Tentang Perubahan
FOTO: FLICKR (Seth Lemmons) |
Perubahan.
Waktu menuntut kita untuk berubah. Sadar atau nggak, “serius” sekarang udah
berubah jadi “ciyus”, “demi apa” udah diubah jadi “miapah”, dan “kali” udah
berubah menjadi “keleus”. Dan kita dituntut buat ngikutin itu supaya nggak
dibilang kamseupay. Perubahan dari
segi fisik yang pada dasarnya sama aja, yang diubah hanya keraknya, bukan
isinya. Sama seperti perubahan yang selalu dikoar-koarkan para petinggi politik
dengan wacana-wacana luar biasa yang nggak pernah merubah apa-apa.
Perubahan
itu sendiri dipengaruhi oleh dua faktor: internal dan eksternal.
Internal,
keinginan dari dalam diri buat berubah, menjadi lebih baik tentunya—meskipun
hasilnya nggak selalu begitu. Seperti kata Oka, banyak orang nggak menganggap
perubahan itu adalah suatu perubahan ketika larinya ke arah yang negatif.
Tetapi, negatif atau positif, perubahan tetaplah perubahan.
Sebenarnya,
pengertian perubahan itu sendiri sudah diartikan salah oleh buku-buku kurikulum
dan kita didoktrin untuk mempercayainya, meyakininya sebagai apa yang benar.
Perubahan
selalu diartikan sebagai tindakan menuju arah yang lebih baik. Begitu pula
tujuannya, untuk jadi lebih baik maka diadakanlah perubahan itu.
Perubahan
bukan sekadar berubah. Tentu ada tujuan yang menjadi sasaran dari perubahan
itu. Sasaran perubahan itu nggak lain adalah obyek yang juga kita sasar *ini muter-muter gak jelas, ngapa sih*.
Kita udah merubah “serius” menjadi “ciyus”, “kali” jadi “keleus” tentu saja
buat mencapai apa yang udah kita cita-citakan.
Si
gendut pengen sixpack, maka harus
diet, nge-gym, dan kurangi ngemil,
kalo perlu ilangin. Hasilnya, bisa berhasil sixpack atau gagal dan terancam onepack. Yang berhasil ini sesuai dengan
teori di buku-buku kurikulum, dan yang gagal adalah teori utuh yang
dikesampingkan.
Tapi
terlepas dari itu semua, apa pun perubahan itu kita semua tentu saja
mengharapkan hasil yang baik seperti teori-teori di buku-buku kurikulum.
Berpikir, berpikir, berpikir, lalu berubah.