Roti Panggang di Ujung Dapur



FOTO: HAO WONG - FLICKR


Bersama roti yang kupanggang di ujung dapur, aku membakar kenanganmu. Kenangan kita bersama.

Saat hari-hariku tak lagi diwarnai kehadiranmu, saat itulah aku mengerti takdirku bukan bersamamu. Saat hari-hariku berjalan apa adanya, kutahu tidak ada penyemangat yang membuatnya jadi berbeda. Hingga suatu saat tiba kita di penghujung waktu, aku masih berpikir, banyak berharap, kita bisa bersama.
Kau tahu, rotiku yang pinggirnya agak keras, kepercayaan bukan sekadar kata untuk dua insan yang berkomitmen. Namun jalan tak selalu mulus, bahkan jalan tol pun pernah macet.


Saat kita memutuskan untuk saling berjalan sendiri-sendiri, aku tak pernah habis pikir bahwa kita mampu berpikir ke arah yang sejauh itu. Itu letaknya lebih jauh dari tempat terjauh yang pernah kudatangi. Tapi keputusan tetaplah keputusan, dan mengingkari akan membuatnya jadi lelucon yang tidak pantas ditertawakan. Setelah sekian banyak pintu yang kubuka, sekian banyak layar kukembangkan, aku tahu kini kita sudah tak bersama. Kini kita saling berjauhan, menganggap kebersamaan sebagai sebuah hal buruk yang tidak pantas kita jalani berdua. Tidak pantas untuk kita perjuangkan bersama.

Pada suatu saat ketika kita bertemu lagi entah di mana, aku berharap kisah-kisah mesra yang tidak pernah ingin kubuat berlalu, tidak akan menyeruak lagi dan membuatku menghidupkan penyesalan yang telah kubakar. Bersama roti sarapan pagi aku membakar kenanganmu. Kenangan kita bersama.

Sampai hari di mana kau mulai membangun rasa dan kepercayaan untuk orang lain di hatimu, sampai hari itu pula aku percaya bahwa separuh hati dan janji-janji yang pernah kita ikrarkan tetap hidup di dalam jiwa kita masing-masing.

Dan sampai hari di mana kau telah memutuskan untuk melupakanku dengan mencintai orang lain, sampai hari itu itu pula aku percaya bahwa cintamu untukku tidak pernah lekang oleh waktu. Lalu, sampai kapan kita harus saling menyelimuti diri dan perasaan? Mencintai dalam diam, terbungkus luka yang tak pernah ingin kita tahu satu sama lain? Sungguh kita adalah manusia munafik, yang tidak ingin terlihat terluka padahal sangat rapuh bahkan di permukaan. Tidak ingin orang tahu bahwa kita sedang patah hati padahal raut wajah tak pernah bisa menyembunyikan pedih, dalam tawa segelegar apa sekalipun.

Cinta memang membuat semuanya berubah.

Dari yang dulunya periang mampu berubah jadi pemurung. Dari yang dulunya jinak sejinak merpati, menjadi lebih buas dari raja hutan. Dari yang melakukan segalanya, sampai menjadi tidak ingin berbuat apa-apa.
Pada akhirnya, kenangan-kenangan itu akan muncul kembali bahkan di saat yang tidak diinginkan. Membunuh akal sehat, menjalari isi kepala lalu mematikan semua sistem yang berusaha melawan untuk menghilangkannya.

Lalu, kepada siapa kenangan harus ditempatkan agar tak membuat sesak yang berkepanjangan?

The answer inside of you.

Kini rotiku sudah habis, kulahap seolah aku sedang memakan habis masa laluku bersamamu. Namun setelah itu, apakah semuanya hilang? Tidak. Kenangan tetap meninggalkan bekas-bekas luka yang menyelip di sela-sela gigi dan mengundang bakteri yang menyebabkan sakit lebih dalam suatu hari nanti.

Hanya ada satu penawar yang akan mampu mengobatinya. Kau, si pembuat kenangan itu.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.