Family Sistem di Instansi Pemerintah



Memang betul, pekerjaan yang paling membosankan adalah menunggu. Kalo ada yang bilang bukan, berarti dia belum pernah nunggu dari pagi sampai sore.

Senin kemarin (02/12/2013) saya menemani sepupu saya untuk bikin SIM di kantor Polres Takalar. Karena tidak ada kuliah hari itu, saya iyakan saja ajakannya. Karena sepupu saya ini perempuan dan
baru pertama kali ke Polres, saya mengikuti dan membantunya mengurus keperluannya dan menunggunya hingga selesai. Sebenarnya, saya bisa saja menghubungi keluarga yang tugas di sana agar urusannya cepat selesai. Namun, saya pikir, saya melanggar aturan jika saya melakukan itu. Saya tiba di Polres Takalar sekitar pukul setengah sepuluh pagi dan mendapatkan nomor antrian ke-52 dari 52 pemegang nomor. Yap! Nomor terakhir. Tapi untunglah, daripada harus pulang dengan tangan keseleo kosong. Hasilnya, saya baru selesai pada jam tiga sore lewat 15 menit.

Sepanjang antrian itu, saya hanya duduk menunggu bersama para pengantri yang lain. Diam sambil mengamati sekitar. Mengamati aktivitas di sekeliling saya. Saya mulai merasakan keanehan saat baru sekitar 15 menit saya duduk. Ada orang yang sudah antre dari pukul delapan—di mana loket baru buka—sementara ada yang datangnya belakangan, tapi duluan selesai pengurusannya. Ternyata, sistemnya adalah: kalo ada yang ngurus (keluarga atau kenalan), ngurus jadi lebih cepat. Dan, kalian tidak akan menjumpai orang yang tes di post tes keterampilan.


Di ruangan tes teori sebenarnya adalah keluarga saya yang tugas di sana, namun saya menolak menggunakan jasanya karena saya sadar banyak orang yang akan mengeluh karenanya. Terlebih karena nomor antrean sepupu saya adalah yang terkahir hari itu. Lalu, saya tanya sepupu saya, “Kamu bayar berapa, bikin SIM?” dan dia bilang, “240 ribu rupiah.”

Rp. 240 ribu untuk SIM C? What the eh… kalo beli martabak bisa dapat berapa ya?

Kebetulan hari itu, saya duduk tepat di depan loket pengurusan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kecantikan Kepolisian), jadi saya lebih banyak melihat orang-orang yang mengurus SKCK. Tepat di samping saya, poster bertuliskan peraturan undang-undang yang berisi biaya pengurusan SKCK sebesar Rp. 10.000,-. Dan, pendengaran saya  belum bermasalah. Setiap kali petugas mengeluarkan satu lembar SKCK untuk pemohon, ia selalu bilang, “Lima belas ribu, ya Pak.” Anehnya, seluruh pemohon tidak protes dan tetap membayar 15 ribu. (Saya tidak punya gambar untuk di-upload karena kebetualan tidak membawa kamera).

Saya tidak tahu, apakah hanya di Polres tempat saya saja yang seperti demikian atau bagaimana tapi yang pasti, kalau instansi pemerintah masih terus seperti ini, ya jangan harap negara kita mau maju!
Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.