Bukan Review: Somewhere Only We Know

Rumah Sejuta Martabak Bali, Indonesia




Judul               : Somewhere Only We Know
Penulis            : Alexander Thian
Penerbit          : Gagas Media
Tahun terbit   : 2015
Tebal               : 338 Halaman, lumayan buat nampar mantan.

“You don’t define love. You just… love.”

Kenzo —
Menyusuri jalan Hanoi yang basah,
Menerobos hujan yang masih turun dengan deras.
Gue melangkah tanpa peduli ke mana kaki membawa gue pergi.
Lampu kuning jalanan membuat jejak-jejak rintik hujan tampak jelas.
Entah karena gue yang delusional atau terlalu romantic menjijikkan, gue setengah mati berharap dia akan muncul di ujung jalan.

Ririn —
Kenangan itu masih sejelas dan sebening film yang berformat blu-ray.
Gue tertawa kecil ketika membuka pintu taksi, membayangkan wajah aneh Arik sore itu. Dalam perjalanan pulang, gue bermimpi tentang berdansa di awan, sementara kembang api meledak-ledak di sekitar gue dan Arik.


“Cinta itu ada, selalu ada, akan terus ada.”
Kematian raga bukan apa-apa dibanding hidup dalam sepi yang riuh. – Halaman 152.


Pertama-tama, gue ingin bilang kalau gue agak benci dengan novel yang menggunakan dua sudut pandang, karena kadang gue dibikin pusing, ini yang bercerita tokoh yang mana. Tapi setelah membaca beberapa chapter awal, gue akhirnya bisa merasakan perasaan kedua tokoh dari dua sudut pandang dari buku fiksi pertama Alexander Thian ini.

Di dua chapter awal, gue belum tertarik sama sekali dengan cerita novel ini yang terkesan bertele-tele dan… ya, tokohnya superlebay. Untungnya selepas itu, cerita mulai hidup dan gue mulai bisa berimajinasi tentang para tokoh dan kehidupannya. Gue pun mulai larut dalam cerita.

Somewhere Only We Know bercerita tentang kakak-adik, Ririn dan Kenzo yang LDR-an dan sama-sama jomlo. Ririn di Surabaya, Kenzo di Viet Nam. Ririn dan Kenzo sama-sama menceritakan kisahnya secara bergantian. Gue sempat berpikir untuk melangkahi chapter yang genap atau chapter yang ganjil agar fokus pada kisah satu tokoh dulu, Ririn atau Kenzo. Tapi untungnya nggak gue lakukan karena ternyata setiap chapternya saling bertautan. HEHEHEHE. Lalu Ririn mulai bertemu Arik, dan Kenzo berkenalan dengan Hava. Kisah cinta Ririn penuh dengan kejutan-kejutan dan keberuntungan sementara kisah cinta Kenzo penuh dengan kemalangan pada setiap langkah demi langkah dalam prosesnya. Dan kalau boleh gue memilih, gue lebih suka membaca cerita versi Ririn daripada Kenzo, meskipun banyak kalimat-kalimat yang kadar lebaynya berlebihan, melebihi batas menjijikkan. Ewh! Gue memilih itu bukan karena gue membenci sebuah cerita cinta yang menyedihkan, tapi gue juga nggak bisa bilang alasannya kenapa, nanti spoiler.

Kebetulan yang kebetulan banget dalam novel ini dimulai di chapter 5. Penggambaran sosok Arik pun mengingatkan gue pada sosok tokoh Elang di novel After Rain-nya Anggun Prameswari serta kisah cinta John Lennon dengan Yoko Ono. Sungguh kebenaran sekali, Sodara-sodara.

Di halaman 100, Ririn berkata dengan sangat cepat, tapi gue malah membacanya dengan sangat pelan, kayak Garry yang habis disengkat Tsubasa.

Selain itu, banyak bahasa asing (Bahasa Inggris dan Prancis) yang artinya entah apa. Hanya penulis, editor, dan Google Translate yang tau. Ini sedikit menyulitkan gue yang skor TOEFL-nya bahkan jauh di bawah standar.

Somewhere Only We Know mengajarkan kita tentang bagaimana cinta harus diperlakukan, bahwa putus asa adalah sebuah kesia-siaan, dan bahwa usaha nggak pernah mengkhianati hasil. Sebuah kisah yang menarik mengingat novel ini berangkat dari sebuah kisah nyata yang difiksikan dan dituliskan dengan gaya khas Alexander Thian, selebtwit yang gagal masuk katagori Storyteller di Gembrit Awards 2015. Dan jika di dunia ini memang masih ada laki-laki seperti Arik, maka kemungkinan besar dia nggak lahir dari rahim seorang perempuan, tapi muncrat dari Kerang Ajaib yang dipuja-puja di Spongebob Squarepants. PUJA KERANG AJAIB!

Secara keseluruhan, gue ngasih angka 7.5/10 untuk novel Somewhere Only We Know. Dan oh iya, sampai hari ini gue masih terus kepikiran tentang siapa yang lebih keren antara Jennifer Lawrence atau Emma Watson.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.