengen rumah kita nggak usah terlalu besar, yang penting perabotannya lengkap dan semuanya rapih. Ada mobil, ada motor, dan ada sepeda buat anak kita.”

“YA ITU TERGANTUNG ELO, NYET, MAU BERSIH-BERSIH APA KAGAK?!!” kata gue dengan lantang dan emosi. Dalam hati.

“Kamu nggak sekalian pengen punya jet pribadi terus ditaruh di halaman belakang, gitu?”

“Berlebihan banget kamu,” kata dia.

“Kan lengkap.”

"Nggak gitu.”

“Iya, aku ngerti. Berarti kita harus nabung dari sekarang kalo kamu maunya gitu.”

Di bagian ini, gue nggak yakin dan bahkan sangat pesimis. Dia adalah penggila online shop. Dia sendiri punya online shop yang dia kelola sendiri, tapi jumlah customer-nya sangat berbanding terbalik dengan total belanjanya sendiri setiap bulan. Dan gue prihatin akan hal itu. Gue punya beberapa teman cewek yang juga suka berbelanja online, tapi nggak segininya juga. Buat dia, shopping is the best medicine.

“Kalau aku…, aku mau bikin air mancur sama kolam ikan di depan rumah. Nanti diisi ikan hiu martil sama putri duyung,” kata gue bercanda.

“Nanti putri duyungnya dikasih makan apa?” dia bertanya.

“Dikasih tas, dompet, dan alat make up,” jawab gue, “putri duyung kan cewek. Cewek mana yang bisa nolak dikasih tiga benda itu?” dan gue dikeplak beneran pake piring kue ketika gue menyeruput kopi gue dan cairan hitam itu menyembur ke luar dan cipratannya mengenai seseorang yang sedang lewat di bawah.

Setelahnya, kami isi dengan percakapan bercanda dan sesekali masih melanjutkan dengan hal-hal yang lebai dan superdupermenjijikkan itu. Dan, for your information, hari itu bukanlah pertama kali atau terakhir kali kami membahas itu, tapi sudah sangat sering bahkan sampai gue bosan dan hafal kata per katanya.

Kamar tiga, rumah sederhana, perabotan lengkap, kolam renang di belakang rumah, dan sebagainya, dan sebagainya. Gue hafal sampai ke titik komanya.

Menjelang malam, ketika gue kembali duduk di ruang tamu, handphone gue berbunyi. Satu pesan singkat dari teman SMA gue.

“Man, ngumpul. Gue baru aja ngumpulin anak-anak, lo datang ya.”

Dan gue menatap dia lekat-lekat sambil memikirkan alasan untuk bisa pulang secepatnya, dan balasan agar teman gue bisa mengerti keadaan gue.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.