Surat Terbuka untuk Tukang Bubur yang Selalu Lewat di Depan Rumah
LHA SALAH GAMBAR, MAAF. |
Sejak kecil gue terbiasa
kenal dengan banyak tukang. Mulai dari tukang bubur yang selalu lewat depan
rumah setiap pagi, tukang es cendol yang selalu nongkrong di halaman sekolah
pas SD, tukang es macam-macam rasa yang selalu ada di depan gerbang sekolah pas
SMP, sampai tukang mi ayam yang sampai sekarang masih sering gue datangi di
kampus.
Gue masih ingat bahkan
sampai harga-harganya. Gue ngasih 500 perak ke tukang bubur, lalu sepiring
besar bubur akan terisi penuh. Gue ngasih 500 perak ke tukang cendol, satu
plastik es cendol yang isinya sama dengan isi gelas yang dipegang Chris John
dan Manni Pacquiao di salah satu iklan yang entah kenapa gue jadi ilfeel minum produk itu setelah melihat
iklannya. Dan juga masih ingat betapa mahalnya mi ayam di kampus sampai-sampai
gue hanya bisa menelan ludah ketika gue memeriksa dompet dan rasanya pengen
nangis.
Melihat isi
dompet—terlebih ketika akhir bulan—rasanya lebih menyedihkan daripada kisah
hidup Bawang Putih yang disiksa Bawang Merah sebelum ketemu peri yang baik hati
dan tidak sombong, serta rajin menabung.
Dan di antara
tukang-tukang yang pernah mengisi hidup gue itu, ada satu tukang yang sampai
hari ini masih jadi langganan gue; selalu lewat di depan rumah saat jualan dan
selalu meneriakkan dagangannya setiap lewat di depan rumah. Sejak gue menyadari
itu, gue menyadari satu hal lain bahwa gue sudah jadi langganannya.
Tukang bubur santan.
Sejak SMA, gue langganan
dengan tukang bubur santan yang selalu lewat di depan rumah nggak lama setelah
gue pulang sekolah. Gue nggak tau kapan pertama kali gue beli buburnya. Yang
gue tau adalah, badannya gendut dan selalu dipanggil ‘Mas’ padahal dia adalah
orang asli Makassar yang sejatinya akrab dengan panggilan ‘Daeng’.
Setiap jam isitirahat di
sekolah, gue selalu ke kantin. Setiap jalan ke kantin, gue selalu teringat Mas
Gendut lebih dari gue mengingat gebetan gue. Maka dari itu gue selalu
menyisihkan uang dua ribu perak untuk beli bubur. Gue bahkan rela nggak isi
pulsa handphone yang penting bisa
beli bubur. Waktu SMA, kuota internet belum semahal dan semenagihkan sekarang.
Gadget paling keren waktu itu adalah Samsung Corby dan Nokia masih jadi ponsel
sejuta umat. Paket SMS dan telepon masih jadi barang yang begitu menggiurkan.
Jaringan 3G masih angan-angan dan handphone
layar sentuh adalah barang mewah yang bikin mata berkaca-kaca melihatnya.
Apalagi bisa menyentuhnya.
Kembali ke tukang bubur.
Dua ribu setiap pulang
sekolah dan gue nggak perlu lagi makan siang dengan nasi. Gue baru makan
setelah bangun tidur siang. Kadang-kadang bubur nggak gue habisin karena
kebanyakan. Iya, jaman itu memang beli bubur dua ribu sama dengan seporsi
pangsit nggak pake bakso sekarang ini. hingga akhirnya Mas Gendut mengikuti
perkembangan jaman. Mengikuti pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing. Mengikuti harga-harga kebutuhan pokok yang juga semakin tinggi.
Setinggi, tinggi sekali.
“Kok sedikit, Mas?”
protes gue sekali waktu. “Biasanya dua ribu mangkoknya penuh.”
“Iya, sekarang bahan
bakunya mahal. Biaya apa-apa semua juga mulai naik, jadi dinaikin juga lagi
harganya. Bahkan album terakhir Meggi Z juga mahal.”
“Tapi kita langganan,
Mas,” bela gue.
Mas Gendut cuma
tersenyum dan nggak menambah bubur gue walau sesendok saja.
Sejak saat itu gue mulai
menambah uang jajan yang gue sisipkan menjadi tiga ribu perak. Waktu terus
berjalan. Harga terus melambung, seperti gengsi.
Sekarang, beli lima ribu
bahkan nggak pernah bikin gue kenyang. Sesekali gue beli lebih dari itu.
Walaupun setelahnya gue puasa dua atau tiga hari karena nggak mampu beli hanya
demi sebuah kata kenyang oleh bubur di hari itu. Sungguh waktu merubah banyak
hal, termasuk harga bubur Mas Gendut yang masih setia jadi langganan. Untungnya
rasa yang bikin nagih itu nggak pernah pudar. Sama seperti tagline mi instan yang sering muncul di TV itu.
Tapi, semua hal itu
berubah. Nggak ada asap dan nggak ada api, apalagi Negara Api. Mas Gendut
tiba-tiba menghilang, meninggalkan tanda tanya dan kerinduan pada setiap
pelanggannya, termasuk gue.
Maka dari itulah gue
menulis surat terbuka ini. Gue berharap Mas Gendut akan membaca ini dan
mengenali muka gue yang ada di profil dan… kembali berjualan di depan rumah.
Terima kasih.