Terkadang, Kita Harus Melanggar Aturan
FOTO: FLICKR |
“Sometimes we have to break the rules.”
Manusia membuat peraturan sendiri. Mematuhinya sendiri. Bosan. Lalu
melanggar peraturan yang mereka buat sendiri.
***
Lagi nggak ada kerjaan di suatu saing berhujan. Gue sedang baring manja
di kamar ponakan gue di rumah kakak perempuan gue. Letaknya belasan menit dari
keramaian kota. Jaringan telepon lumayan susah, apalagi internet. Karena nggak
tau mau bikin apa, gue memutuskan untuk nonton film di laptop. Gue punya
beberapa koleksi film action, anime dan sci-fi yang pernah booming di box
office.
Gue scroll up, sroll down, scroll up lagi… scroll down lagi… dan gue
baru sadar, belum semua dari list film di laptop gue sudah gue tonton. Ini
bukan promosi atau review film, gue tertarik sama satu film di folder: Step Up Revolution.
Film ini bercerita tentang kehidupan para dancer dan keseharian mereka. Di luar
mereka sebagai dancer, mereka menjadi pegawai biasa, pekerja lepas dan
melakukan aktivitas seperti biasa. Tapi mereka menyadari kelebihan mereka di
seni tari dan menunjukkannya pada publik dengan gaya yang berbeda. Berharap
revolusi sesuai judulnya.
Sepanjang satu setengah jam durasi film ini, ada satu part yang gue
suka. Secarik kertas bertuliskan “Sometimes, we have to break the rules”.
Saat menonton part itu, pikiran gue melayang sampai ke penjual martabak
angkasa. Gue tau ungkapan itu sudah kuno tapi masih sering ditemui. Maaf, bukan
sering. Selalu.
Hal yang paling sering kita temui dari ungkapan itu adalah ketika
berkendara. Nggak jarang. Nggak susah. Semudah membalikkan telapak tangan.
Setiap sampai pada traffic light atau yang akrab disapa lampu merah (ini
kasihan kuning dan hijau, nggak pernah disebut), selalu saja ada pengendara
yang melanggar. Teman gue juga sering begitu. Ini mungkin pengakuan yang paling
disesalkan, tapi gue juga pernah melanggar.
Ketika gue tanya ke mereka, jawaban mereka kreatif: Peraturan ada untuk
dilanggar. Gue jadi curiga, film yang baru saja gue tonton ini terinspirasi
dari para pelanggar aturan.
That’s the other point of view. Point yang gue maksud ada di sisi lain.
Bukan yang kayak gini:
Apalagi gini:FOTO: FLICKR |
Manusia saat ini adalah makhluk yang hidup terjadwal. Diatur waktu, dan
tentu saja peraturan yang mereka buat sendiri. Ketika jam menunjukkan pukul
7:30, rumah perlahan mulai ditinggalkan para pemiliknya untuk memenuhi peraturan
yang mereka buat sendiri.
Benar-benar kurang kerjaan (atau nggak ada pekerjaan lain).
Manusia adalah makhluk yang benar-benar dinamis. Suatu ketika, kita
nggak tahan dengan sebuah kehidupan yang dirasa monoton. Lalu kita membuat
aturan. Membuat jadwal agar hidup kita terlihat “hidup”. Lalu semakin lama,
semakin bosan, tidak tahan, muak dan sadar aturan itu statis sampai akhirnya
memutuskan untuk merusak aturan itu.
“Ketika terdesak, kita akan tau siapa kita sebenarnya.”
Banyak orang selalu berusaha untuk menjadi orang lain. Mereka melihat
pekerjaan orang lain dan mengikutinya karena menurut mereka itu bagus. Padahal,
bukan keahliannya. Hanya sekadar ikut-ikutan, kali aja beruntung. Mereka nggak
tau, menjadi diri sendiri lebih baik. Karena dengan begitu, we know what life
for.
Pada akhirnya, banyak yang terpenjara dalam sesat yang mereka buat
sendiri. Saat terdesak barulah mereka menyadari untuk apa mereka sebenarnya.
Sayangnya, setelah kesadaran itu muncul, semua pintu telah menutup untuk
mereka. Inilah saatnya. Ya, its time to break the rules. Melanggar aturan bukan
berarti menghalalkan segala yang diharamkan untuk menemukan “The real me” yang
baru disadari itu. Tapi bagaimana menciptakan sendiri power yang kita miliki.
Kembali ke film tadi, para pelakunya adalah orang-orang yang datang dari
berbagai latar. Pegawai negeri, pegawai swasta, pekerja lepas, pengangguran.
Tapi mereka memiliki satu kesamaan. Tari. Dan pada akhirnya mereka menyatukan
visi dan menunjukkannya ke publik dengan cara mereka. Aturan yang mereka
ciptakan sendiri.
Kalau biasanya dance hanya bisa kita lihat di TV atau tempat khusus,
mereka melakukannya di tempat yang nggak umum, untuk dinikmati secara umum. Di
jalanan, tempat pameran dan tempat tak terduga lainnya. Ini yang gue maksud
dengan “Break the rules” tadi. Bukan menerobos lampu merah dengan senyum
bangga. Melakukan hal berbeda untuk jadi beda, seperti di postingan gue
sebelumnya.